KOMPAS.com - Membangun generasi unggul tidak dimulai saat anak masuk sekolah atau bahkan saat mereka lahir, melainkan jauh sebelumnya, sejak calon orangtua mempersiapkan diri dalam ikatan pernikahan. Inilah semangat pendekatan mindful parenting atau pengasuhan penuh kesadaran, yang kini semakin relevan dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
"Sering kali kita hanya bicara pengasuhan saat anak sudah lahir. Padahal, ada hal-hal yang harus dipersiapkan sejak masa pranikah seperti kesiapan mental dan emosional pasangan. Di sinilah pentingnya pendekatan mindfulness (sadar penuh) dan mindful parenting (pengasuhan penuh kesadaran)," ujar anggota ECED Council Indonesia sekaligus dosen dan psikolog dari Universitas Yarsi, Endang Fourianalistyawati.
Menurutnya, mindful parenting tidak hanya bicara tentang bagaimana cara mendidik anak, tetapi lebih dalam dari itu.
Pengasuhan penuh kesadaran juga termasuk tentang cara seseorang menyiapkan diri menjadi pasangan hidup yang sadar, hadir, dan siap menjalani peran sebagai orangtua.
Baca juga: Larang Wisuda, Eri Cahyadi Minta Orangtua Siswa Lapor jika Diminta Iuran
Endang menyebutkan, penerapan mindfulness dan mindful parenting dimulai bahkan sebelum janji suci pernikahan diucapkan.
“Saat dua individu belajar mencintai dengan kehadiran seutuhnya, merawat hubungan dengan empati, serta mengelola emosi untuk menciptakan ruang berkembang yang nyaman bagi diri sendiri, pasangan, dan anak-anak di masa depan, di sanalah mindfulness dan mindful parenting sedang dibangun,” ujarnya.
“Konflik rumah tangga atau pola asuh yang destruktif sering kali bukan karena niat buruk, tapi karena luka lama yang belum selesai atau ekspektasi yang tak realistis,” jelas Endang.
Melatih kesadaran sejak dini membantu pasangan mengenali pola pikir dan nilai-nilai yang mereka bawa dari keluarga asal, sehingga bisa menyusun visi pengasuhan bersama dengan lebih sehat.
Baca juga: Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan dan Pengasuhan Anak Usia Dini
Lebih jauh, Endang mengungkapkan bahwa penelitian tentang mindful parenting menunjukkan adanya hubungan kuat antara keterampilan kesadaran dan regulasi emosi pasangan sejak pranikah, dengan kemampuan pasangan menghadapi tantangan pengasuhan kelak.
Dalam psikologi perkembangan, ini dikenal sebagai emotional co-regulation atau kemampuan mengatur emosi bersama dalam hubungan yang saling memengaruhi.
Pasangan yang terbiasa mengelola emosi bersama lebih peka, serta terbuka dalam komunikasi, membentuk kelekatan aman (secure attachment), yang menjadi fondasi bagi hubungan anak dengan orangtua.
Baca juga: Anak Muda Butuh Ruang Hijau, Mampukah Kota Masa Depan Menjawabnya?
Saat memasuki masa kehamilan, pendekatan mindfulness dinilai semakin krusial. Endang mengingatkan bahwa kehamilan bukan sekadar proses biologis, melainkan juga merupakan transisi identitas yang sarat dengan emosi dan ketidakpastian.
Bagi ibu, perubahan hormon dan tekanan mental dapat memicu kecemasan. Bagi ayah, ketidakjelasan peran bisa menjadi beban tersendiri. Dalam situasi ini, mindfulness hadir sebagai jembatan emosional antara pasangan, dan antara orangtua dengan janin.
“Latihan pernapasan secara sadar, diskusi, dan meditasi membantu ibu hamil menghadapi perubahan tubuh dan emosi dengan lebih tenang. Ini juga membangun koneksi emosional ayah ibu dengan kehidupan baru yang sedang tumbuh,” tutur Endang.
Penelitian psikologi prenatal mendukung hal ini, kondisi emosional ibu selama kehamilan berdampak langsung pada perkembangan sistem saraf janin.
Ketika ibu merasa tenang dan didukung, bayi yang lahir pun cenderung memiliki kemampuan emosi yang lebih sehat, sedangkan kecemasan yang berulang meningkatkan risiko gangguan psikologis pada anak.
Baca juga: Pemkot Beri Pendampingan Psikologis ke Siswa SD Depok yang Terlibat Tawuran
Sayangnya, menurut Endang, intervensi terhadap pengasuhan di Indonesia sering kali baru dimulai ketika anak sudah lahir, bahkan ketika masalah sudah muncul.
“Idealnya, membangun kapasitas pengasuh dimulai dari hulu dari masa pranikah,” ujarnya.
Ia menyarankan agar pelatihan pranikah tidak hanya mencakup hal administratif atau biologis, tetapi juga refleksi pola asuh, latihan kesadaran diri, dan pengelolaan emosi.
Di tingkat komunitas, program pengasuhan berbasis mindfulness dapat dikembangkan dalam berbagai format untuk membantu pasangan hadir secara utuh dalam keluarga, termasuk memperkuat peran ayah sebagai pengasuh aktif.
Baca juga: Benarkah Anak yang Tumbuh Tanpa Peran Ayah Akan Jadi Generasi Stroberi? Ini Kata Psikolog
Selain itu, kehadiran negara juga sama pentingnya dalam memfasilitasi ekosistem pengasuhan yang sadar penuh sebagai bagian dari strategi pengasuhan nasional.
Endang menyarankan kebijakan dan program untuk masyarakat harus mulai bergeser dari sekadar “perawatan anak” menjadi “pembentukan kapasitas pengasuh”.
“Ketika PAUD Holistik-Integratif (PAUD HI) dipahami bukan sekadar layanan untuk anak, melainkan ruang pembelajaran bagi orang dewasa, maka kita bisa mulai mentransformasi budaya pengasuhan—dari pola lama yang reaktif menuju pola baru yang lebih sadar, tangguh, dan penuh welas asih,” tegasnya.
Baca juga: Pola Asuh Ini Buat Anak Berkarakter Lembek dan Gampang Menyerah, Orangtua Cek
Kesiapan mental emosional keluarga dalam menjalankan peran pengasuhan, menurut Endang juga penting untuk menyiapkan Generasi Emas 2045. Ini adalah kebutuhan nyata untuk membentuk generasi masa depan yang unggul secara emosional, sosial, dan kognitif.
Sebelum anak belajar membaca dan menulis, mereka terlebih dulu belajar dari sikap, perhatian, dan kasih sayang orangtua.
Dengan pengasuhan penuh kesadaran dan hadir sepenuhnya, anak akan tumbuh menjadi individu yang kuat, sadar diri, dan siap menghadapi dunia.
Baca juga: Anggota TNI Serang Mapolres Tarakan, Pangdam: Kesalahpahaman Individu, Bukan Antar-institusi
Oleh karena itu, penguatan kapasitas pengasuh perlu menjadi bagian dari strategi jangka panjang pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
“ Mindful parenting sejak masa pranikah bukan sekadar pilihan. Ini adalah langkah strategis dalam pembangunan manusia Indonesia,” tutur Endang.