KOMPAS.com – Di balik popularitas sneakers, muncul fenomena peredaran sneakers palsu atau KW yang terus marak, bahkan di pusat perbelanjaan besar dengan sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Harga yang tinggi membuat banyak orang mencari alternatif, termasuk produk tiruan.
Di sinilah isu Hak Kekayaan Intelektual (HKI) menjadi sorotan.
Menurut Nia Elvina, Sosiolog Universitas Nasional (UNAS), aturan HKI lahir dari logika kapitalisme global.
“Secara sosiologis, munculnya HKI atau dengan berbagai istilah lainnya adalah untuk memenuhi kepentingan negara kapitalis, yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,” ujar Nia saat dihubungi Kompas.com, Jumat (19/8/2025).
Ia menjelaskan, dengan adanya perlindungan merek, negara atau perusahaan besar bisa membatasi pihak lain untuk memproduksi barang serupa.
Akibatnya, akses masyarakat pada produk berkualitas dengan harga terjangkau menjadi terbatas.
Nia menekankan, pembatasan lewat HKI tidak hanya terjadi pada produk fashion seperti sneakers.
Hal serupa juga berlaku di bidang seni, musik, hingga kuliner.
“Resep masakan, lagu, dan barang-barang ekonomi, kalau bercermin dari masyarakat kita, ya tidak ada hak kepemilikan pribadi,” jelasnya.
Baca juga: Marak Sneakers Palsu di Pasaran, Jejouw Bagikan 5 Cara Membedakan Sneakers Ori dan KW
Sistem HKI memperlihatkan perbedaan cara pandang antara budaya kapitalis global dan budaya di Indonesia.
Dalam pandangan kapitalisme global, karya dan produk, mulai dari sepatu, musik, hingga resep makanan, dianggap memiliki nilai ekonomi yang harus dilindungi lewat aturan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Meniru atau memodifikasi karya orang lain bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Namun, menurut Sosiolog Nia Elvina, cara pandang tersebut tidak selalu sejalan dengan nilai yang dianut masyarakat Indonesia.
“Kalau kita sebagai negara yang tidak menganut kapitalisme, seharusnya kita tidak mengenal pembatasan kreativitas seseorang, ataupun memvalidasi (meniru) karya orang lain,” kata Nia.
Baca juga: Sneakers Off-White x Air Jordan 1 UNC, Incaran Kolektor yang Masih Dicari
Namun, di sisi lain, aturan HKI sering dipandang membuat produk bermerek memiliki harga tinggi sehingga tidak selalu mudah dijangkau masyarakat.Dalam konteks sneakers KW, isu HKI tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi.
Produk tiruan hadir karena ada kebutuhan nyata, yakni masyarakat ingin tampil trendi, tapi harga sneakers asli terlalu tinggi.
Menurut Nia, hal ini menunjukkan perlunya negara hadir memastikan kebutuhan dasar masyarakat, seperti pakaian dan sepatu, tetap bisa dijangkau dengan kualitas baik.
Baca juga: Kenapa Sneakers Palsu Tetap Laku di Pasaran? Ini Kata Pakar dan Konsumen
Fenomena sneakers KW mengundang pertanyaan lebih luas, sejauh mana HKI benar-benar melindungi karya, dan sejauh mana ia justru membatasi akses masyarakat?
HKI pada dasarnya berfungsi menjaga orisinalitas serta keberlangsungan industri kreatif.
Tanpa perlindungan ini, desainer atau brand bisa kesulitan mempertahankan nilai karyanya.
Namun, di sisi lain, aturan HKI sering dipandang membuat produk bermerek memiliki harga tinggi sehingga tidak selalu mudah dijangkau masyarakat.
Bagi konsumen, pilihan akhirnya kembali pada gaya hidup, apakah ingin berinvestasi pada produk orisinal demi mendukung industri kreatif, atau memilih alternatif sepeti membeli barang lokal yang lebih terjangkau?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang