KOMPAS.com - Terlalu sering menonton video mukbang bisa meningkatkan risiko depresi, berdasarkan studi terbaru yang dilakukan di Korea Selatan.
"Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi menonton mukbang yang lebih tinggi secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko gejala depresi," tulis studi yang bertajuk Association between mukbang-watching (eating broadcasts) and depression in Korean adults, dilansir dari BMC Psychiatry, Minggu (7/9/2025).
Baca juga:
Tidak hanya itu, partisipan yang menonton mukbang tiga kali sehari atau lebih per minggu melaporkan adanya prevalensi gejala depresi sedang dan berat yang lebih tinggi dibanding partisipan yang tidak menonton mukbang.
"Hasil ini menunjukkan bahwa menonton mukbang secara rutin mungkin menjadi indikator atau faktor kontributif dalam hasil kesehatan mental yang buruk," tambah studi tersebut.
Namun, apa itu mukbang dan mengapa bisa berkaitan dengan risiko depresi?
Secara harfiah dari bahasa Korea, mukbang artinya eating broadcast (siaran makanan). Biasanya orang yang melakukan mukbang (mukbangers) mengonsumsi banyak makanan yang kalorinya bisa lebih dari 4.000 kalori dalam satu waktu.
Di sisi lain, mukbangers bisa menghasilkan 10.000 dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 164 juta) per bulan, belum termasuk sponsor dari brand makanan dan minuman, dikutip dari Today.com.
Menurut blogger asal Kanada, Simon Stawski, mukbang pertama kali dikenalnya tahun 2014, lalu berlanjut menjadi tren global sejak tahun 2015.
Stawski menuturkan, makan merupakan aktivitas sosial bagi masyarakat Korea Selatan. Oleh sebab itu, jarang bagi warga negara tersebut untuk makan sendirian di luar.
"Bagi mereka yang tidak bisa makan bersama orang lain, mereka lebih mungkin tinggal di rumah untuk makan sendirian, tapi mereka tetap memiliki keinginan untuk bersosialisasi saat makan, yang menurut saya itulah yang ditiru oleh mukbangers," jelas Stawski.
Beragam video mukbang tersedia di YouTube dan bisa ditonton dengan gratis. Makanannya pun beragam, dari makanan khas Korea hingga makanan khas Indonesia tergantung kreativitas mukbangers.
Baca juga: