JAKARTA, KOMPAS.com – Para nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, menggelar tradisi Nadran atau sedekah laut pada Selasa (22/7/2025), sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas hasil laut yang mereka peroleh.
Rangkaian acara Nadran dimulai sehari sebelumnya, Senin (21/7/2025), dengan penyembelihan satu ekor kerbau dan dua ekor kambing. Kepala serta jeroan hewan kurban tersebut kemudian dilarung ke laut sebagai simbol persembahan.
Selain hewan kurban, para nelayan juga menyiapkan miniatur perahu berisi sesaji berupa buah-buahan, bunga, sayur-mayur, aneka minuman, hingga uang. Miniatur perahu ini diikat di sisi kiri kapal sebelum akhirnya dilarungkan ke laut.
Baca juga: Gibran Akan Rapat Bahas Percepatan Normalisasi Kali Angke
Tidak hanya itu, di atap kapal juga digantung berbagai minuman dalam botol, mulai dari teh manis hingga minuman bersoda, sebagai bagian dari prosesi adat.
Pada malam sebelumnya, nelayan turut menggelar pertunjukan wayang kulit semalam suntuk, yang menjadi bagian dari tradisi Nadran tahun ini.
Pada Selasa pagi, prosesi puncak Nadran dimulai pukul 08.48 WIB dengan penampilan marching band dan pertunjukan reog dari salah satu SMP di Jakarta Utara.
Sekitar pukul 10.00 WIB, para nelayan menjalani ritual ruwatan atau pensucian diri di depan panggung wayang kulit, sebelum berangkat ke tengah laut.
Setidaknya lima perahu besar berangkat ke tengah laut, namun hanya dua kapal yang membawa miniatur perahu berisi sesaji.
Prosesi ini dikawal oleh sejumlah pihak, termasuk Basarnas, TNI/Polri, dan aparat terkait lainnya.
Pada pukul 11.15 WIB, rombongan kapal mulai bergerak menuju perairan sekitar Pulau Damar, Kepulauan Seribu, yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Muara Angke.
Baca juga: Terakhir Terlihat di Pelabuhan Merak, Dian Akbar Hilang Usai Pamit Temui Teman
Dalam perjalanan, sesaji berupa dupa, bunga, hingga darah kerbau yang dicampur melati disebar ke laut menggunakan batang pohon pinang. Ini merupakan bagian dari tradisi spiritual para nelayan untuk meminta berkah dan keselamatan.
Meski tengah menjalani prosesi adat, suasana tetap meriah. Para nelayan dan warga yang ikut dalam tradisi ini berjoget di atas kapal diiringi musik dangdut khas Cirebon yang diputar dari speaker masing-masing kapal.
"Tradisinya emang masing-masing kapal bawa speaker. Biasanya kalau melaut juga ada speaker buat menghilangkan jenuh," kata salah satu nelayan, Toni (42), kepada Kompas.com.
Setibanya di titik pelarungan, para nelayan menggunakan gergaji untuk memotong tali pengikat miniatur perahu yang berisi sesaji.
Setelah dilepaskan, miniatur kapal itu perlahan jatuh ke laut, membiarkan isi sesaji—kepala kerbau, buah, sayur, dan uang—berserakan di laut.