JAKARTA, KOMPAS.com - Penetapan batas kekayaan dalam versi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola BPD menuai polemik di media sosial X.
Pasalnya, dalam data tersebut seseorang sudah dikategorikan “superkaya” jika memiliki pengeluaran di atas Rp 3 juta per kapita setiap bulan.
DTSEN merupakan basis data terpadu yang menggabungkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), Regsosek (Registrasi Sosial Ekonomi), serta Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
Dalam sistem tersebut, masyarakat dibagi menjadi 10 desil kesejahteraan, mulai dari Desil 1 (paling miskin) hingga Desil 10 (paling kaya).
Baca juga: Saat Data Pertumbuhan Ekonomi BPS Diragukan, Sri Mulyani hingga Luhut Membela
Hal itu sesuai Keputusan Menteri Sosial Nomor 79/HUK/Tahun 2025, pengeluaran per kapita menjadi patokan utama untuk memetakan tingkat kesejahteraan warga.
Kategori ini membuat banyak warganet kaget sekaligus meragukan akurasinya karena dinilai terlalu rendah untuk menggambarkan lapisan masyarakat terkaya di Indonesia.
Sejumlah akun bahkan menyampaikan kritik bernada satire.
“Kalau kategori memberi Bansos, satu keluarga dengan pengeluaran Rp3 juta itu jadi super kaya, ya. Terus anggota DPR yang pakai jam, kacamata, dan tas mewah itu, termasuk apa?” tulis akun @soetjenmarching pada 14 Agustus 2025.
"ternyata selama ini temen2ku super kaya.. Salam hai teman2 Super Kaya!" cuit akun @jetveetlev.
"Selama ini berdoa biar bisa jadi orang kaya, ternyata udah 'Super Kaya' walau 50% buat bayar kontrakan di gang sempit yang airnya oranye meski udah difilter. Ternyata orang super kaya kalo belanja juga masih pilih-pilih yang murah biar hemat (aku)," ujar akun @bunnybinn.
Baca juga: Data Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen Janggal Sampai Dikuliti, Kepala BPS Beri Klarifikasi
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan, DTSEN tidak digunakan untuk mengelompokkan masyarakat berdasar pengeluaran per kapita, tetapi untuk pemeringkatan kesejahteraan dalam desil 1 hingga 10.
“DTSEN tidak pernah digunakan untuk mengategorikan masyarakat menurut pengeluaran per kapita per bulan,” jelas Amalia, Selasa (19/8/2025).
Amalia menekankan, BPS tidak pernah memublikasikan besaran pengeluaran berdasarkan desil.
“Jika ada data pengeluaran menurut desil, dapat dipastikan data tersebut bukan bersumber dari BPS,” katanya.
DTSEN merupakan basis data penduduk Indonesia. Per 31 Juli 2025, jumlah penduduk tercatat 286,80 juta jiwa dengan 94,25 juta keluarga.
Baca juga: Usai Ditunda, BPS Bakal Rilis Data Kemiskinan Jumat Mendatang
Data ini, salah satunya, digunakan untuk intervensi program bantuan pemerintah berdasarkan desil.
Amalia menegaskan, penghitungan tingkat kemiskinan bukan dilakukan dengan DTSEN, melainkan berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilaksanakan setiap Maret dan September.
“Garis kemiskinan dihitung dari Susenas dan perlu dibaca sebagai garis kemiskinan rumah tangga. Orang miskin ditentukan dengan pengeluaran per rumah tangga, bukan per kapita,” pungkasnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini