INDONESIA tengah menghadapi pertanyaan mendasar tentang arah kebijakan fiskal di tengah realitas baru. BUMN kini ditempatkan di bawah payung holding besar bernama Danantara yang mulai mengubah orientasi pengelolaan keuntungan.
Selama puluhan tahun, deviden BUMN menjadi salah satu tumpuan penerimaan negara yang menopang APBN.
Kini, ketika wacana penghentian setoran deviden ke kas negara semakin nyata karena skema holding tersebut, muncul keresahan publik: bagaimana nasib APBN tanpa tambahan puluhan triliun rupiah setiap tahunnya?
Ini bukan sekadar hitung-hitungan teknis, melainkan menyangkut keberlangsungan pembangunan nasional dan keberanian negara menata ulang strategi fiskalnya di tengah gejolak ekonomi global.
Lebih jauh, isu ini mengguncang asumsi lama bahwa BUMN hanyalah “sapi perah” yang setiap tahun wajib menyetor deviden ke negara.
Selama bertahun-tahun, pola ini membuat negara terbiasa bergantung pada setoran korporasi milik pemerintah, seolah-olah keberlanjutan fiskal bisa dijamin hanya dengan memeras keuntungan BUMN.
Baca juga: Paradoks Indonesia: Makmur Ekonominya, Rapuh Toleransinya
Padahal, logika itu rapuh dan menyesatkan. BUMN akhirnya lebih sibuk mengejar target politik anggaran ketimbang membangun daya saing dan kontribusi riil bagi perekonomian.
Bila pola ini benar-benar diputus, konsekuensinya bukan hanya hilangnya salah satu sumber penerimaan, tetapi juga terbukanya wajah telanjang APBN: rapuh, timpang, dan terlalu bergantung pada instrumen lama.
Indonesia dipaksa menghadapi kenyataan pahit bahwa tanpa reformasi penerimaan negara yang berani dan berkelanjutan, kita hanya sedang menyiapkan diri menuju jurang fiskal yang lebih dalam.
Pertanyaannya kini jauh lebih mendesak: apakah negara siap mengubah paradigma fiskalnya, atau justru tetap bertahan dalam ilusi semu yang berakhir dengan krisis?
Ketika deviden BUMN tak lagi masuk ke APBN, otomatis ruang fiskal semakin sempit. Defisit berpotensi melebar, sementara kebutuhan belanja tetap tinggi: subsidi energi, pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.
Negara akan kehilangan puluhan triliun rupiah yang selama ini menjadi bagian dari fondasi penerimaan non-pajak.
Dalam kondisi seperti ini, tekanan publik terhadap pemerintah juga akan semakin besar, karena masyarakat menuntut keberlanjutan layanan publik tanpa kompromi, meski ruang fiskal menurun.
Dalam situasi ini, pajak akan semakin dipaksa menjadi tulang punggung APBN. Namun, kita tahu tax ratio Indonesia masih lemah, hanya 10,59 persen PDB, jauh di bawah negara tetangga.
Mengandalkan pajak tanpa perbaikan struktural sama saja dengan menumpuk beban di pundak yang rapuh.