Sayangnya, semangat kemerdekaan yang mestinya menghadirkan syukur dan persatuan, malah ternodai oleh kegaduhan politik akibat buruknya komunikasi para pejabat publik.
Publik belum reda gelombang kemarahan publik atas kebijakan dan pernyataan kontroversial Bupati Pati, Sudewo yang memicu unjuk rasa besar, pemakzulan, hingga teguran dari Istana.
Kita kembali dihadapkan dengan rentetan pernyataan pejabat negara yang justru memperkuat kesan bahwa komunikasi elite politik kita telah lepas kendali.
Masih di bulan yang sama, sejumlah pernyataan anggota DPR kembali menyulut amarah rakyat. Entah tanpa sadar atau memang disengaja, ucapan-ucapan itu memperlihatkan jarak sosial dan kultural antara mereka dan rakyat kebanyakan.
Dari analogi soal tunjangan rumah “Rp 50 juta masih kurang untuk kos” hingga kritik terhadap netizen sebagai "mental tertolol", semua ini adalah potret retorika yang tampak “asing” di mata publik.
Bahasa representasi kekuasaan
Dalam politik modern, komunikasi bukan sekadar alat penyampaian pesan, melainkan instrumen utama untuk membangun legitimasi dan kepercayaan publik.
Pernyataan publik seorang pejabat negara—apakah itu anggota DPR, menteri, atau kepala daerah—tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu lahir dalam ruang sosial yang penuh makna, ditafsirkan, direkam, bahkan dipertanyakan oleh masyarakat.
Namun, realitas komunikasi politik kita kerap menunjukkan wajah sebaliknya. Kumpulan pernyataan pejabat publik yang beredar di ruang digital belakangan ini justru memperlihatkan bagaimana bahasa bisa berubah menjadi instrumen alienasi antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Pernyataan bahwa tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan “masih kurang” untuk membayar kos sejatinya menyederhanakan realitas penderitaan masyarakat miskin.
Dengan menjadikan angka sebesar itu sebagai standar yang dianggap tidak memadai, wakil rakyat mengabstraksikan kehidupan rakyat kecil ke dalam kalkulasi elitis yang timpang.
Padahal, jutaan warga hanya bertahan hidup dengan upah minimum sekitar Rp 3 juta–Rp 5 juta per bulan, bahkan sering di bawahnya.
Pernyataan semacam ini bukan sekadar keliru dalam pilihan kata, melainkan problem komunikasi politik yang lebih dalam: hilangnya perspektif kerakyatan.
Bahasa pejabat publik tidak hanya merepresentasikan dirinya, tetapi juga institusi yang diwakilinya. Maka, ucapan sembrono meskipun tidak sengaja, dapat mencederai legitimasi kelembagaan.
Dalam konteks ini, komunikasi politik menjadi arena yang menunjukkan apakah seorang pejabat benar-benar memiliki sense of representation atau hanya sekadar menjalankan peran prosedural.
Demokrasi dan krisis kepercayaan
Seperti ditegaskan Prof. Gun Gun Heryanto (Guru Besar Ilmu Komunikasi Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dalam bukunya Realitas Komunikasi Politik Indonesia Kontemporer (2022), komunikasi politik idealnya berfungsi sebagai “jembatan makna” atau bridge of meaning yang menghubungkan realitas masyarakat dengan kebijakan publik.
Dalam pandangan beliau, kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh sejauh mana komunikasi mampu menghadirkan kedekatan makna, bukan jarak sosial antara penguasa dan warga negara.
Gun Gun dalam kajian lain juga menyoroti pola komunikasi politik di Indonesia yang kerap menjelma menjadi “drama elite”.
Fenomena ini sejalan dengan analisis dramaturgi dari Erving Goffman (1959), yang menggambarkan bagaimana aktor politik memainkan peran berbeda di panggung depan (front stage), yakni saat tampil di hadapan publik dan panggung belakang (back stage) ketika berada dalam ruang internal kekuasaan.
Dalam konteks ini, komunikasi politik sering kali bukanlah cerminan murni dari kepentingan publik, melainkan pertunjukan untuk mempertahankan citra, sekaligus mengelola persepsi.
Paradoks inilah yang menandai wajah komunikasi politik Indonesia: antara panggung representasi dan realitas aspirasi yang kerap tidak berjumpa, di mana retorika politik lebih tampil sebagai pertunjukan di panggung kekuasaan daripada sarana menyerap aspirasi publik.
Dalam teori komunikasi politik, legitimasi pemerintah dibangun bukan hanya melalui kebijakan, melainkan juga melalui discursive practice, yaitu praktik berbahasa yang meyakinkan publik bahwa pejabat hadir untuk mendengar, memahami, dan melayani.
Ketika bahasa justru melukai, maka komunikasi berubah menjadi sumber krisis.
Fenomena ini dapat memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap lembaga politik. Demokrasi kehilangan ruhnya ketika rakyat tidak lagi melihat wakilnya sebagai representasi, melainkan sebagai kelas sosial yang hidup di menara gading.
Kembali ke komunikasi inklusif
Solusi dari persoalan ini bukan sekadar meminta pejabat berhati-hati dalam berbicara. Lebih mendasar, diperlukan transformasi menuju komunikasi inklusif: komunikasi yang mengedepankan empati, keterhubungan, dan kesadaran posisi.
Seorang pejabat publik harus menempatkan dirinya sebagai bagian dari rakyat, bukan penguasa atas rakyat.
Dalam praktiknya, komunikasi inklusif tercermin melalui penggunaan bahasa yang mudah dipahami publik, disampaikan dengan empati terhadap kesulitan rakyat.
Pejabat publik perlu menyerap aspirasi masyarakat sebagai masukan berharga bagi kebijakan, bukan melihatnya sebagai ancaman.
Lebih jauh, kritik seharusnya dihargai sebagai energi demokrasi yang konstruktif, bukan diposisikan sebagai serangan pribadi.
Kualitas demokrasi Indonesia tidak hanya ditentukan oleh pemilu, jumlah kursi di parlemen, atau besarnya anggaran negara. Demokrasi ditentukan pula oleh seberapa bijak para pemimpinnya menggunakan bahasa.
Sebab dalam politik, kata-kata bukan sekadar bunyi; ia adalah kuasa, representasi, sekaligus pertaruhan legitimasi.
Jika bahasa politik terus dipenuhi arogansi, maka jurang ketidakpercayaan akan semakin dalam.
Sebaliknya, jika pejabat publik berani menempuh jalan komunikasi inklusif, barulah rakyat dapat benar-benar merasakan bahwa mereka memiliki wakil yang berpikir dan berbicara dengan perspektif kerakyatan.
https://nasional.kompas.com/read/2025/08/30/18130631/transformasi-komunikasi-infklusif-pejabat-negara