Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian Varieties of Democracy (2024).
Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai relative deprivation: kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
Dalam kerangka teori fragile states (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif the executive weaponization of law enforcement (Thomas Power: 2020).
Dalam perspektif the executive weaponization of law enforcement bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
Komunikasi publik mereka clometan, pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai psychological striking force atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara real-time.
Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
Inilah yang disebut manufactured consent—persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
Dalam kondisi low trust society, kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara Satu Meja The Forum, “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
"Mrucut" atau bangkit?
Jakob Oetama, pendiri Kompas, dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai mrucut.”
“Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
https://nasional.kompas.com/read/2025/09/07/06000091/tanda-zaman-pertobatan-nasional-dan-komisi-independen