Salin Artikel

Tuntutan Rakyat 17+8

Kini, kombinasi itu muncul kembali, bukan dalam upacara di lapangan, tetapi dalam dokumen yang diserahkan dengan getir di depan gedung DPR.

Angka itu bukan lagi sekadar penanda waktu, melainkan penanda luka. Seakan rakyat ingin mengingatkan: kemerdekaan tidak pernah selesai.

Apa yang dulu diikrarkan pada 17 Agustus, kini harus diulang dalam bentuk tuntutan, seolah negara lupa kepada janji awalnya.

Demonstrasi yang membanjiri jalan-jalan kota pada akhir Agustus itu adalah bentuk lain dari sidang rakyat.

Jalan raya berubah menjadi forum, aspal menjadi mimbar, dan poster menjadi naskah. Di situ rakyat menuliskan kalimat-kalimat yang tak terbaca dalam naskah undang-undang.

Jalan selalu punya ingatan. Ia mengingat langkah-langkah mahasiswa 1966, ia mencatat teriakan 1998, dan kini ia kembali dipenuhi suara yang sama: kekecewaan.

Jalan bukan sekadar ruang untuk bergerak, tetapi ruang untuk menagih. Di sanalah demokrasi sering menemukan dirinya ketika institusi formal bungkam.

Tuntutan itu ditulis dalam kata-kata yang tegas: hentikan kriminalisasi, tarik tentara ke barak, pangkas privilese, wujudkan upah layak.

Kata-kata yang sederhana, tetapi tajam. Dalam politik, kata bisa lebih berbahaya daripada senjata, karena ia menyentuh legitimasi.

Namun kata juga bisa rapuh. Ia bisa diabaikan, dijawab dengan janji baru, atau dipatahkan oleh retorika kuasa.

Rakyat tahu itu, karena sudah berulang kali merasakannya. Namun, mereka tetap menulis, tetap menyerahkan dokumen, karena mereka percaya: kata adalah satu-satunya jalan yang tersisa sebelum batu dan api bicara.

Gerakan 17+8 bukan hanya soal isi, tetapi juga simbol. Warna-warna yang dipilih—merah muda, hijau, biru—menjadi bahasa baru protes.

Ia viral di media sosial, menjelma poster digital, dan menyeberang ke jalan. Simbol itu menembus batas generasi, menyatukan mahasiswa, pekerja, influencer, hingga buruh migran.

Di republik yang makin gemar menutup telinga, simbol menjadi bahasa sunyi yang tak bisa ditahan. Ia menempel di mata, mengendap di ingatan, dan membuat penguasa gelisah.

DPR pun merespons. Tunjangan perumahan Rp 50 juta dipangkas, perjalanan dinas luar negeri dihentikan, gaji anggota yang dinonaktifkan ditahan.

Angka-angka diumumkan dengan terburu-buru, seolah ingin menunjukkan mereka tak tuli. Namun publik tahu, balasan ini hanya kulit.

Di balik angka Rp 65 juta take home pay, rakyat melihat jurang yang tetap menganga. Balasan itu seperti obat pereda nyeri: menenangkan sesaat, tetapi tak menyentuh penyakit. Penyakit itu bernama privilese. Penyakit itu bernama jarak.

Dari gerakan ini, wajah politik kita kembali tersingkap. Ada lima nama anggota DPR yang dinonaktifkan partainya—selebritas yang tiba-tiba masuk parlemen, politisi lama yang terbiasa dengan fasilitas.

Wajah-wajah ini menjadi simbol bagaimana kursi wakil rakyat bisa dijadikan panggung pribadi, bukan ruang pengabdian.

Rakyat muak bukan karena mereka selebritas, melainkan karena mereka lupa diri. Demokrasi yang seharusnya menghadirkan representasi berubah menjadi panggung hiburan. Di situlah wajah parlemen tampak gelap.

Rakyat tidak hanya menuntut. Mereka juga menawarkan arah. Audit independen untuk DPR, larangan bagi eks-koruptor kembali duduk, transparansi keuangan partai, pengesahan UU Perampasan Aset, reformasi Polri dan TNI, hingga perlindungan bagi pekerja dan lingkungan.

Inilah paradoksnya: rakyat yang sering dianggap massa tanpa konsep justru menawarkan visi lebih jernih daripada elite. Harapan itu sederhana: negara yang berpihak, hukum yang adil, dan politik yang waras.

Akhirnya, 17+8 bukan sekadar daftar tuntutan. Ia adalah narasi tentang republik yang sedang kehilangan ingatannya. Ia mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hadiah permanen, melainkan janji yang harus terus ditagih.

Republik ini lahir dari keberanian menuntut. Dari Sumpah Pemuda, dari Proklamasi, dari Reformasi. Kini, rakyat kembali menuntut dengan cara yang sama: turun ke jalan, menulis dokumen, menyalakan lilin.

Apakah penguasa akan mendengar? Mungkin ya, mungkin tidak. Tetapi yang pasti, rakyat sudah bicara. Dan selama rakyat masih bicara, republik ini tetap hidup.

https://nasional.kompas.com/read/2025/09/08/05300031/tuntutan-rakyat-17-8

Bagikan artikel ini melalui
Oke