Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Arifin
Dosen

Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

Hedonisme di Balik Palu

Kompas.com - 24/05/2025, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI BALIK palu yang diketuk hakim dalam ruang sidang, sesungguhnya bukan hanya ada puutusan hukum. Di sana terletak simbol kekuasaan negara, kredibilitas sistem peradilan, dan—seharusnya—cerminan etika publik.

Namun, simbol itu kini terancam menjadi tanda kemunafikan, ketika sebagian penegak hukum justru larut dalam gaya hidup hedonis yang mencolok, bertabrakan dengan semangat keadilan dan kesederhanaan yang menjadi fondasi profesi mereka.

Ketua Mahkamah Agung, Sunarto, telah membuka pintu kritik itu secara terang-terangan: hakim dengan gaji Rp 23 juta, tapi memakai jam tangan Rp 1 miliar, sepatu Bally, dan mengendarai mobil Porsche.

Dalam forum resmi, ia bahkan bertanya dengan nada getir: “Kok enggak malu?”

Pernyataan itu bukan sekadar retorika. Ia adalah cermin dari kegelisahan moral di puncak lembaga yudikatif di negeri ini.

Baca juga: Mahkamah Agung Minta Hakim Hindari Gaya Hidup “Hedon”

Ketika seorang hakim tidak lagi merasa malu untuk hidup mewah di tengah tuntutan integritas, maka yang kita hadapi bukan sekadar pelanggaran etik, tapi krisis institusional.

Palu yang digenggam hakim bukan sekadar alat formal memulai dan menutup persidangan. Ia adalah simbol dari kekuasaan hukum yang bersumber dari kepercayaan publik.

Ketika palu itu dijalankan oleh tangan yang tak mampu membedakan batas antara kewenangan dan kehendak pribadi, maka kekuasaan berubah menjadi alat kepentingan.

Hakim adalah figur publik yang keberadaannya menyimpan konsekuensi etis. Ia bukan profesi biasa. Ia tak bisa berdalih bahwa gaya hidup adalah urusan pribadi.

Karena dalam sistem hukum, kepercayaan adalah mata uang utama. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari teks, tetapi dari laku hidup.

Dalam ilmu hukum, kita diajarkan bahwa etika profesi hukum tak berhenti di ruang pengadilan. Etika mengikat hingga ke dalam kehidupan sehari-hari.

Sederhana bukan berarti miskin, tapi tahu batas. Hidup pantas bukan berarti menolak kenyamanan, tapi menjauhi kemewahan yang menimbulkan syak wasangka.

Ketika seorang hakim memakai arloji seharga satu unit rumah, publik akan bertanya, dari mana uangnya?

Pertanyaan itu rasional. Bahkan wajib. Karena hakim adalah aktor yang memutus nasib orang lain, dan integritasnya haruslah tak bercela. Jika gaji tak cukup untuk menutupi gaya hidup, maka dari mana ia mencukupi?

Di titik inilah hukum berjumpa dengan etika. Tanpa etika, hukum akan kehilangan otoritas moralnya. Tanpa otoritas moral, hukum hanyalah teknik administrasi kekuasaan yang kering makna.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau