PEMERINTAH kini tampaknya gemar bersikap keras terhadap simbol, tapi lembek terhadap kedaulatan.
Menjelang Hari Kemerdekaan ke-80, pemerintah menunjukkan reaksi ‘represif’ terhadap pengibaran bendera bajak laut fiksi dari anime One Piece, Jolly Roger bertopi Jerami, yang dikibarkan sejumlah warga dan pelajar.
Bendera itu, yang oleh warganet disebut sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan demokrasi yang menyusut, langsung ditanggapi dengan ancaman pidana oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan.
Wakil Ketua DPR pun menyebut gerakan itu sebagai upaya sistematis memecah persatuan bangsa.
Namun, ketika Malaysia secara terang-terangan mendekati Blok Ambalat dengan kapal eksplorasi dan narasi geopolitik, reaksi negara justru nyaris tak terdengar.
Fenomena pengibaran Jolly Roger bukan sekadar gaya hidup pop culture. Ia adalah bentuk satir rakyat terhadap negara yang mereka nilai represif, simbolis, dan gagal membaca krisis yang sebenarnya.
“Merah putih terlalu suci untuk dikibarkan saat rakyat masih dijajah oleh kekuasaan sendiri,” tulis seorang pengguna X.
Baca juga: Tengkorak Topi Jerami: Literasi Simbolik di Era Pasca-Kebangsaan
Yang lain mengganti logo HUT RI dengan desain bajak laut sebagai tanda protes terhadap elite yang dianggap menggadaikan republik ini demi investasi dan citra semu.
Dan memang benar, dalam dunia yang penuh paradoks ini, negara lebih mudah mengkriminalisasi bendera anime daripada menghadapi negara lain yang perlahan menyusup ke perairan kaya energi.
Blok Ambalat adalah wilayah laut strategis yang terletak di perbatasan Kalimantan Timur, kaya cadangan minyak dan gas.
Malaysia telah lama mengklaim kawasan ini sebagai bagian dari blok ND6 dan ND7, yang mencakup wilayah eksplorasi migas potensial senilai miliaran dolar AS.
Menurut laporan World Oil Outlook 2023 yang dirilis OPEC, kawasan Laut Sulawesi mengandung potensi cadangan minyak mencapai 62 juta barel dan gas sebesar 1,2 triliun kaki kubik, angka yang membuat kawasan ini diperebutkan oleh banyak kepentingan.
Namun, dalam pertemuan bilateral terbaru antara Presiden Prabowo Subianto dan PM Dato Anwar Ibrahim, tidak ada pernyataan tegas mengenai klaim Indonesia.
Yang muncul hanyalah retorika pengembangan bersama atau joint development, istilah manis untuk menutupi absennya posisi tegas negara dalam menjaga batas.
Bahkan dalam keterangan pers resmi Sekretariat Kabinet (29 Juli 2025), kata “Ambalat” hanya muncul sekali dan tanpa rujukan posisi hukum atau deklarasi kedaulatan.