DI PANGGUNG politik, kata-kata adalah senjata sekaligus jembatan. Ia bisa membangun keyakinan atau meruntuhkan kepercayaan.
Ia dapat menjadi balsem bagi luka rakyat, atau garam yang menganga di perih yang belum sembuh.
Dan di negeri ini, kerap kali kita melihat bagaimana kata-kata pejabat publik meluncur tanpa rem, seolah lidah tidak terhubung pada nalar dan hati.
Kita menghafal wajah para pejabat dari layar televisi dan layar ponsel. Kita mendengar suara mereka dalam siaran langsung, potongan berita, hingga video yang viral di media sosial. Ada yang menenangkan, tapi tak jarang yang membuat kening berkerut.
Dari menteri hingga kepala daerah, dari ruang konferensi pers hingga acara santai, ada saja ucapan yang meleset dari makna yang semestinya.
Seorang pejabat publik bukan hanya pengambil keputusan, tetapi juga pengambil kata. Kalimat yang keluar dari mulutnya adalah representasi institusi, bahkan bangsa.
Baca juga: Pajak dan Protes Rakyat dalam Sejarah Indonesia
Ketika seorang menteri berbicara, ia tidak hanya berbicara sebagai pribadi, tetapi sebagai negara.
Dan di titik ini, komunikasi publik bukan sekadar seni berbicara, melainkan seni menjaga kepercayaan.
Namun, betapa seringnya kita disuguhi komentar nyeleneh yang seolah tak diukur dampaknya. Pernyataan yang meremehkan keluhan rakyat, candaan yang tidak pada tempatnya, atau metafora yang menimbulkan salah tafsir.
Di hadapan publik, setiap kata adalah anak panah: sekali dilepaskan, ia tidak bisa kembali.
Komunikasi publik sejatinya bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga mengikat rasa antara pemimpin dan rakyatnya.
Seorang pejabat yang piawai berkomunikasi mampu membuat kebijakan yang keras terasa bisa diterima, karena ia tahu cara menjelaskan alasan dan tujuan di baliknya. Ia paham bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, tapi subjek yang berhak dihormati.
Sayangnya, di negeri ini, pelatihan komunikasi publik bagi pejabat seringkali dianggap pelengkap, bukan kebutuhan.
Padahal, kerusakan reputasi dan merosotnya kepercayaan publik seringkali bukan karena kebijakan yang diambil, tetapi karena cara kebijakan itu dikomunikasikan.
Ucapan pejabat publik yang sembrono dapat menimbulkan dampak berlapis. Pertama, ia merusak citra pribadi pejabat itu sendiri.