Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik

Kompas.com - 15/08/2025, 05:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.

Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.

Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.

Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.

Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.

Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.

Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.

Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.

Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat

Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.

Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.

Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.

Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.

Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.

Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau