"Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri." (Bung Hatta)
DUA hari sebelum perayaan hari Kemerdekaan Indonesia ke 80, tepatnya tanggal 15 Agustus 2025, yang notabene adalah hari Kemerdekaan pertama bagi Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesia ke 8, Prabowo menyampaikan nota keuangan negara di hadapan anggota DPR/MPR RI di Senayan.
Isinya secara politik sangat persuasif-inklusif, karena merangkul semua pihak, termasuk semua presiden dan ide-ide yang pernah mereka cetuskan di dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Tak perlu ada pertentangan dan perbedaan, meskipun pertentangan dan perbedaan secara implisit dikatakan akan tetap dihormati.
Prabowo menyebutnya dengan istilah Demokrasi khas Indonesia, yang sudah diterapkan oleh nenek moyang bangsa ini sejak dulu kala, di mana gotong royong dan asas kekeluargaan diutamakan.
Lalu, Prabowo kembali mengingatkan publik nasional tentang pentingnya memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan.
Baca juga: Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
Kemudian tentang pentingnya kemandirian atau berdiri di atas kaki sendiri, serta keharusan untuk berdaulat secara ekonomi, di mana kebutuhan pangan nasional bisa dipenuhi secara mandiri.
Di atas kertas, tentu narasi politik semacam ini sangat menarik dan indah. Ibarat retorika yang menggelegar.
Kesan saya sebagai orang biasa, saya merasa “sangat bersaudara” dengan presiden republik Indonesia, orang nomor satu di negeri ini, karena harapan dan cita-cita saya terkesan seperti “tertulis” dengan jelas di dalam visi politik yang disampaikan seorang presiden. Saya merasa bersatu dengan bangsa dan negara yang dipimpinnya.
Namun praktiknya, terutama di dalam perjalanan sejarah bangsa, Indonesia pernah menggunakan narasi serupa, tapi ujungnya berkali-kali justru terpeleset.
Narasi tentang persatuan dan kebersamaan, setali tiga uang di dalamnya ada asas kekeluargaan dan gotong-royong, terbukti cenderung digunakan untuk mendelegitimasi hak-hak individu dan kelompok yang dinilai menurut standar negara (penguasa) bertentangan dengan kepentingan politik negara (penguasa) di satu sisi dan melegitimasi “korupsi bergotong royong” atau “kolusi-nepotisme di dalam keluarga besar kekuasaan” di sisi lain.
Bahkan visi yang jauh lebih “merakyat dari itu” pernah diusung di pemerintahan sebelumnya, di mana seorang presiden dinarasikan sebagai orang biasa, layaknya tetangga, sehingga tak ada perbedaaan antara seorang presiden dengan rakyat biasa seperti saya.
Namun, yang terjadi kemudian tidaklah demikian. Presiden tetaplah seorang presiden, dengan kekuasaan besar dan diskresi yang dimilikinya.
Begitu pula dengan keluarga presiden, dengan segala “priviledge” dan “advantages-nya”. Pun tidak luput “konco-konco” presiden tetaplah konco-konco presiden, dengan segala kapasitas destruktifnya atas tatanan ekonomi politik nasional sepanjang patronnya berkuasa di Istana.
Apalagi jika kita kembali lebih jauh ke era Orde Lama dan Orde Baru, misalnya. Pada masa Orde Lama, narasi yang sejenis dengan narasi demokrasi khas Indonesia pernah membawa Sukarno ke dalam era demokrasi terpimpinnya (Guided Democracy), setelah dekrit presiden yang menyatakan parlemen Indonesia dibubarkan begitu saja atas perintah seorang presiden.
Setelah itu, di era Orde Baru, Suharto juga menggunakan narasi yang mirip, atas nama demokrasi Pancasila, di mana gotong royong dan asas kekeluargaan menjadi pilar utamanya.
Namun, 30 tahun setelah dipraktikkan, hasilnya hanya krisis ekonomi dan pembusukan tatanan politik nasional, akibat kenikmatan-kenikmatan yang seharusnya dinikmati rakyat banyak ternyata melenceng ke sebagian kecil klik ekonomi politik lingkaran presiden saja.
Mengapa bisa demikian? Dalam hemat saya, jawabannya ada pada pernyataan proklamator Dr Muhammad Hatta di awal tulisan ini.
Merdeka dari kemiskinan, penderitaan, dan kelaparan, setelah kemerdekaan di tahun 1945, tidaklah dihalangi oleh siapa-siapa, tapi justru oleh bangsa sendiri yang mengaku-ngaku mewakili semua rakyat Indonesia.
Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat
Nyatanya di dalam praktik yang terjadi adalah sebaliknya. Dan rakyat tidak menyadari itu sedari awal karena terlena oleh konsep dan narasi politik holistik - integralistik pemimpin beserta elite-elite yang melingkupinya.
Dalam sejarah perdebatan ideasional setelah kemerdekaan, mayoritas sejatinya pemimpin-pemimpin kemerdekaan kita menolak ide demikian.