Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Refleksi HUT ke-80 RI: Antara Prabowo, Narasi Demokrasi Khas Indonesia, dan Kemerdekaan

Kompas.com - 17/08/2025, 06:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri." (Bung Hatta)

DUA hari sebelum perayaan hari Kemerdekaan Indonesia ke 80, tepatnya tanggal 15 Agustus 2025, yang notabene adalah hari Kemerdekaan pertama bagi Prabowo Subianto selaku Presiden Republik Indonesia ke 8, Prabowo menyampaikan nota keuangan negara di hadapan anggota DPR/MPR RI di Senayan.

Isinya secara politik sangat persuasif-inklusif, karena merangkul semua pihak, termasuk semua presiden dan ide-ide yang pernah mereka cetuskan di dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Tak perlu ada pertentangan dan perbedaan, meskipun pertentangan dan perbedaan secara implisit dikatakan akan tetap dihormati.

Prabowo menyebutnya dengan istilah Demokrasi khas Indonesia, yang sudah diterapkan oleh nenek moyang bangsa ini sejak dulu kala, di mana gotong royong dan asas kekeluargaan diutamakan.

Lalu, Prabowo kembali mengingatkan publik nasional tentang pentingnya memerdekakan rakyat Indonesia dari kemiskinan, kelaparan, dan penderitaan.

Baca juga: Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik

 

Kemudian tentang pentingnya kemandirian atau berdiri di atas kaki sendiri, serta keharusan untuk berdaulat secara ekonomi, di mana kebutuhan pangan nasional bisa dipenuhi secara mandiri.

Di atas kertas, tentu narasi politik semacam ini sangat menarik dan indah. Ibarat retorika yang menggelegar.

Kesan saya sebagai orang biasa, saya merasa “sangat bersaudara” dengan presiden republik Indonesia, orang nomor satu di negeri ini, karena harapan dan cita-cita saya terkesan seperti “tertulis” dengan jelas di dalam visi politik yang disampaikan seorang presiden. Saya merasa bersatu dengan bangsa dan negara yang dipimpinnya.

Namun praktiknya, terutama di dalam perjalanan sejarah bangsa, Indonesia pernah menggunakan narasi serupa, tapi ujungnya berkali-kali justru terpeleset.

Narasi tentang persatuan dan kebersamaan, setali tiga uang di dalamnya ada asas kekeluargaan dan gotong-royong, terbukti cenderung digunakan untuk mendelegitimasi hak-hak individu dan kelompok yang dinilai menurut standar negara (penguasa) bertentangan dengan kepentingan politik negara (penguasa) di satu sisi dan melegitimasi “korupsi bergotong royong” atau “kolusi-nepotisme di dalam keluarga besar kekuasaan” di sisi lain.

Bahkan visi yang jauh lebih “merakyat dari itu” pernah diusung di pemerintahan sebelumnya, di mana seorang presiden dinarasikan sebagai orang biasa, layaknya tetangga, sehingga tak ada perbedaaan antara seorang presiden dengan rakyat biasa seperti saya.

Namun, yang terjadi kemudian tidaklah demikian. Presiden tetaplah seorang presiden, dengan kekuasaan besar dan diskresi yang dimilikinya.

Begitu pula dengan keluarga presiden, dengan segala “priviledge” dan “advantages-nya”. Pun tidak luput “konco-konco” presiden tetaplah konco-konco presiden, dengan segala kapasitas destruktifnya atas tatanan ekonomi politik nasional sepanjang patronnya berkuasa di Istana.

Apalagi jika kita kembali lebih jauh ke era Orde Lama dan Orde Baru, misalnya. Pada masa Orde Lama, narasi yang sejenis dengan narasi demokrasi khas Indonesia pernah membawa Sukarno ke dalam era demokrasi terpimpinnya (Guided Democracy), setelah dekrit presiden yang menyatakan parlemen Indonesia dibubarkan begitu saja atas perintah seorang presiden.

Setelah itu, di era Orde Baru, Suharto juga menggunakan narasi yang mirip, atas nama demokrasi Pancasila, di mana gotong royong dan asas kekeluargaan menjadi pilar utamanya.

Namun, 30 tahun setelah dipraktikkan, hasilnya hanya krisis ekonomi dan pembusukan tatanan politik nasional, akibat kenikmatan-kenikmatan yang seharusnya dinikmati rakyat banyak ternyata melenceng ke sebagian kecil klik ekonomi politik lingkaran presiden saja.

Mengapa bisa demikian? Dalam hemat saya, jawabannya ada pada pernyataan proklamator Dr Muhammad Hatta di awal tulisan ini.

Merdeka dari kemiskinan, penderitaan, dan kelaparan, setelah kemerdekaan di tahun 1945, tidaklah dihalangi oleh siapa-siapa, tapi justru oleh bangsa sendiri yang mengaku-ngaku mewakili semua rakyat Indonesia.

Baca juga: Pesan dari Pati: Jangan Pernah Menantang Rakyat

Nyatanya di dalam praktik yang terjadi adalah sebaliknya. Dan rakyat tidak menyadari itu sedari awal karena terlena oleh konsep dan narasi politik holistik - integralistik pemimpin beserta elite-elite yang melingkupinya.

Dalam sejarah perdebatan ideasional setelah kemerdekaan, mayoritas sejatinya pemimpin-pemimpin kemerdekaan kita menolak ide demikian.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya
KSAD Australia Kunjungi Kemenhan, Bahas Pertukaran Personel dan Pendidikan Militer
KSAD Australia Kunjungi Kemenhan, Bahas Pertukaran Personel dan Pendidikan Militer
Nasional
Ini Alasan Prabowo Belum Lantik Menko Polkam Pengganti Budi Gunawan
Ini Alasan Prabowo Belum Lantik Menko Polkam Pengganti Budi Gunawan
Nasional
KPK Panggil Analis OJK Jadi Saksi Kasus Dana CSR BI-OJK
KPK Panggil Analis OJK Jadi Saksi Kasus Dana CSR BI-OJK
Nasional
Prabowo Anggap Penting Budaya 'Warga Jaga Warga': Tak Ada Alasan untuk Izinkan Kekerasan
Prabowo Anggap Penting Budaya "Warga Jaga Warga": Tak Ada Alasan untuk Izinkan Kekerasan
Nasional
Prabowo Sebut Usul Bentuk Tim Investigasi Independen Pascademo Masuk Akal
Prabowo Sebut Usul Bentuk Tim Investigasi Independen Pascademo Masuk Akal
Nasional
BGN Ungkap 5 Kabupaten Masih Belum Punya SPPG untuk MBG
BGN Ungkap 5 Kabupaten Masih Belum Punya SPPG untuk MBG
Nasional
Puteri Komarudin Diusulkan Jadi Menpora? Ini Kata Bahlil
Puteri Komarudin Diusulkan Jadi Menpora? Ini Kata Bahlil
Nasional
Mendagri Ingatkan Bansos Harus Tepat Sasaran demi Turunkan Kemiskinan Ekstrem
Mendagri Ingatkan Bansos Harus Tepat Sasaran demi Turunkan Kemiskinan Ekstrem
Nasional
Prabowo di Forum BRICS: Perdagangan dan Keuangan Kini Jadi Senjata di Politik Dunia
Prabowo di Forum BRICS: Perdagangan dan Keuangan Kini Jadi Senjata di Politik Dunia
Nasional
Daftar Lengkap 49 Menteri Prabowo, Usai Lakukan Reshuffle Kedua
Daftar Lengkap 49 Menteri Prabowo, Usai Lakukan Reshuffle Kedua
Nasional
BPKH Salurkan Nilai Manfaat Rp 2,1 Triliun untuk 5,4 Juta Jemaah
BPKH Salurkan Nilai Manfaat Rp 2,1 Triliun untuk 5,4 Juta Jemaah
Nasional
Di Forum BRICS, Prabowo Soroti Standar Ganda Hukum Internasional
Di Forum BRICS, Prabowo Soroti Standar Ganda Hukum Internasional
Nasional
KPK Ingatkan Menteri yang Baru Dilantik Prabowo Segera Lapor LHKPN
KPK Ingatkan Menteri yang Baru Dilantik Prabowo Segera Lapor LHKPN
Nasional
Peluang Restorative Justice, Harapan Pulang Anak dan Mahasiswa Usai Kerusuhan Agustus
Peluang Restorative Justice, Harapan Pulang Anak dan Mahasiswa Usai Kerusuhan Agustus
Nasional
Klaim Hotman: Nadiem Tak Terima Uang dan Tidak Mark Up Laptop Chromebook, Mirip Kasus Tom Lembong
Klaim Hotman: Nadiem Tak Terima Uang dan Tidak Mark Up Laptop Chromebook, Mirip Kasus Tom Lembong
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau