PELANTIKAN Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (25/8/2025), menyisakan tanda tanya besar tentang arah tata kelola pemerintahan kita.
Dengan merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77B Tahun 2025, Brian resmi mengemban tugas baru memimpin lembaga yang menangani sektor industri mineral strategis.
Namun, pelantikan ini menjadi sorotan tajam karena Brian saat ini masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek).
Bagi publik, persoalannya bukan sekadar administratif. Rangkap jabatan selalu mengundang kritik karena menyangkut efektivitas, integritas, dan akuntabilitas penyelenggara negara.
Apalagi, Brian bukan figur sembarangan. Ia dikenal sebagai akademisi dan peneliti nanoteknologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Karier akademiknya semestinya menjadi teladan bagi integritas dan dedikasi pada satu bidang.
Baca juga: Mendikti Brian Yuliarto Dilantik Jadi Kepala Badan Industri Mineral
Namun kini, dengan rangkap jabatan strategis di dua sektor berbeda, pendidikan tinggi serta industri mineral, muncul keraguan besar: mampukah ia menjaga fokus, objektivitas, sekaligus integritasnya?
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi adalah posisi yang memikul beban besar. Kementerian ini bertanggung jawab atas jutaan mahasiswa, puluhan ribu dosen, dan ratusan perguruan tinggi di Indonesia.
Belum lagi agenda besar riset dan inovasi yang menjadi tulang punggung visi Indonesia 2045.
Dalam waktu bersamaan, Kepala Badan Industri Mineral dituntut mengelola kekayaan sumber daya mineral strategis yang bernilai ratusan triliun rupiah per tahun.
Tugasnya meliputi perencanaan industri hilirisasi, tata kelola ekspor, hingga pengawasan distribusi mineral kritis seperti nikel, bauksit, tembaga, dan timah.
Industri ini bukan hanya soal bisnis, tetapi juga geopolitik: mineral adalah perebutan kepentingan global antara Amerika Serikat, China, dan negara-negara BRICS.
Pertanyaan mendasar pun muncul: mungkinkah satu orang, betapa pun jeniusnya, dapat membagi konsentrasi penuh pada dua jabatan strategis ini?
Rangkap jabatan bukan hanya soal keterbatasan energi manusia. Ada dimensi konflik kepentingan yang tak kalah berbahaya.
Seorang menteri yang sekaligus kepala badan industri rawan terjebak dalam situasi di mana keputusan di satu posisinya bisa menguntungkan kepentingan di posisi lain.
Misalnya, ketika kebijakan riset di Kementerian Pendidikan diarahkan untuk mendukung industri mineral, apakah itu murni kebutuhan akademik atau kepentingan jabatan rangkapnya?