
KEKUASAAN tanpa tanggung jawab akan berubah menjadi sumber kerusakan publik. Prinsip ini menjadi landasan Etika Kekuasaan atau Etika Kepemimpinan yang menegaskan bahwa setiap bentuk kewenangan harus dijalankan dengan akuntabilitas moral dan legal.
Kekuasaan yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana dicatat oleh Lord Acton, cenderung korup dan merusak struktur sosial-politik, bahkan jika disamarkan melalui mekanisme legal.
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, filsafat kekuasaan ini telah diwanti-wanti oleh konstitusi melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Artinya, kekuasaan tidak boleh dijalankan semata-mata berdasarkan kehendak politik, tetapi harus tunduk pada prinsip keadilan, kepastian hukum, dan tanggung jawab publik.
Namun, praktik kekuasaan di Indonesia seringkali memperlihatkan ketidaksesuaian antara prinsip dan praktik.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menjadi contoh paling terang bagaimana janji politik dapat berubah menjadi beban negara, dan bagaimana kebijakan publik kehilangan fondasi etisnya ketika kewenangan dijalankan tanpa akuntabilitas.
Baca juga: Whoosh Bukan Investasi Sosial
Kasus ini mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa tanggung jawab bukan sekadar penyalahgunaan wewenang, melainkan juga pengkhianatan terhadap mandat konstitusi dan kepercayaan rakyat.
Kisah KCJB bermula dari Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015, yang menetapkan proyek KCJB dilaksanakan dengan skema Business-to-Business (B2B) tanpa menggunakan APBN dan tanpa jaminan pemerintah.
Janji ini menjadi simbol “pembangunan tanpa utang”, sekaligus pembeda dari proyek Jepang berbasis pinjaman negara.
Secara hukum, janji itu bukan sekadar retorika politik. Ia diformalisasi dalam peraturan presiden, sehingga bertransformasi menjadi norma hukum positif yang mengikat penyelenggara negara.
Dalam perspektif teori hukum kontemporer, seperti Hans Kelsen dan H.L.A. Hart, norma hukum positif harus selaras dengan prinsip keadilan substantif.
Artinya, legalitas formal tidak boleh menggantikan legitimasi moral; hukum harus tetap menegakkan keadilan bagi publik.
Namun, enam tahun kemudian, janji ini dibatalkan oleh pembuatnya sendiri melalui Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021, yang mengizinkan penggunaan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI). Alasan yang dikemukakan adalah pembengkakan biaya (cost overrun).
Perubahan ini menegaskan konflik antara janji politik yang diformalisasi secara hukum dan praktik kebijakan yang sesungguhnya.
Proyek yang semula dirancang “tidak membebani negara” berubah menjadi proyek berisiko fiskal dengan nilai miliaran dolar AS.
Presiden tidak sekadar mengingkari janji publiknya, tetapi juga mengalihkan risiko korporasi menjadi risiko negara, langkah yang secara konstitusional problematik.
Kebijakan tersebut menciptakan preseden berbahaya. Dalam sistem hukum modern, janji yang dituangkan dalam regulasi negara seharusnya bersifat mengikat dan menjamin kepastian hukum.
Ketika presiden dapat membatalkan sendiri kebijakan yang ia buat untuk menutupi kegagalan korporasi, konstitusi kehilangan maknanya sebagai pengendali kekuasaan.
Memang, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberi presiden kewenangan menetapkan peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Namun, kewenangan itu tidak bersifat mutlak; ia harus digunakan “untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Mengubah dasar hukum proyek demi kepentingan fiskal jangka pendek adalah manipulasi politik terhadap hukum, bukan pelaksanaan undang-undang yang benar.
Baca juga: Menakar Konsekuensi jika Gagal Bayar Utang Whoosh
Lebih jauh, tindakan ini bertentangan dengan asas good governance dan prinsip akuntabilitas fiskal yang diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Negara hukum menuntut disiplin keuangan dan konsistensi kebijakan publik. Namun, KCJB memperlihatkan sebaliknya: ketidakdisiplinan dilegalkan, sementara tanggung jawab presiden tidak berhenti pada aspek regulasi.
Sejak awal, desain proyek KCJB cacat secara sistemik. Skema B2B yang diusung pemerintah, seharusnya menjadi fondasi transparansi dan efisiensi, justru dinilai tidak realistis oleh banyak ekonom dan auditor negara.
PT KAI sebagai BUMN pelaksana tidak memiliki kapasitas finansial maupun pengalaman teknis untuk proyek sebesar ini.
Dengan tetap memaksakan model bisnis rapuh, presiden mengabaikan prinsip kehati-hatian sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Ketika pembengkakan biaya mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS, negara akhirnya turun tangan dengan dana publik. Kegagalan ini bukan hanya kelalaian teknis, tetapi buah dari keputusan kebijakan yang salah secara konseptual dan konstitusional.
Dalam sistem presidensial, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Tanggung jawab akhir terhadap kebijakan strategis tidak bisa dialihkan kepada BUMN, menteri, atau pelaksana teknis.
Keputusan melanjutkan proyek KCJB tetap diambil meski terdapat keberatan dari pejabat teknis, termasuk Ignasius Jonan, yang sempat menunda izin trase karena ketidakjelasan pembiayaan. Namun, logika politik mengalahkan logika hukum dan teknis.
Ketika kehendak kekuasaan menundukkan rasionalitas teknokratik, yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sah secara administratif, tetapi melanggar prinsip akuntabilitas publik.
Secara konstitusional, Pasal 7A UUD 1945 menetapkan batas mengenai pelanggaran yang dapat memberhentikan presiden: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela.
Baca juga: Projo di antara Kultus Jokowi dan Kekuasaan Prabowo
Skandal KCJB mungkin tidak termasuk kategori pidana. Namun, secara moral dan politik, pengingkaran janji publik yang membebani APBN merupakan pelanggaran terhadap asas penyelenggaraan negara yang bersih, sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999.
Di titik inilah tanggung jawab konstitusional presiden diuji. Bukan soal keberhasilan pembangunan fisik, tetapi konsistensi moral dan integritas hukum yang menopang kekuasaan itu sendiri.
Kasus KCJB menegaskan prinsip checks and balances dan accountability dalam negara hukum. Kekuasaan yang tidak disertai tanggung jawab, menurut Lord Acton, cenderung korup dan membahayakan publik.
Dalam konteks KCJB, tanggung jawab presiden tidak terbatas pada aspek teknis proyek. Desain proyek cacat secara sistemik menempatkan publik pada risiko finansial dan moral.
Dari perspektif teori hukum kontemporer (Hans Kelsen, H.L.A. Hart), norma hukum positif — termasuk peraturan presiden — harus selaras dengan prinsip keadilan substantif.
Mengubah janji yang sudah diformalisasi demi cost overrun atau pragmatisme ekonomi tidak boleh menghapus tanggung jawab moral dan konstitusional. Legalitas formal tidak boleh menggantikan legitimasi moral.
Pelajaran terdalam adalah bahwa kekuasaan tertinggi diuji bukan oleh seberapa besar ia membangun infrastruktur atau proyek, tetapi seberapa jujur ia menanggung konsekuensi keputusan yang berdampak pada publik.
Dalam negara hukum, setiap kebijakan yang menimbulkan kerugian publik harus dipertanggungjawabkan secara politik, moral, dan hukum.
Tanpa prinsip ini, pembangunan berubah menjadi legitimasi untuk kesewenang-wenangan, dan hukum kehilangan maknanya sebagai pelindung masyarakat.
Skandal KCJB mengingatkan kita bahwa pembangunan ambisius harus berjalan beriringan dengan akuntabilitas, transparansi, dan integritas konstitusional.
Kekuasaan tanpa tanggung jawab bukan hanya menyia-nyiakan sumber daya negara, tetapi juga merusak fondasi kepercayaan publik — modal utama bagi kelangsungan demokrasi dan negara hukum.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang