Petani Bali pakai drone untuk bertani di sawah – 'Lebih efisien'

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Sudah hal biasa ketika petani ke sawah membawa cangkul, bajak, dan sabit. Namun pemandangan sedikit berbeda ketika tiga petani muda pergi ke sawah di Jatiluwih, Bali. Mereka membawa drone berbobot 50kg.
Ketiga petani muda itu bertugas sebagai pilot drone yang dikelola Manajemen Operasional Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih.
Drone dipakai untuk menyebarkan pupuk di sawah milik 547 petani padi. Mereka tergabung dalam tujuh kelompok Subak atau organisasi sistem irigasi tradisional, yakni Subak Telabah Gede, Besikalung, Kedamian, Gunungsari, Umakayu, Kesambi dan Umadatu.
Pagi itu ketiga petani membawa drone DJI Agras T40 yang memiliki tangki berkapasitas 40 liter cairan pupuk. Ukuran drone tersebut cukup besar sehingga mereka menggunakan mobil pikap guna mengangkutnya.
I Gede Rizky Saputra, salah seorang dari tiga petani muda yang bertugas sebagai pilot drone, mengatakan timnya bertugas untuk melakukan pemupukan di areal persawahan Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Setibanya di hamparan sawah seluas 227,41 hektare tersebut, ketiganya memastikan situasi, cuaca, dan jalur yang akan dilintasi drone agar cairan pupuk tepat jatuh di tanaman padi yang menjadi target penyemprotan.
Pemetaan memang sudah dilakukan sehari sebelumnya. Namun, perencanaan yang baik harus ditempuh agar pupuk yang digunakan tidak terbuang percuma mengingat sawah di Jatiluwih berbentuk terasering.
Petani lainnya tampak membantu mempersiapkan pupuk organik cair serta menyingkirkan bambu atau kayu pada alat pengusir burung supaya tidak mengganggu proses penyemprotan.
'Lebih efisien'
Pilot drone lainnya, I Made Prasetiya Candra Andika, mengatakan penyemprotan pupuk dengan metode manual untuk satu hektare lahan memerlukan waktu sekitar empat hingga lima jam. Sedangkan jika menggunakan drone hanya memerlukan sekitar 15-20 menit untuk satu hektare.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Perbedaan antara penyemprotan manual dan drone terletak pada viskositas atau kekentalan cairan.
Penyemprot sentrifugal pada drone mampu menghasilkan semprotan cairan yang merata dan efisien dalam penyebaran cairan pupuk organik. Butiran semprotannya lebih halus dan tersebar luas dibandingkan dengan sistem penyemprotan konvensional.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Takaran pupuk jika menggunakan drone sebanyak 40-50 liter per hektare, sedangkan takaran untuk manual yaitu 210 liter per hektare, kata Andika kepada kantor berita Antara.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Menurut Manajer Daya Tarik Wisata Jatiluwih, I Ketut Purna, pemupukan menggunakan drone dengan pupuk organik cair hasilnya sangat bagus.
Dia mengklaim pertumbuhan padi bisa lebih merata sehingga hasil panen padi beras merah tahun ini lebih bagus dibandingkan tahun lalu.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Petani di desa tersebut, menurutnya, bisa panen padi dua kali dalam setahun. Biasanya panen pertama berupa padi beras merah pada Juli dan yang kedua panen padi beras putih pada November. Adapun jumlah produksi berkisar 6-7 ton beras per hektare.
Harga jual beras merah atau beras putih itu pun bisa bervariasi dari Rp30.000 hingga Rp50.000 per kilogram tergantung cara pengolahannya.
Menarik wisatawan
Efek samping penggunaan drone untuk bertani adalah pesawat nirawak tersebut mampu memikat wisatawan. Apalagi drone yang digunakan berukuran jumbo sehingga mereka tertarik menyaksikannya saat terbang.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Berdasarkan data pengelola wisata Jatiluwih, jumlah kunjungan wisatawan ke desa itu mencapai 207.646 orang pada periode Januari-Juli 2025.
Dari jumlah itu, wisatawan domestik mencapai 66.151 orang dan wisatawan mancanegara sebanyak 141.495 orang.

Sumber gambar, ANTARA FOTO / Nyoman Hendra Wibowo
Desa Jatiluwih terkenal dengan pemandangan sawah tradisional Bali yang berbentuk terasering beserta budaya Subak.
Bahkan, berkat keunikan Subak atau organisasi sistem irigasi tradisional yang dikelola petani di daerah itu, UNESCO menetapkannya sebagai warisan budaya dunia pada 2012.