Kasus dugaan makar Papua mulai disidangkan di Makassar, diwarnai unjuk rasa dan penjagaan ketat polisi

Sumber gambar, Darul Amri/BBC News Indonesia
Empat orang tersangka kasus makar asal Papua Barat Daya, Senin (08/09), dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulsel. Diwarnai unjuk rasa mahasiswa asal Papua dan penjagaan ketat aparat kepolisian, jaksa penuntut membacakan dakwaannya.
Di luar gedung PN Makassar, sejak Senin (08/09) pagi, dalam unjuk rasa itu, para demonstran meminta agar PN Makassar membebaskan empat terdakwa.
Mereka menegaskan jika keempat terdakwa tidak dibebaskan, mereka mengancam akan bertahan di depan gedung pengadilan.
Aksi ini diawasi puluhan anggota polisi dan dibantu TNI, seperti dilaporkan wartawan Darul Amri untuk BBC News Indonesia.
Untaian kawat berduri juga dipasang mengelilingin sebagian gedung pengadulan.
Dalam penjagaan ketat seperti itulah, sekitar pukul 12.00 Waktu Indonesia Timur (WITA), sidang pembacaan dakwaan digelar.
Seperti diketahui, empat warga Sorong, yaitu Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai telah dinyatakan tersangka makar oleh kepolisian setempat.

Sumber gambar, Darul Amri/BBC News Indonesia
Status itu disematkan kepada mereka usai mengirimkan surat berkop Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) ke Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025.
Isi suratnya meminta sang gubernur memfasilitasi perundingan damai antara Presiden Prabowo dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.
Alih-alih permintaan dipenuhi, kempatnya belakangan justru ditangkap dan dijadikan tersangka kasus makar.
Dalam perjalanannya, lokasi persidangan dipindah dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena "alasan keamanan dan lain-lain".
Keputusan pemindahan inilah yang kemudian melahirkan protes pegiat HAM dan kelompok-kelompok sipil.
Protes ini kemudian melahirkan unjuk rasa dan berujung bentrokan dengan polisi pada Rabu (27/08) lalu di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

Sumber gambar, Darul Amri/BBC News Indonesia
Tanpa didampingi pengacara, sidang sempat ditunda
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Sebelumnya, sehari setelah diterbangkan dari Kota Sorong, Papua Barat Daya, empat orang tersangka kasus makar langsung dihadirkan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Kamis (28/08).
Di ruangan sidang, mereka menuntut sidang ditunda karena tanpa didampingi pengacara.
Salah satu kuasa hukum keempat tersangka, Yan Warinussy, mengaku tidak dapat mendampingi kliennya saat sidang perdana di PN Makassar, Sulawesi Selatan.
Musababnya, Yan mengaku baru diberitahu oleh tim Kejaksaan Negeri Sorong tentang jadwal sidang itu pada Rabu (27/08) malam, padahal dia tinggal di Papua Barat Daya.
Sebelum sidang digelar, salah seorang tersangka makar, Abraham Goram Gaman, menelepon Yan Warinussy. Dia menelpon dari rumah tahanan kejaksaan di Makassar.
"Saya beritahu klien saya, bahwa Anda berhak menolak pembacaan surat dakwaan jaksa, karena tidak didampingi pengacara," kata Yan Warinussy kepada BBC News Indonesia, Kamis (28/08) sore.
Sesuai aturan yang ada, terdakwa harus didampingi pengacara untuk kasus-kasus yang ancaman hukumannya di atas lima tahun.
"Dan kasus makar itu ancaman hukumnya lima tahun ke atas," kata Yan.

Sumber gambar, Dokumentasi Humas PN Makassar/Kompas.com
Rupanya, para terdakwa di ruangan sidang kemudian meminta agar sidangnya ditunda. Mereka mengulangi alasannya.
Dihubungi secara terpisah, salah satu jaksa penuntut umum dalam perkara ini, Harlan, membenarkan bahwa sidang pada Kamis (29/08) di PN Makassar diagendakan membacakan dakwaan jaksa penuntut.
Namun, menurutnya, empat orang tersangka meminta sidang ditunda dan permintaan ini dikabulkan oleh majelis hakim yang memimpin persidangan.
"Sehingga ditunda ke persidangan selanjutnya [pada 8 September 2025]," kata Harlan kepada BBC News Indonesia, Kamis (29/08) sore, melalui sambungan telepon.

Sumber gambar, Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya
Dalam keterangan terpisah, Kasintel Kejari Sorong, I Putu Sastra Adi Wicaksana, juga membenarkan penundaan persidangan itu.
"Jadi pembacaan dakwaan ditunda. Tadi sidang dibuka untuk pemeriksaan identitas [terdakwa] saja, lalu ditutup sidangnya," kata Sastra Adi kepada BBC News Indonesia, Kamis (29/08) sore.
Seperti diketahui, empat warga Sorong, yaitu Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai telah dinyatakan tersangka makar oleh kepolisian setempat.
Status itu disematkan kepada mereka usai mengirimkan surat berkop Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) ke Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025.
Isi suratnya meminta sang gubernur memfasilitasi perundingan damai antara Presiden Prabowo dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.
Alih-alih permintaan dipenuhi, kempatnya belakangan justru ditangkap dan dijadikan tersangka kasus makar.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Dalam perjalanannya, lokasi persidangan dipindah dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan, karena "alasan keamanan dan lain-lain".
Pada Rabu (27/08) pagi, dalam pengawalan ketat aparat polisi dan TNI, empat tersangka diterbangkan ke Makassar. Putusan pemindahan lokasi persidangan inilah yang memantik protes masyarakat Sorong pada Rabu (27/08).
Dalam unjuk rasa yang diwarnai bentrokan itulah polisi menangkap setidaknya 10 orang usai unjuk rasa tersebut, yang kemudian diprotes oleh pegiat HAM dan kelompok-kelompok sipil di Papua.
Pemerintah Indonesia dinilai terlalu reaktif dalam penyematan tindakan makar di Papua. Pegiat HAM Papua mencatat puluhan kasus yang mereka sebut "politisasi pasal makar" sejak rangkaian protes antirasisme di sejumlah kota di Papua pada 2019.
"Pemerintah Indonesia sangat, sangat over reaktif," kata Pelaksana Harian YLBHI soal Papua, Emanuel Gobay.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Sikap reaktif itu tercermin dari penetapan empat warga Sorong: Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai sebagai tersangka makar usai mengirimkan surat berkop Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) ke Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025.
Polisi menetapkan Abraham Goram Gaman dan tiga lainnya sebagai tersangka setelah mengirimkan surat kepada Gubernur Papua Barat Daya, meminta sang gubernur memfasilitasi perundingan damai antara Presiden Prabowo dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.
Alih-alih permintaan dipenuhi, kempatnya belakangan justru ditangkap dan dijadikan tersangka kasus makar.
Namun, lokasi persidangan dipindah dari Sorong ke Makassar, Sulawesi Selatan, yang kemudian malah memantik protes masyarakat Sorong.
Imbasnya, Kepolisian Papua Barat Daya menangkap sepuluh orang usai unjuk rasa menolak upaya pemindahan empat tahanan politik Papua dari Sorong ke Makassar, Sulsel, Rabu (27/08), berlangsung ricuh.
Sepuluh orang ditangkap usai massa dan polisi bentrok
Kapolda Papua Barat Daya, Brigjen Pol Gatot Haribowo, mengklaim sepuluh orang yang diamankan berkaitan dengan bentrok massa dan diduga pelaku pengrusakan di rumah pribadi gubernur Papua Barat Daya.
"Terkait kasus ini sudah ada 10 orang yang diamankan, dan kami masih mengecek lagi pihak-pihak lain di lapangan," ujar Gatot kepada wartawan, Rabu (27/08).
Hingga kini, kepolisian juga masih melakukan upaya pendalaman terkait kejadian di Kota Sorong, termasuk olah tempat kejadian perkara (TKP) di kediaman Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu.
Sebelumnya, sekelompok orang melampiaskan kemarahannya dengan menyerang kantor pemerintah setelah otoritas terkait berkukuh memindahkan empat tapol tersebut.
Sampai sekitar pukul 13.15 WIB (atau sekitar pukul 15.15 WIT), aparat polisi terus berusaha menghalau pengunjuk rasa.

Sumber gambar, Safwan Ashari
Masih ada bentrokan antara dua pihak tersebut, kata wartawan yang berada di lokasi kejadian.
"Ada bentrokan [pendemo dan polisi], dan ada [pengunjuk rasa] diamankan polisi," kata wartawan di Kota Sorong, Safwan Ashari, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (27/08).
Di beberapa sudut Kota Sorong, polisi berusaha membubarkan aksi dengan menembakkan gas air mata. Massa kemudian membalasnya dengan lemparan batu.
Akibat bentrokan itu dilaporkan setidaknya satu orang warga sipil terluka, seperti diungkapkan kelompok pengunjuk rasa.

Sumber gambar, Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya
Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya, yang menggelar unjuk rasa, mengklaim ada satu korban warga sipil yang terluka akibat ditembak polisi.
Mereka memperlihatkan video korban yang terluka dibawa naik ambulans.
Belum diketahui penyebabnya, namun wartawan Safwan Ashari yang berada di lokasi kejadian menyebut "ada beberapa warga sipil yang jadi korban kena tembak."
BBC News Indonesia belum dapat memverifikasi klaim ini. Sejauh ini belum ada keterangan polisi atas informasi ini.
Unjuk rasa tersebut awalnya digelar di depan Mapolresta Sorong Kota sejak Selasa (26/08) malam hingga Rabu (27/08) pagi, sekitar pukul 05.00 WIT.
'Pemindahan empat tapol itu cacat prosedur'
"Awalnya tidak ricuh," kata Tabam Mros, salah-seorang pengunjuk rasa dari Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya, melalui sambungan telepon, Rabu (27/08).
Baca juga:
Mereka menggelar unjuk rasa di depan Mapolresta Sorong Kota sejak Selasa (26/08), karena empat tahanan politik (tapol) Papua ditahan di sana.
Empat orang tapol itu adalah Abraham Goram Gaman, Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai.
Mereka ditangkap aparat hukum Indonesia pada April 2025 terkait kasus Negara Federal Republik Papua Barat atau NFRPB.

Sumber gambar, Solidaritas Rakyat Papua Pro Demokrasi se-Sorong Raya
Para pengunjuk rasa menuntut agar mereka tidak dipindahkan ke Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Rencananya mereka akan diadili di kota tersebut karena alasan tertentu.
Tetapi langkah ini sejak awal ditolak keluarga dan para pendukungnya.
"Proses pemindahan itu cacat prosedur," kata Tabam Pros kepada BBC News Indonesia, Rabu (27/08) siang.
Baca juga:
Jika alasan pemindahan itu merujuk alasan situasi keamanan dan bencana alam, itu tidak memenuhi persyaratan, kata Tabam.
"Sorong aman-aman saja. Jadi kenapa dipaksakan? Ini ada politisasi hukum," tambahnya.
Tuntutan ini sudah disuarakan keluarga empat orang tapol sejak pekan lalu. Namun menurutnya, tidak digubris.
Ujungnya, pada Rabu (27/08) pagi, empat tapol itu dibawa ke bandara setempat untuk diterbangkan ke Makassar.
"Massa marah, tidak terima empat napol itu dibawa," ujar Tabam.

Sumber gambar, Safwan Ashari
Lalu terjadilah aksi lemparan batu dan botol dan dibalas tembakan gas air mata. Massa juga membakar benda-benda yang terbuat dari kayu.
Kronologi versi polisi menyebutkan, massa pendukung empat tahanan "melakukan aksi penolakan dan mencoba menghadang proses pemindahan" di depan pintu masuk Polresta Sorong Kota, sekitar pukul 05.15 WIT.
Aksi massa kemudian melebar ke beberapa titik di Kota Sorong, seperti dilaporkan wartawan Safwan Ashari kepada BBC News Indonesia.
"Mereka kecewa," demikian laporan Safwan dari lokasi unjuk rasa di Sorong.

Sumber gambar, Safwan Ashari
"Massa kemudian memblokade beberapa jalan protokol, dan merusak bagian depan Kantor Gubernur dan Walikota Sorong," tambah Safwan.
Bagian depan rumah Gubernur Papua Barat Daya juga diserang, tambahnya.
Dalam rilis yang diterima wartawan di Sorong, Maria Baru, polisi menyebut beberapa mobil yang diparkir di depan rumah gubernur juga dirusak massa.
Laporan-laporan dari media lokal di Sorong menggambarkan kota Sorong sempat mencekam dan jalan-jalan terlihat sepi.
Siapa empat tapol itu dan kenapa mereka ditahan?
Kuasa hukum para terdakwa, Yan Warinussy, empat orang itu ditangkap setelah mengirim surat dari Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) ke Gubernur Papua Barat Daya pada 14 April 2025.
Surat tersebut berisi permintaan kepada Gubernur Papua Barat Daya agar memfasilitasi perundingan damai antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden NFRPB, Forkorus Yaboisembut.
Abraham Goram Gaman, terang Yan, datang dengan klaim diri sebagai Staf Khusus Presiden NFRPB.
Sementara Maksi Sangkek, Piter Robaha, dan Nikson Mai disebut datang sebagai anggota polisi dan militer NFRPB yang mendampingi Abraham.
"Saat itu baik-baik saja. Mereka [Maksi, Piter, dan Nikson] memang berseragam polisi federal dan militer NFRPB, tapi itu kegiatan damai. Mereka datang tanpa senjata," ujar Yan.
Masalah kemudian datang sekitar dua pekan kemudian, ketika Kepolisian Sorong mengirim surat pemanggilan terhadap keempatnya.
Tak lama, mereka pun ditetapkan sebagai tersangka makar, usai dinilai melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP juncto Pasal 106 KUHP serta Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Mereka dituduh melakukan serta menyuruh melakukan pemufakatan jahat untuk memisahkan diri dari wilayah Indonesia.
Jaksa juga berpendapat keempatnya telah melakukan perbuatan permulaan untuk mewujudkan pemufakatan jahat tersebut.
Kenapa empat tapol dipindah ke Makassar?
Yan mengatakan keempatnya dipindah ke Makassar pada Rabu pagi (27/08), sekitar pukul 06.00 WIT.
Selaku kuasa hukum, Yan mengaku dirinya tidak diberitahu waktu pasti pemindahan dan alasan Abraham Goram Gaman dan tiga tapol lainnya dipindah ke Makassar.
Namun, ia mengaku sempat mendengar kabar bahwa pemindahan keempatnya berhulu pada surat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Sorong kepada Mahkamah Agung (MA).
"Saya tidak tahu persis [alasan], tapi saya dengar [pemindahan] alasan keamanan," kata Yan.
"Saya juga baru tahu mereka dipindah dari keluarga, setelah mereka membaca jadwal di website persidangan."
Terkait alasan keamanan tersebut, Yan menilainya sebagai dalih yang dibuat-buat. Pasalnya, Sorong memiliki personel keamanan yang banyak, mulai dari kepolisian hingga militer.
"Saya tidak sependapat [kalau alasan keamanan]. Infrastruktur [keamanan] sebenarnya tersedia," katanya lagi.
"Bahwa kalau persidangan ribut nanti tidak bisa diatasi, itu tidak benar."
Pemindahan lokasi persidangan diatur pada Pasal 85-87 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Beleid tersebut menyatakan lokasi persidangan dapat dipindahkan dari daerah asal dengan sejumlah alasan, antara lain, kemanan, ketertiban umum, atau alasan penting lain.
Namun, penilaian keamanan itu sepenuhnya diserahkan pada Mahkamah Agung, dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Jaksa Agung.
Bagaimana perkembangan proses hukumnya?
Keempatnya ditangkap kepolisian Sorong dalam kurun 28-29 April 2025. Penyidik kepolisian menahan mereka sejak tanggal tersebut dan telah tiga kali melakukan perpanjangan penahanan.
Mereka dipindahkan ke penuntut umum sejak 11 Agustus dan ditahan di rumah tahanan setempat. Mereka diagendakan menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan Rabu (27/08).
Namun, dengan alasan keamanan yang diajukan otoritas setempat, persidangan mereka kemudian dipindah ke Makassar.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Olha Mulalinda
Lantas, bagaimana proses persidangan pertama mereka?
Yan Warinussy mengaku belum mendapat kabar lantaran berita pemindahan datang mendadak kepada kuasa hukum.
Ia mengaku baru akan mengutus salah satu anggotanya ke Makassar pada Kamis (28/08) untuk mendampingi para tapol.
"Apakah persidangan hari ini jadi [berlangsung], saya juga tidak mendapat kabar. Bagaimana situasinya mungkin baru dipastikan besok [saat anggota tim menyusul ke Makassr]," ujarnya.
Apakah tuduhan makar seperti ini pernah terjadi sebelumnya?
Bagi Abraham dan tiga tapol lainnya, tuduhan makar ini adalah yang pertama. Namun, terang Yan Warinussy, tuduhan makar terhadap awarga Papua oleh otoritas Indonesia seperti ini bukanlah yang pertama.
Ia merujuk penangkapan Soleman Waropen pada 19 Oktober 2022 usai menyelenggarakan ibadah doa dan perayaan ulang tahun ke-11 NFRPB di Manokwari.
"Ada kue motif Bintang Kejora dan ada yang pakai seragam polisi dan tentara federal. Ia kemudian ditangkap," kata Yan.
Kala itu, Yan ditangkap bersama dua rekannya yakni Andreas Sanggenafa dan Kostan Karlos Bonay.
Setelah rangkaian persidangan, Soleman dan rekannya kemudian diputus bersalah dan dihukum dua tahun penjara pada 12 Juni 2023.
Terlalu mudah melabeli makar
Para pegiat HAM dan peneliti Papua mengkritik penetapan tersangka makar terhadap Abraham Goram Gaman dan tapol lainnya.
Pelaksana Harian YLBHI soal Papua, Emanuel Gobay, mengatakan pemerintah terlalu mudah melabeli tindakan yang sebenarnya "remeh" sebagai aksi makar.
Padahal tindakan Abraham yang mengirim surat kepada Gubernur Papua Barat Daya, kata Emanuel, sejatinya merupakan inisiatif baik dalam penyelesaian konflik di Papua yang berkepanjangan.
"Tapi justru ditangkap dan menuduhnya makar. Itu jelas-jelas berlebihan," kata Emanuel.
Dengan penetapan tersangka terhadap Abraham Cs, Emanuel menilai Pemerintah Indonesia justru menjauhi "jalan damai" penyelesaian konflik di papua.
Padahal, instruksi damai dalam penyelesaian masalah Papua telah termaktub dalam Undang-undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang menyatakan pemerintah harus mengutamakan perlindungan dan pemajuan HAM.
"Secara hukum sudah diarahkan kepada pemerintah bahwa penyelesaian harus menghargai HAM," ujar Emanuel.
"Namun, dengan mudahnya melabeli makar menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak taat UU Otsus dan amanatnya soal penyelesaia kasus Papua yang damai."
Senada, pernyataan Peneliti Papua dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas, yang menyebut otoritas Indonesia terlalu mudah melabeli ekspresi kebebasan dan pendapat masyarakat Papua sebagai aksi makar.
"Aparat hukum terlalu sering menggunakan pasal [makar] yang tidak pada tempatnya," kata Cahyo.
Menurutnya, pemerintah seperti memiliki standar ganda dalam memaknai ekspresi kebebasan masyarakat Papua.
Cahyo mencontohkan Buchtar Tabuni dan tujuh orang lain yang dijadikan tersangka kasus makar karena dianggap mendalangi demonstrasi menolak rasisme di Papua pada 2019.

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Ada pula penetapkan tersangka makar terhadap Hellesvred Bezaliel Soleman Waropen, Andreas Sanggenafa, dan Kostan Karlos Bonay di Manokwari pada Oktober 2022.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka makar usai merayakan ulang tahun NRFPB ke-11 di kediaman Soleman, tempat mereka menghias sebuah kue dengan motif Bintang Kejora.
"Pemerintah seperti tidak mendorong penyelesaian konflik secara damai," ujar Cahyo.
"Masih terjebak pada stigma bahwa setiap orang Papua yang berpandangan berbeda diberikan label separtis."
Berdasarkan catatan YLBHI, politisasi pasal makar di Papua tercatat lebih dari 35 kasus sejak 2019.
Berpotensi tumbuhkan nasionalisme Papua
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Latifah Anum Siregar menambahkan, sikap reaktif Pemerintah Indonesia dengan melabeli tindakan "remeh" sebagai aksi makar sejatinya sudah berlangsung sejak lama.
Ia pun mendesak pemerintah menyetop siakp reaktif tersebut karena dikhawtirkan bakal kian menghilangkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia.
"Makin banyak yang melawn karena mereka diperlakukan berbeda dari warga lain di luar Papua," kata Anum.
"Terbukti, sikap melawan kebijakan negar terus terjadi."

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Images
Pandangan serupa disampaikan Emanuel Gobay, yang menyebut sikap reaktif hanya akan kian menumbuhkan nasionalisme bangsa Papua.
"Benih nasionalisme akan terus subur karena negara tidak lagi mencari penyelesaian politik yang bermartabat," katanya.
Cahyo Pamungkas menambahkan, Pemerintah Indonesia saat ini semestinya dapat bersikap seperti era Abdurrahman Wahid yang menganggap simbol Bintang Kejora sebagai ekspresi budaya dan identitas bangsa Papua.
Saat itu, Abdurrahman Wahid mempersilakan warga Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora asalkan ditempatkan di bawah Merah Putih.
Cahyo mengatakan, Bintang Kejora sejatinya telah menjadi ekspresi budaya dan identitas masyarakat Papua, tidak melulu soal politik.
"Seharusnya sesederhana itu [era Abdurrahman Wahid]. Bintang Kejora sebagai ekspresi identitas yang tidak otomatis diberikan stigma makar," ujar Cahyo.
Andaikat stiga makar itu terus berlangsung, ia pun menilai tingkat kepercayaan masyarakat Papua terhadap konsep Indonesia akan kian tergerus.
"Nasionalisme bangsa Papua kan sudah lama. Pendekatan reaktif ini justru hanya akan semakin memisahkan masyarakat Papua sebagai Indonesia," pungkas Cahyo.
*Wartawan di Jakarta, Arie Firdaus, serta wartawan di Makassar, Darul Amri, serta wartawan di Sorong, Safwan Ashari dan Maria Baru berkontribusi dalam liputan ini.