Kpop Demon Hunters: Masa depan budaya pop Korea di tangan grup virtual

Sumber gambar, Netflix
Lagu bertajuk Golden terputar beberapa kali sepanjang perjalanan dari Senayan menuju Dharmawangsa Sabtu sore itu. Dua anak perempuan berusia sembilan tahun di kursi belakang sibuk bernyanyi tiada henti mengikuti lirik salah satu lagu dari film animasi Kpop Demon Hunters yang menuai popularitas.
"Ya, begini hari-hari. Di mobil itu enggak berhenti muter lagu-lagunya si Demon Hunters ini," ucap Kinanti (38) sembari melirik putrinya dan temannya yang sedang gandrung dengan film keluaran Netflix ini.
Sejak pertengahan Juni lalu dirilis melalui Netflix, Laika (sembilan tahun) tertarik menonton. Hingga kini, sudah sekitar 10 kali atau bahkan lebih tontonan tersebut disaksikan ulang.
"Ditonton berkali-kali. Pas lagu Your Idol dan Soda ikut nyanyi dia. Seru dan bagus, enak didengerin katanya," ujar Kinanti.
Tak disangka, teman-teman Laika juga tengah candu dengan film ini.
Momen bermain yang dilakukan di tengah libur kenaikan kelas pun menjadi kesempatan mereka bertukar info mengenai idola barunya. Bernyanyi bersama tentu menjadi agenda wajib.
Tanpa sadar, Kinanti yang tidak pernah mengikuti perkembangan Kpop pun bersenandung kecil mengikuti lirik Soda Pop yang kemudian terputar. Kinanti pun terkekeh setelahnya. "Dia nonton sendiri, terus meracuni saya."
Sebelum demam grup vokal perempuan pemburu hantu ini menjangkiti rumahnya, Kinanti bukan penggemar tren budaya pop Korea, termasuk musiknya. Karena itu, ia pun tak menyangka putrinya yang memasuki usia pra-remaja ini mendadak kepincut dengan grup fantasi yang tengah naik daun ini.
Lalu, apa sebenarnya Kpop Demon Hunters—yang populer tak hanya di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat, Korea Selatan, Kanada, hingga Kerajaan Bersatu (UK)?
Apa senjata sukses Kpop Demon Hunters?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kpop Demon Hunters merupakan film animasi tentang grup perempuan Kpop bernama Huntrix yang berisi Rumi, Mira, dan Zoey.
Di balik ketenarannya di dunia musik, ketiganya memiliki identitas rahasia sebagai pemburu iblis berkekuatan super. Lewat musik juga, mereka melindungi penggemarnya dan masyarakat dari bahaya iblis yang ingin menguasai dunia.
Konflik terjadi ketika muncul grup pesaing yaitu Saja Boys yang mencuri perhatian warga, termasuk para penggemar Huntrix. Namun rupanya, Saja Boys merupakan iblis yang diutus pemimpinnya untuk menyerang Huntrix.
Jauh mundur ke belakang, kehadiran Huntrix sempat mengingatkan pada kelompok jagoan perempuan seperti Sailor Moon atau The Powerpuff Girls. Para perempuan melawan kejahatan dan menjaga dunia.
Uniknya, Maggie Kang, sutradara film ini—keturunan Korea—memilih musik, terutama Kpop yang menjadi favoritnya ketika tumbuh dewasa.
Oleh karena itu, film ini tidak hanya mempertontonkan baku hantam dengan para iblis, tapi adu bernyanyi dan menari. Bahkan, musik juga dijadikan medium suara hati tokoh-tokohnya sekaligus senjata menangkal kekuatan gelap.

Sumber gambar, Netflix
Dalam jumpa pers yang digelar Netflix, Kang yang kini bermukim di Kanada menjelaskan musik memang menjadi peranti utama dalam animasi ini.
"Karena itu, kami bekerja sama juga dengan label Korea agar musik yang muncul bisa benar-benar sampai pada para penggemar Kpop dan sesuai," ucap Kang.
Produser musik papan atas, seperti Teddy Park, yang dikenal karena karyanya dengan Blackpink, dan Lindgren pemenang Grammy—yang telah bekerja dengan BTS dan TWICE—ikut dalam proyek ini.
Terbukti pendekatan ini ampuh menarik minat. Bukan cuma filmnya yang paling banyak ditonton tahun ini, melainkan lagunya juga menjadi jawara di sejumlah tangga lagu.
Melalui rilisnya, Netflix menyebut Kpop Demon Hunters sebagai film Netflix paling populer sepanjang masa dalam kategori film berbahasa Inggris.
Total penayangannya tembus 236 juta kali. Pekan lalu, para penggemar di AS, Kanada, UK, Irlandia, Australia, dan Selandia Baru menggelar acara bernyanyi bersama di bioskop.
Netflix menangkap momen ini dan pekan lalu meluncurkan konten Kpop Demon Hunters-Sing Along di pelantarnya.

Sumber gambar, Getty Images
Sepanjang Juli 2025, lagu-lagu dalam Kpop Demon Hunters mendominasi tangga lagu. Dalam catatan Billboard, Golden menduduki puncak Hot 100 selama beberapa minggu.
Lagu tersebut memperoleh 108,9 juta streaming on-demand resmi dan terjual 17.000 unduhan di AS. Pada pekan pertama Agustus, hampir 32 juta streaming resmi diraup, menurut Billboard.
Pada daftar 10 besar lagu dari film yang dirilis Billboard, hanya ada dua lagu yang bukan berasal dari Kpop Demon Hunters yaitu lagu 5 Years Time milik Noah and The Whale dan Punkrocker milik Teddybears feat. Iggy Pop.
Delapan lagu lainnya merupakan soundtrack film ini.
Bermain animasi
Animasi juga menjadi daya tarik lainnya yang tanpa disangka menciptakan para penggemar baru dari usia anak-anak dan praremaja.
Iksan Mahar (33 tahun) heran ketika pulang dari dinas luar kota mendapati putri bungsunya, Zaeyan (lima tahun), fasih menyanyikan lagu-lagu yang belum pernah ia dengar.
"Berulang-ulang dia nyanyiin, kadang sambil joged. Tapi dia tahu karena dari filmnya yang ditonton berkali-kali sampai enggak kehitung itu diulang. Abangnya yang tadi ogah ikutan, nonton juga," ujar Iksan.
Baca juga:
Zaeyan tertarik ketika melihat film Kpop Demon Hunters dengan format animasi ini di daftar pilih film Netflix. Ibunya kemudian membantunya memutar film tersebut.
Konsep animasi yang memang lekat dengan anak-anak ini sampai kepada Zaeyan. Warna-warna keunguan, merah muda, hingga warna cerah lainnya masuk dalam tangkapan visual anak-anak maupun remaja.
"Karena animasi ya menarik buat anak-anak. Memang ceritanya sebenarnya lebih ke remaja. Kalau lihat ratingnya juga 10 tahun ke atas kan. Makanya nonton didampingi dan diberi penjelasan. Tapi anaknya ternyata tertarik sama persahabatan tiga biduan utama itu," kata Iksan.

Sumber gambar, Netflix
Kinanti (38) juga senada. Meski konsep animasi ini menarik bagi anak-anak, tapi ceritanya memang sesuai rating 10 tahun ke atas.
Ia pun mendampingi Laika dan adiknya yang mulai ikut nonton. "Diikuti diskusi setelahnya ya. Apalagi ada konteks tentang demon, pembasmian atau pemburuan, kompetisi, dendam dalam film ini. Ini harus didudukkan dengan tepat sesuai usia anak."
Maggie Kang, sutradara Kpop Demon Hunters, menjelaskan pemilihan animasi ini lebih karena dirinya memang gemar menggambar sejak kecil dan akrab dengan warna.
Film yang sudah digagas sejak sembilan tahun lalu bersama Sony Pictures ini memang lebih tepat dituangkan melalui animasi karena imajinasinya lebih mudah tersampaikan, menurut Kang.
Ia pun mengaku terkejut ketika popularitas yang diperoleh Kpop Demon Hunters ini hingga ke anak-anak. Bahkan merambah di luar penggemar Kpop dan tren budaya Korea.
Strategi pemasaran yang efektif
Pegiat literasi yang sempat berkecimpung lama di bidang pemasaran, Henry Manampiring menyampaikan Kpop Demon Hunters sangat menarik secara marketing. Konsep produk yang menggabungkan Kpop dan film animasi memberikan daya tarik kepada audiens yang lebih luas, katanya.
"Penggunaan judul dan musik genre "Kpop" otomatis mengundang basis penggemar Kpop.
Format animasi dengan gaya yang menggabungkan gaya animasi Korea dan Hollywood, juga menarik para penikmat animasi dari segala umur, bahkan walau mereka bukan penggemar Kpop," ujar Henry.
Baca juga:
Setelah ditonton, ceritanya juga dibuat sangat menarik, yaitu kombinasi ciri khas K-Drama dengan adegan romansa, komedi, dan dramatis berpadu penceritaan action hero khas film barat.
Henry menonton film ini usai melihat putranya dan teman-teman sekolahnya tak henti memperbincangkan film ini dan memutar lagunya.
Tak ada satu pun di rumahnya yang mengikuti Kpop sebelumnya.
"Lagu-lagu yang catchy dalam bahasa dominan bahasa Inggris mudah dinikmati oleh siapapun, tidak terbatas pada lagu-lagu Kpop. Semua gabungan itu menunjukkan strategi efektif," ucap Henry.

Sumber gambar, Netflix
Pengajar masyarakat, budaya, dan politik Korea pada Fisipol Universitas Airlangga, Annisa Pratamasari, sepakat penggunaan dominan bahasa Inggris ini yang membuat penyebarannya lekas diterima banyak orang di berbagai negara.
Namun menariknya, para penonton yang semula bukan penggemar Korea justru terpicu untuk mempelajari mengenai Korea.
"Ada yang sampai ingin belajar bahasa Korea seperti di AS dan Kanada. Walau dominan berbahasa Inggris, ada istilah bahasa Korea yang khas muncul di film. Mereka juga jadi dengar Kpop yang lain karena mikirnya apakah sama dengan Kpop Demon Hunters. Itu memantik rasa ingin tahu mereka ternyata," jelas Annisa.
Budaya Korea hingga penampakan situs-situs terkenal di Korea yang disesuaikan dengan jalan cerita juga memicu rasa ingin tahu.
Di sisi lain, demam Korea sebenarnya sudah mulai masuk di AS dan sejumlah negara Eropa melalui beberapa film, salah satunya Squid Game.

Sumber gambar, Getty Images
Di AS, Kanada, dan Inggris, banyak yang mulai memakai kostum Huntrix atau Saja Boys. Perhelatan Comic Con pada Juli lalu di San Diego, AS juga menjadi kesempatan para penggemar film ini mengekspresikan dirinya.
Tema yang ditawarkan berupa penerimaan diri dari Rumi, anggota Huntrix yang ternyata campuran keturunan iblis dan pemburu iblis, tapi kemudian lebih ditempa menjadi pemburu iblis. Hal ini juga dianggap relevan dengan remaja yang umumnya mengalami persoalan ini.
Maggie Kang, pembuat film ini, mengangkat tema ini karena mengingat masa remaja yang tidak berani menjadi diri sendiri.
Saat itu, ia merupakan penggemar Kpop generasi pertama. Namun di Kanada, hal itu diduganya akan dianggap aneh. Ia kerap menyembunyikan ketertarikannya pada musik dari tanah kelahirannya itu agar tetap bisa diterima.
Grup virtual: Masa depan Hallyu?
Kesuksesan Huntrix di Billboard memuncaki Hot 100 ini juga menjadi buah bibir. Selain BTS, kini giliran Huntrix yang merupakan grup virtual sekaligus grup perempuan yang mampu menembus puncak Billboard.
Mariza (20), mahasiswi di Riau, yang mengikuti Kpop sejak 2018 menyampaikan kehadiran grup virtual Kpop sebenarnya sudah mulai bertumbuh. Ada Mave dan Aespa juga punya virtualnya. Hanya saja, semua itu berdiri sendiri bukan merupakan bagian film.
Ia menyadari grup virtual Huntrix bisa populer karena ada latar belakang yang diceritakan melalui filmnya.
"Digabung dengan film ini jadi tahu ceritanya, latar belakang kehidupannya seperti apa. Merasa lebih dekat jadinya," ungkap Mariza yang menyukai tokoh Zoey di Kpop Demon Hunters ini.
Bahkan ia mengidentifikasi diri mirip tokoh lainnya di film ini. "Kadang ngerasa kayak Mira yang kepribadiannya keras kepala," ujarnya.
Mengenai menanjaknya popularitas grup virtual Kpop, dosen Universitas Airlangga, Annisa Pratamasari menduga ini bisa jadi masa depan Hallyu. Ia menyebutkan Lee Soo-Man yang mendirikan SM Entertainment pernah mendengungkan mengenai culture technology pada 2022.
"Dia berusaha mencampurkan antara virtual reality, metaverse, sama pop culture ini. Mungkin itu ada di masa depannya Hallyu. Cuma yang paling nyata dari SM ya mungkin Aespa," ujar Annisa.
Aespa memiliki bentuk virtualnya dan membangun metaverse melalui Kwangya space yang bisa diakses para penggemarnya. Ada juga Plave, grup virtual, yang juga rutin mengadakan jumpa fans, konser, dan berbagai acara.
"Nanti ke depannya bakal lebih banyak yang seperti itu. Atau mungkin menginspirasi orang-orang pengin bikin semacam Huntrix, karena sekarang lagi ngetop banget Sampai lagunya top di Billboard."
Wartawan Riana A Ibrahim berkontribusi pada artikel ini.