Anggota DPR mendapat dana reses Rp2,5 miliar tiap tahun, untuk apa?

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
- Penulis, Faisal Irfani
- Peranan, Jurnalis BBC News Indonesia
Salah satu elemen penting dalam kinerja anggota DPR adalah penggunaan dana reses, yang memungkinkan mereka "terjun ke lapangan" untuk menyerap aspirasi masyarakat—dan kemudian menindaklanjutinya. Namun, bagaimana implementasinya sejauh ini? Organisasi sipil mengkritik tidak adanya keterbukaan yang ideal di tengah penggunaan dana reses yang besar.
Berdasarkan hitung-hitungan BBC News Indonesia—yang dikonfirmasi organisasi masyarakat sipil—dana reses yang diterima anggota DPR menyentuh Rp2,5 miliar per tahun.
Uang ini dipakai menunjang kegiatan penyerapan aspirasi masyakarat di tiap daerah pemilihan melalui reses, kunjungan kerja, hingga rumah aspirasi.
Perhitungan BBC News Indonesia dilakukan dengan berpedoman pada dokumen Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang dirilis dari 2022 sampai 2025.
Besarnya anggaran tersebut memantik kritik dari sejumlah organisasi nonpemerintah.
Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, pada Kamis (21/08) lalu, menuntut keterbukaan informasi perihal laporan pertanggungjawaban dana reses periode 2024-2025.
"Berapa yang diterima oleh setiap anggota DPR perlu kita ketahui. Ini karena ada potensi penyelewengan yang dilegalkan," terang Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, ketika dihubungi BBC News Indonesia, Senin (25/08).
"Pemasukan itu tidak digunakan sebagaimana mestinya, tapi justru untuk menebus ongkos pemilu, biaya setor ke parpol [partai politik], atau merawat jejaring patronase untuk mempertahankan posisi di DPR dan modal pemilu berikutnya."
Desakan ICW muncul bertepatan dengan gelombang kritik yang dialamatkan ke DPR menyoal pendapatan resmi—gaji beserta tunjangan—setiap anggota sebesar lebih dari Rp100 juta.
Sedangkan Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, menyoroti pelaporan dana reses yang seharusnya diterapkan secara transparan.
Terlebih, pada tahun ini, DPR mendapatkan kenaikan anggaran menjadi Rp9,9 triliun—dari sebelumnya Rp6,6 triliun, menurut APBN.
"Pertanyaannya adalah apakah mereka terbuka dengan basis evaluasi dari anggaran tahun-tahun sebelumnya," tukas Arif.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/sgd/YU
Di kelompok masyarakat, sejumlah narasumber yang diwawancarai BBC News Indonesia mengungkapkan kekecewaannya lantaran kesempatan anggota DPR bertatap muka dengan publik saat reses tidak kelihatan manfaatnya.
"Bahkan kalau reses pun paling orang tertentu dipanggil. Tapi, seberapa banyak pun hasil reses itu tidak pernah ada yang diteruskan," salah seorang warga di Nusa Tenggara Timur (NTT) memberi tahu BBC News Indonesia.
"Nol," cetusnya.
Secara terpisah, Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan anggaran ini bukan wujud penghasilan untuk anggota.
Penggunaan dana reses ditegaskan mengalir ke masyarakat di daerah pemilihan lewat pelbagai kegiatan yang direalisasikan ketika masa reses maupun sidang.
Demi "kepentingan masyarakat," ujar Misbakhun.
Apa itu reses dan bagaimana penentuan besaran anggarannya?
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Berdasarkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja.
Kegiatan reses, yang bertujuan menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala, serta menampung dan menindaklanjuti aspirasi maupun pengaduan masyarakat, merupakan salah satu kewajiban DPR yang termaktub di UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Selain itu, kunjungan kerja dalam masa reses—ada pula yang dikerjakan saat masa sidang—merupakan bentuk fungsi representasi rakyat sesuai peraturan tata tertib dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada masyarakat di tiap daerah pemilihan anggota.
Pada dasarnya, kunjungan kerja terbagi menjadi tiga, di antaranya yakni:
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan)
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (1 kali dalam setahun)
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun)
Durasi kunjungan kerja pada masa reses berkisar dari lima hingga 30 hari sesuai dengan agenda yang ditetapkan. Sementara kunjungan kerja di luar masa reses dan masa sidang diatur paling lama tiga hari.
Besaran anggarannya beragam dan tidak banyak berubah sejak 2022 hingga 2026.
Mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) DPR periode 2025, anggaran yang disediakan untuk masing-masing adalah di bawah ini:
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan): Rp1,37 triliun
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (1 kali dalam setahun): Rp140,5 miliar
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun): Rp868,4 miliar
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Bernard Allvitro, melakukan perhitungan "dana aspirasi" (salah satunya reses) sesuai jumlah kegiatan dan anggota dewan yang baru dilantik pada akhir 2024.
Hitungannya serupa dengan yang dilakukan BBC News Indonesia sebagai berikut:
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses (4-5 kali dalam setahun persidangan) Rp1,37 triliun dibagi 580 anggota = @ Rp2,36 miliar per tahun atau @ Rp472 juta per kegiatan
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses atau pada masa sidang (satu kali dalam setahun) Rp140,5 miliar dibagi 580 anggota = @ Rp 240 juta
- Kunjungan kerja ke daerah pemilihan di luar masa reses dan di luar sidang (8 kali dalam setahun) Rp868,4 miliar dibagi 580 anggota = @ Rp1,5 miliar per tahun atau @ Rp187,5 juta per kegiatan
Ini belum termasuk anggaran "rumah inspirasi" yang masing-masing diterima anggota dewan sebesar Rp150 juta.
Dengan tambahan dana rumah inspirasi, kisaran angka yang diterima para anggota dewan untuk menyerap aspirasi masyarakat mencapai Rp4,2 miliar per tahun.

Sumber gambar, Kementerian Keuangan

Sumber gambar, Kementerian Keuangan
Lantas dari mana angka tersebut bisa diperoleh?
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 mengatur anggota membuat rencana dan mengajukan anggaran kegiatan kunjungan kerja daerah pemilihan kepada fraksi yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR untuk diproses.
Sementara hitungan dalam APBN dibuat berdasarkan kesepakatan DPR dengan kementerian keuangan melalui rapat pembahasan.
"Memang mekanisme proses penganggaran kalau dilihat dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara secara normatif, itu dibahas kementerian dengan DPR karena kebijakan anggaran itu ada di DPR dengan pemerintah," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Arif Nur Alam, kepada wartawan Riana A. Ibrahim yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Nah, DPR mengajukan sendiri [besaran dana kunjungan kerja] melalui BURT sampai ke sekjen [sekretariat jenderal]. Pertanyaannya adalah apakah mereka terbuka dengan basis evaluasi dari anggaran tahun-tahun sebelumnya?" imbuh Arif.

Sumber gambar, Claudio Pramana/NurPhoto via Getty Images
Pengelolaan dana reses dan aspirasi, sejauh ini, "tak banyak yang bisa kita telisik," terang peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, ketika dihubungi BBC News Indonesia.
Sejak pengajuan hingga laporan pertanggungjawaban kegiatan, termasuk penggunaan uangnya, Lucius menambahkan, "semuanya menjadi laporan tertutup dari anggota ke fraksi masing-masing."
Selain kunjungan ke daerah dan pemanfaatan dana reses, aspek lain yang penting dipantau ialah rumah aspirasi, Lucius menuturkan.
"Di rumah aspirasi itu ada staf ahli dan staf administrasi. Anggaran rumah aspirasi ini juga dibebankan kepada negara, sesuai tata tertib DPR pasal 241," jelas Lucius.
"Yang jelas, dari banyaknya slot kegiatan untuk kunjungan ke dapil [daerah pemilihan] ini, kita bisa membayangkan besarnya anggaran yang diperoleh anggota untuk masing-masing jenis kunjungan kerja itu."
Lucius memahami apabila muncul kritik yang menyebut bahwa dana reses dan kunjungan kerja merupakan pendapatan lain anggota DPR sebab tidak ada jaminan setiap kegiatan yang dimaksud bakal dilaksanakan.
"Bagaimana bisa ada jaminan kalau laporan kegiatan hanya dilaporkan ke fraksi saja?" tanya Lucius.
"Dengan jumlah kegiatan sebanyak itu, artinya setiap bulan ada jatah anggota DPR kembali ke dalilnya atas biaya yang ditanggung negara."
Anggota Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun, menjelaskan dana reses merupakan bentuk program yang sudah diputuskan pimpinan DPR bersama pemerintah. Misbakhun mengklaim output-nya demi "kepentingan masyarakat."
"Bukan uang untuk anggota. Mereka hanya menyalurkan program," ucap Misbakhun.
Anggaran reses DPR dapat peringatan dari BPK
Sesuai aturan, laporan kegiatan dan pertanggungjawaban penggunaan anggaran wajib dibuat dan diserahkan.
Laporan berpatokan pada surat perintah perjalanan dinas dengan tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas yang diberikan secara lumpsum—sekali bayar—atas nama yang bersangkutan.
Meski ada aturan, bahkan panduan pengelolaan reses yang transparan dan akuntabel untuk anggota DPR yang dibuat Indonesian Budget Center (IBC) bersama Yayasan Tifa pada 2020, penerapannya masih jauh dari harapan.
"Bagaimana bentuk akuntabilitas reses yang dilakukan secara individu kepada publik? Apa saja yang mereka serap aspirasinya? Tematik aspirasi apa saja yang menjadi soal di dapil mereka? Bagaimana mereka mengartikulasikan dalam perbincangan baik di internal maupun secara eksternal?" ujar Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), Arif Nur Alam.
"Lalu, bagaimana mempercepat dalam konteks mengagregasi sehingga soal-soal di dapil mereka itu terkonsolidasi untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan masing-masing kementerian ketika pembahasan di internal antara pemerintah dan juga DPR yang diwakili di komisi masing-masing?" tambah Arif.
Menurut Arif, praktik reses tidak dipahami sepenuhnya oleh anggota DPR sehingga tertanam anggapan bahwa reses merupakan rutinitas belaka.
Alhasil, terjemahan yang lahir ialah kegiatan berbentuk tatap muka hingga ceramah yang dihadiri orang-orang terpilih atau konstituen terbatas.
Tak jarang, Arif meneruskan, anggota DPR menunjukkan dirinya tengah sibuk mengorganisir masyarakat di sekitar agar yang hadir di acara tersebut terlihat banyak. Padahal, "hanya formalitas," sebut Arif.
Temuan lainnya, tidak sedikit anggota DPR yang justru 'nebeng' dengan kementerian atau lembaga lain ketika melakukan reses.
"Apalagi, yang lebih miris, ketika reses mereka menunggu kebijakan dari kementerian. Misalkan, pembagian traktor atau bantuan yang lain, mereka yang menyerahkan. Ini sudah salah. Mereka ini legislator, bukan sebagai eksekutif," tandas Arif.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/foc
Isu dana reses dan implementasinya sudah masuk pemantauan sekaligus kritik dari organisasi sipil sejak lama.
Pada 2006, Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan apabila anggota DPR menyelenggarakan forum-forum yang memobilisasi konstituen di suatu tempat, segala bentuk dana pengeluaran "harus dapat dideskripsikan dengan jelas."
Bukti-bukti pengeluaran tersebut penting dalam rangka mengkonfirmasi tidak hanya apakah benar anggota DPR berjumpa dengan warga, melainkan juga mengklarifikasi bahwa anggaran reses diurus secara tertib.
"Bukti-bukti lain yang menjelaskan pencapaian substansi dan keberhasilan pelaksanaan reses juga perlu disertakan, seperti daftar absen peserta yang datang, rekaman pembicaraan, bahkan jika perlu rekaman visual yang dapat membuktikan besarnya partisipasi masyarakat konstituen dan dinamika jalannya diskusi dalam temu konstituen," terang ICW.
Secara garis besar, "masa reses harus menjadi titik temu antara pemberi mandat dan penerimanya," tegas ICW.
Reses, pada waktu bersamaan, adalah "sarana pertanggungjawaban mandat serta mekanisme untuk mendapatkan mandat baru," imbuh ICW.
"Fraksi di DPR juga seharusnya mengambil peran dalam mengumpulkan berbagai persoalan dari hasil reses anggotanya dan membuat semacam peta aspirasi. Peta inilah yang seharusnya dapat dijadikan dasar untuk mengarahkan proyek dari pusat ke daerah," tutur ICW.
Delapan tahun setelahnya, 2014, koalisi sipil mengkritik kenaikan anggaran reses yang mencapai 47% jelang pemilu—hampir Rp1 triliun. Jatah masing-masing anggota DPR ditaksir sebesar Rp1,7 miliar untuk 11 kali kunjungan ke daerah, atau Rp160 juta per kepergian.
Tapi, kenaikan anggaran belum mampu mendorong kualitas dan manfaat dari reses, kata koalisi sipil. Reses justru "terkesan seremonial," di samping "pertanggungjawaban reses yang belum membudaya di DPR," koalisi sipil menambahkan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tercatat tiga kali memberi peringatan sehubungan pengelolaan dana reses, dari 2019 sampai 2023. Pada 2019, BPK menemukan hampir Rp1 triliun uang perjalanan dinas dan reses anggota DPR tanpa pertanggungjawaban.
BPK kembali mendapatkan dana reses senilai Rp1,3 triliun tidak ada pertanggungjawabannya, setahun berselang, 2020.
Dua tahun lalu, BPK, sekali lagi, memberikan catatan ihwal dana reses, utamanya biaya konsumsi untuk berbagai kegiatan kunjungan kerja.
Dalam laporan BPK dijelaskan belum adanya keseragaman tentang penyampaian pertanggungjawaban belanja biaya konsumsi.
Di lain sisi, pemberian biaya kegiatan yang direalisasikan sekali kirim, atau lumpsum, membikin pertanggungjawabannya kurang akuntabel, terang BPK.
'Mereka janjinya banyak, tapi tidak ada [realisasi]'
Merry Manu, warga Fatukoa, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), kesal karena keluhan masyarakat setempat soal pemenuhan hak dasar tidak pernah digubris negara, tidak terkecuali anggota DPR RI.
Jalan di sekitar lokasi Merry tinggal rusak, dan hanya satu ruas yang beraspal. Kondisi jalan yang bopeng memaksa masyarakat di sana berjibaku dengan kesusahan.
"Kami [punya jalan] sisa peninggalan dari zaman dulu. Itu pun aspal pertama saja. Habis itu sudah tidak pernah ada lagi pembangunan," tutur Merry.
Lalu masalah berikutnya adalah ketersediaan air bersih, yang disebut Merry "tidak ada."
"Kami di sini air bersih tidak ada. Maksudnya, yang dikonsumsi oleh masyarakat sekarang ini adalah air yang mereka tampung. Air hujan. Kalau musim hujan, kami minum air hujan," ceritanya kepada BBC News Indonesia, Senin (25/08).
"Kalau musim begini [kemarau], kami ambil uang untuk beli air. Tidak ada air bersih di sini."
Masalah air bersih pernah disampaikan kepada anggota DPR yang tengah reses, dengan harapan setidaknya pemerintah membangun pipa-pipa guna memasok kebutuhan warga.
Bagi Merry, persoalan tersebut mendesak dituntaskan, terlebih dampaknya sudah sedikit-banyak dirasakan masyarakat: munculnya penyakit seperti infeksi.
Keinginan Merry dan masyarakat sekitar tidak terwujud.
"Tapi, seberapa banyak pun hasil reses itu tidak pernah ada yang ditindaklanjuti. Nol," tegas perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pedagang sayur ini.
"Setiap reses sudah kami sampaikan, tapi [anggota] DPR sama saja. Kami ini yang terlupakan."
Pernah dalam beberapa kesempatan reses, pelibatan masyarakat tidak mencakup keseluruhan.
"Bahkan paling orang tertentu [saja] yang dipanggil," aku Merry.
Merry kecewa sebab anggota DPR kerap menjanjikan banyak hal—seperti perbaikan jalan—manakala memasuki masa kampanye. Sayangnya, janji itu menguap tanpa jejak.
"Itu janjinya terlalu banyak. Jalan, katanya, mereka akan perhatikan, bahwa jalan ini akan diaspal. Jadi, janji yang mereka katakan itu tidak ada," ungkapnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/rwa
Di Bello, NTT, Bayu Mauta mengalami apa yang dirasakan oleh Merry.
Sampai Juli tahun ini, Bayu dan masyarakat di Bello mengikuti agenda reses dari anggota DPR yang diselenggarakan "di berbagai tempat seperti kelurahan sampai hotel," katanya.
Dalam agenda tersebut, anggota DPR bersangkutan menjelaskan kemudahan-kemudahan dari pemerintah untuk membantu masyarakat—petani dan peternak.
"Berkaitan dengan kebutuhan peternak maupun petani, alat-alat kerja," jelasnya ketika dikonfirmasi BBC News Indonesia.
Dari sisi warga, Bayu mengisahkan bahwa waktu itu mereka memberikan bermacam usulan mengenai akses terhadap alat-alat pertanian, sumur bor, maupun perbaikan sistem drainase.
Meski begitu, "saya belum melihat barang-barang ini sudah ada yang sampai atau belum," ujar Bayu.
"Karena informasi itu kalau [barang bantuan] sudah ada pasti kelurahan sampaikan," ucapnya.
"Sampai sekarang belum ada."
Bayu menilai polanya terus berulang. Setiap reses dilakukan, warga mengutarakan apa yang diperlukan dan dicatat "staf khusus dari anggota DPR." Selesai reses, tidak ada tindakan yang berarti.
"Mereka selalu mengatakan kalau sudah terpilih, mereka akan datang kembali ke masyarakat untuk sama-sama saling membantu. Kita membantu memberikan informasi, mereka membantu menyalurkan bantuan kebutuhan masyarakat," papar Bayu.
"Sampai sekarang kami belum melihat realisasinya."
Bayu meminta reses bukan sebatas menjadi ruang basa-basi, melainkan benar-benar berfungsi mengumpulkan keluhan masyarakat untuk nantinya dicari jalan keluarnya.
Dalam bayangan Bayu, praktik reses bakal lebih bermakna tatkala hasil dari diskusi dengan masyarakat diserahkan kepada dinas-dinas di bawahnya.
"Kenyataannya tidak ada kelanjutannya," jawabnya.
Merry mengikuti pemberitaan mengenai DPR yang belakangan ini ramai dibicarakan. Melihat situasi di sekitar rumahnya yang masih terkungkung keterbatasan, Merry dapat memahami kekecewaan tersebut.
Di benak Merry, prinsipnya cukup sederhana.
"Kalau mereka bekerja optimal, ini kita bisa lihat dari kondisi daerah kita sekarang," pungkasnya.
"Kenyataannya tidak begitu, bukan?"
Merujuk aturan yang ada, hasil kunjungan kerja, baik ketika reses maupun tidak, dapat dijadikan bahan dan disampaikan dalam rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, dan rapat paripurna DPR. Hasil kunjungan juga harus dilaporkan secara tertulis kepada fraksi.
Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Bernard Allvitro, menyampaikan sesuatu yang bisa secara terang dilihat adalah hasil legislasi yang menjadi salah satu capaian kinerja DPR.
Dari sekian banyak produk legislasi berupa undang-undang yang dihasilkan dalam tiga periode terakhir, nyatanya banyak yang diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Data dari MK memperlihatkan terdapat 88 undang-undang yang diajukan uji materi sepanjang 2024, melampaui tahun-tahun sebelumnya.
Undang-undang mengenai pilkada (pemilihan kepala daerah) paling banyak diuji, 35 kali, disusul aturan tentang pemilu (21 kali), serta sisanya terpecah ke beleid yang lain seperti cipta kerja—UU Nomor 10 Tahun 2020.
"Ini dapat diduga tunjangan serap aspirasi melalui reses belum dipergunakan secara maksimal," Bernard menerangkan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyebut—pada sidang tahunan 15 Agustus lalu—lebih dari 5.000 aduan serta laporan diterima langsung parlemen selama tahun terakhir. Permasalahannya, detailnya tidak pernah disampaikan.
Bernard turut menyoroti ketidakterbukaan DPR mengenai penganggaran, pelaporan, hingga pertanggungjawaban penggunaan anggaran dengan nominal yang cukup besar. Pada RAPBN 2026, anggaran DPR meningkat drastis menjadi Rp9,9 triliun. Belum diketahui apakah bakal berimbas ke dana reses atau tidak.
Walaupun begitu, sebelum anggaran ditingkatkan, kinerja DPR semestinya dievaluasi terlebih dahulu, papar Bernard.
"Kita inginkan itu seimbang. Jadi, haknya itu ada tapi bagaimana dengan kewajiban yang harus mereka berikan. Problemnya itu yang memang benar dalam pengawasan belum maksimal. Mereka juga tidak terbuka mengenai rincian penggunaan dan hasilnya," ujar Bernard.
Ketidakterbukaan pertanggungjawaban penggunaan dana menjadi satu dari sedikit wajah minimnya transparansi di tubuh parlemen, kata Kepala Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha.
Tidak hanya dana reses yang susah diakses, DPR dipandang cenderung tidak terbuka tentang proses penyusunan legislasi, tingkat kehadiran anggota, sampai pelibatan publik.
"DPR buruk dalam menjalankan prinsip transparansi untuk berbagai aspek. Keterbukaan anggaran sulit untuk didapat, paling banter kita hanya bisa mendapat anggaran dalam jumlah gelondongan. Itupun dokumen anggaran dalam website seringkali tidak bisa diunduh," jelas Egi.
BBC News Indonesia menguji pernyataan Egi dengan mengunjungi langsung situs DPR. Kami membuka bagian dokumen dan mengklik laporan keuangan. Hasilnya, per 26 Agustus 2025, tidak bisa diakses.
Pemandangan serupa kami temui di file yang lain.

Sumber gambar, DPR RI

Sumber gambar, DPR RI
BBC News Indonesia sudah mencoba meminta konfirmasi ke Sekretariat Jenderal DPR. Hingga artikel ini diterbitkan, belum ada tanggapan.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Heroik Pratama, alokasi anggaran harus berjalan lurus dengan fungsi yang dilakukan—diistilahkan money for all functions.
Dalam konteks anggaran reses anggota DPR, ketika memang tujuannya adalah meningkatkan fungsi dari DPR itu sendiri, maka perlu dibuktikan "bagaimana fungsi jaring aspirasi dari para anggota DPR dibangun," sebut Heroik.
Setidaknya ada dua indikator yang dapat dipakai, lanjut Heroik.
Pertama, apakah saat selesai reses mereka akan membawa banyak aspirasi ini untuk disampaikan di dalam masa sidang berikutnya?
Kedua, apakah aspirasi tersebut difasilitasi dengan baik dan ditafsirkan lewat produk-produk kebijakan dari parlemen?
"Contoh sederhananya begini. Kalau dalam pertemuan di reses itu publik mengeluhkan soal adanya jalan rusak, atau fasilitas publik rusak, apakah anggota dewan, misalnya, menindaklanjuti lewat pemerintah setempat atau dinas terkait?" Heroik menerangkan.
Kritik yang menargetkan hubungan antara anggaran dan kinerja DPR "bukan tanpa dasar," kata Heroik. Ini tak lepas dari posisi anggota DPR sebagai "wakil dalam menjalankan pemerintahan," Heroik menambahkan.
Di sistem politik demokrasi, DPR merupakan jembatan yang menautkan warga dengan negaranya.
"Ketika memang ini [anggaran dan kinerja] berbanding lurus, saya yakin publik akan menerima itu dengan baik," tutur Heroik.
"Tapi, kalau kemudian sebaliknya, ketika dana resesnya besar tapi kinerjanya dalam melakukan jaringan aspirasi, termasuk menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting tidak sesuai yang dikehendaki publik, maka wajar kritik atau desakan perbaikan itu muncul."
Riana A. Ibrahim (Jakarta) dan Eliazar Robert (Kupang) berkontribusi dalam tulisan ini.