Pemerintah hendak tampung 2.000 warga Gaza di Pulau Galang – Apakah Indonesia bantu Israel mengosongkan Gaza?

Sumber gambar, Anadolu via Getty Images
Pemerintah Indonesia berencana menampung 2.000 warga Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau. Rencana ini dikemukakan ketika Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengemukakan niatnya mengambil alih Kota Gaza. Apakah Indonesia akan membantu Israel mengosongkan Gaza?
Sejumlah media di Israel beberapa pekan belakangan menyatakan bahwa Tel Aviv telah berkomunikasi dengan perwakilan Indonesia untuk menampung warga Gaza. Israel juga dilaporkan meminta bantuan Amerika Serikat agar lima negara yang menerima warga Gaza –salah satunya Indonesia—mendapat insentif tertentu.
Israel selama ini telah melakukan beragam cara untuk mengusir rakyat Palestina dari tanah asal mereka. Bahkan kabinet keamanan Israel telah menyetujui pengerahan militer untuk mengambil alih Gaza secara penuh.
Karena itu, membawa warga Gaza ke Indonesia "sesuai dengan keinginan Israel agar Gaza dikosongkan rakyat Palestina," kata Hikmahanto Juwana selaku pengajar Hukum Internasional.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyangkal ada pertemuan dan insentif tertentu dalam rencana membawa 2.000 warga Gaza ke Pulau Galang, seraya menyatakan bahwa keputusan itu semata-mata pertimbangan kemanusiaan.
Anggota DPR menilai rencana menampung warga Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau, dapat "merepotkan secara politik", sehingga meminta pemerintah mempertimbangkan opsi lain.
'Pemerintah harus transparan'
Kabar pemerintah Indonesia setuju menerima warga Gaza ditulis sejumlah media Israel, Juli lalu.
Beberapa media bahkan melaporkan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, meminta badan intelijen Mossad mempercepat proses pemindahan warga Gaza ke negara-negara yang telah bersepakat.
Nantinya, para warga akan meninggalkan Gaza melalui Israel dan Yoradania, alih-alih via Mesir.
Petinggi Mossad, David Barnea, juga dilaporkan telah berdiskusi dengan Utusan Khusus Pemerintah Amerika Serikat, Steve Witkoff, guna meminta dukungan pemberian insentif kepada Indonesia dan empat negara lain.
Pengajar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah berterus terang perihal laporan komunikasi dengan Israel dan dugaan insentif tertentu dalam relokasi warga Gaza, demi mencegah kemarahan masyarakat.
"Jika laporan media Israel itu benar, jika ada insentif terkait Gaza, itu akan sangat berbahaya," kata Hikmahanto.
"Pemerintah harus transparan [apakah menerima insentif atau tidak]," sambungnya.

Sumber gambar, Anadolu via Getty Images
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, juga meminta pemerintah jujur demi menghindari potensi tudingan bahwa Palestina hanya dijadikan barter politik luar negeri Indonesia.
"Resistensi nanti bisa muncul. Pemerintah harus jujur," ujar Faisal.
Selain Indonesia, ada pula Ethiopia dan Libia yang disebut sepakat menerima warga Gaza.
Indonesia sampai saat ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Lantas, apakah komunikasi rahasia dilarang hukum internasional, seperti dilaporkan media-media Israel?
"Itu [komunikasi rahasia] tidak dilarang, boleh saja. Tapi tidak level kepala negara, mungkin di level intelijen," kata Hikmahanto.
Juru Bicara Kemlu Indonesia, Vahd Nabyl Mulachela, menepis kabar yang menyatakan terdapat komunikasi antara otoritas Israel dengan Indonesia dan dugaan insentif tertentu.
"Tidak ada [pertemuan]. Soal insentif, itu media dari sana. Mereka yang bisa menjelaskan," ujarnya.
"Ini kemanusiaan," lanjut Nabyl, menjabarkan alasan menerima 2.000 warga Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Meski beralasan demi kemanusiaan, sejumlah analis meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut.
Mereka berpendapat, membawa warga Gaza ke Pulau Galang hanya akan membantu Israel mengusir rakyat Palestina dari tanah kelahiran mereka.
Hikmahanto mengatakan, rakyat Palestina yang telah meninggalkan kampung halaman selama ini kesulitan untuk pulang. Kondisi serupa diperkirakan bakal menimpa 2.000 warga Gaza yang rencananya ditampung di Pulau Galang.
"Permasalahannya bukan kemanusiaan, tapi soal tanah yang akan diambil oleh Israel," kata Hikmahanto kepada BBC News Indonesia.
Pengamat Timur Tengah, Faisal Assegaf, menambahkan, Indonesia akan masuk dalam jebakan Israel jika akhirnya menampung warga Gaza di Pulau Galang.
Selama ini, kata Faisal, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dengan dukungan Amerika Serikat memang ingin mengosongkan Gaza.
Jika Indonesia menerima proposal membawa warga Gaza ke Pulau Galang, Faisal menyebut, "Kita masuk jebakan Israel."
"Ini kan sensitif. Isu seharusnya kan agar Israel membuka akses kemanusiaan, tapi kenapa justru malah dipindahkan? Kenapa enggak dirawat di Palestina saja?"
Pengamat Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhadi Sugiono, mempertanyakan motif pemerintah menampung warga Gaza di Pulau Galang.
Jika mempertimbangkan faktor kemanusiaan, kata Muhadi, posisi geografis Indonesia terlalu jauh dari Palestina.
Menurutnya, lebih masuk akal kalau pemerintah Indonesia mendorong evakuasi dan perawatan ke negara-negara di sekitar Palestina, katanya.
Faktor lain adalah posisi Indonesia yang sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, kendati dalam beberapa kesempatan tetap memberikan perlindungan terbatas kepada pengungsi yang datang.
"Semua terjadi dalam konteks politik yang mendorong kita untuk curiga. Apa yang melatarbelakangi keputusan ini? ujar Muhadi.

Sumber gambar, EPA
Pengamat Timur Tengah Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Muhammad Waffaa Kharisma, menambahkan, pemerintah Indonesia semestinya menambah tekanan kepada Israel dan sekutunya jika berpegang pada kemanusiaan.
Jika berkeras membawa warga Gaza ke Pulau Galang, terang Waffaa, sikap yang kemudian muncul adalah cerminan dukungan Indonesia atas one state policy.
"Saat ini retorika pemerintah dan parlemen Israel adalah pembersihan Gaza [dari rakyat Palestina] Artinya kita implisit mendukung one state policy, mendukung realita bahwa pengobatan tidak bisa di sana [Palestina]," kata Waffaa.
Waffaa pun mendorong DPR untuk mendalami rencana Presiden Prabowo untuk membawa warga Gaza ke Pulau Galang tersebut.
Hal itu diperlukan agara perkara ini menjadi lebih jelas, salah satunya soal dugaan manfaat timbal balik dari menerima warga Gaza.
"Bila benar [insentif], hal tersebut perlu dicek apakah konstitusional atau tidak. Perlu diperdebatkan di DPR terkait apakah hal itu sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan semangat antipenjajahan di UUD (Undang-undang Dasar) 1945," kata Waffaa.
Jaminan warga Gaza kembali ke Palestina
Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tubagus Hasanuddin, menyebut keputusan menerima warga Gaza di Pulau Galang "bisa merepotkan secara politik".
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, pemerintah harus memenuhi sejumlah syarat sebelum mewujudkannya.
Selain persetujuan warga yang hendak dibawa, pemerintah Indonesia perlu pula mendapat persetujuan Otoritas Palestina.
Hal ini krusial lantaran Indonesia sejauh ini mengakui negara Palestina dan pemerintahannya.

Sumber gambar, Hilda B Alexander/Kompas.com
Terakhir, terang Hasanuddin, pemerintah Indonesia harus mendapat komitmen Israel bahwa warga Gaza yang dibawa ke Pulau Galang dapat kembali memasuki wilayah Palestina.
"Kalau terpenuhi, boleh-boleh saja [dibawa ke Pulau Galang]," kata Hasanuddin.
Kolega Hasanuddin di Komisi I DPR, Dave Laksono, mengapresiasi rencana menampung warga Gaza di Pulau Galang.
Ia bahkan menyebut kebijakan itu "mulia" dan harus didukung semua pihak.
"Banyak yang melakukan aksi damai di seluruh dunia, tapi Indonesia harus lebih dari itu," kata Dave.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi, soal kabar komunikasi dengan Israel dan dugaan insentif untuk membawa warga Gaza ke Pulau Galang, tapi belum beroleh balasan.
Pada 7 Agustus lalu, Hasan menyebut rencana pemerintah membawa 2.000 warga Gaza ke Pulau Galang sebagai "operasi kemanusiaan".
Menurut Hasan, warga Gaza yang akan dibawa ke pulau yang pernah menjadi titik penampungan ratusan ribu pengungi Vietnam itu adalah mereka yang menjadi korban perang.
"Yang luka-luka, yang mengalami apa, mungkin kena bom, kena reruntuhan, dan segala macam," ujar Hasan.
Pulau Galang dipilih pemerintah karena terpisah dari pemukiman warga Indonesia, tapi memiliki rumah sakit dan fasilitas pendukung lain. Pada masa pandemi, pulau tersebut memang sempat dijadikan pusat penanganan Covid-19.
Selepas menjalani perawatan, Hasan mengatakan warga Gaza itu kemudian akan dikembalikan ke negara mereka.
"Jadi, bukan memindahkan warga, tapi semacam operasi kemanusiaan untuk membantu sebanyak yang kita bisa," ujar Hasan, seraya menambahkan bahwa Presiden Prabowo telah menugaskan Kementerian Pertahanan dan Kemlu untuk menyiapkan rencana itu.
Kronologi rencana relokasi warga Gaza
Wacana menampung warga Gaza sejatinya telah muncul sedari awal tahun. Seperti dilaporkan NBC News, Indonesia menjadi salah satu tujuan, selain Libya dan Etiopia.
Hanya saja, sejumlah pihak mencurigai program itu sebagai kedok Israel untuk mengusir warga Palestina dan memperluas pemukiman di Gaza.
Sempat meredup, wacana itu kembali muncul Maret 2025 tatkala media Israel melaporkan bahwa sekitar 100 warga Gaza akan dikirim ke Indonesia dalam program percontohan migrasi sukarela.
Program migrasi sukarela dijalankan Mayor Jenderal Ghassan Alian yang mengepalai Koordinator Kegiatan Pemerintah di Wilayah Palestina, sebuah badan di bawah Kementerian Pertahanan Israel yang dikenal dengan akronim COGAT.
Dilaporkan media Israel akhir Juli, Netanyahu kini berupaya mempercepat realisasi program guna mempertahankan Menteri Dalam Negeri berhaluan sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, di kabinet pemerintahan.