G30S: Anak petinggi PKI menanti jawaban di mana ayahnya dikuburkan - 'Pikiran saya tak bisa beranjak dari petaka 1965'

Sumber gambar, BBC News Indonesia
- Penulis, Heyder Affan
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Kematian tragis salah-satu pemimpin PKI, MH Lukman, dalam petaka 1965 membuat kehidupan anak sulungnya 'sulit beranjak' dari kejadian itu. Sang anak terus berusaha menarasikan kembali ingatan personalnya tentang ayahnya dari cengkeraman sejarah resmi.
Rumah itu, rumah yang menjadi tempat berkumpul ayah dan ibu, kakek-nenek, bibi, paman, serta adik-adiknya, adalah rumah paling membahagiakan, sebelum ayahnya hilang setelah huru-hara 1965.
Di ruang-ruang di dalam rumah beratap tinggi dan terang itulah, riak-riak ingatannya tentang sosok ayahnya tak sirna, walau berbaur dan terselip dalam kegelapan sejarah.
Dia ingat akan pekarangan luas dan memanjang yang sebagian berubin, dan lambaian tangan ayahnya ketika memukul bola pingpong, dan sapaan hangatnya, "Tati, Tati," lalu menceritakan padanya potongan-potongan kehidupan yang tak pernah tuntas.
"Saya ingat semua, rumah di mana saya paling bahagia," ujarnya.
Ketika turun hujan, Tati suka menghabiskan waktu dengan melamun di sudut ruangan dapur yang terbuka. Saat itulah, dia sesekali mencuri pandang bapaknya yang tengah duduk membaca buku di ruangan kerjanya.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Dan di rumah yang sisi kanannya dirimbuni pepohonan, Tati yang beranjak remaja — anak pertama dari lima bersaudara — mulai menemukan kedekatan dengan sosok bapaknya yang disebutnya "membuatnya bahagia". Alasannya, pada tahun-tahun sebelum tragedi itu, bapaknya memang memiliki waktu luang untuk anak-anaknya.
Sekali waktu, di ruangan kamarnya di sudut rumah di Jalan Agus Salim nomor 91, Menteng, Jakarta, suara rendah Paul Robeson melantunkan 'Los Cuatro Generales' berkumandang dari gramofon miliknya. Tati yang saat itu belum genap 17 tahun dan bapaknya seperti larut dalam lirik dan irama lagu itu.
Baca juga:
- Tarian Genjer-Genjer kembali ditampilkan - 'Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya'
- Pemerintah Indonesia didesak 'menulis ulang sejarah' peristiwa kekerasan 1965-1966 - 'Beri tempat kepada suara korban yang selama ini dibungkam'
- Peristiwa 1965: Pemerintah beri visa gratis, eksil korban pelanggaran HAM berat tuntut 'permintaan maaf dan pengungkapan kebenaran' - 'Kalau hanya sampai sini, tak bisa dianggap selesai'
Puluhan tahun kemudian, di usianya yang kini menginjak 77 tahun, dia tidak dapat melupakan apa yang disebutnya sebagai "hubungan sangat spesial saya dan bapak," saat mereka bersama-sama mendengarkan alunan sang penyanyi, tanpa perlu berkata-kata secara panjang lebar, di sudut kamarnya.
"Walau tanpa bicara banyak, dari film yang kita tonton atau musik yang kita dengar, saya rasakan hubungan amat dalam antara saya dan bapak."
Suara Tatiana terdengar tercekat dari ujung telepon, ketika dia berbicara kepada saya pada Juni lalu, dari tempatnya tinggal sejak tahun 1980-an, Belanda.
"Saya memang 'anak bapak' — anak kesayangan," suaranya lirih nyaris tak terdengar.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Dalam ingatan yang kadang runut, tetapi sesekali tidak teratur, acak, akibat pengalaman traumatik, dia masih bisa memetakan perjalanan ingatannya tentang sosok bapaknya.
Sang anak lalu teringat beberapa kali diajak bapaknya menonton film-film "perjuangan" di Kedutaan Soviet, China atau Korea Utara.
"Usia saya saat itu, antara 14 dan 15 tahun, saya merasa ngeri lihat orang-orang komunis dibunuhin di film-film itu," kenangnya.
Bapaknya saat itu sudah dikenal sebagai politikus dan salah-satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sumber gambar, Koleksi keluarga Oey hay Djoen/ISSI
Catatan: Hak cipta foto di atas milik keluarga Oey Hay Djoen/Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Dan Tatiana sama-sekali tidak pernah membayangkan bahwa apa yang dia lihat di layar lebar itu kelak menjadi kenyataan pahit yang merenggut keintimannya dengan para penghuni di rumah Menteng.
Bapaknya hilang. Keluarganya tercerai berai. Rumah milik ayah-ibunya disita tentara. Dan dia harus menahan rindu puluhan tahun supaya bisa pulang ke tanah air.
Pertemuan terakhir dengan bapak
Lalu pikirannya kembali pada hari-hari di penghujung 1964, beberapa bulan sebelum petaka itu terjadi, ketika remaja 16 tahun itu berpakaian rapi berdiri di tangga pesawat di Bandara Kemayoran, Jakarta.
Ayahnya memegang tangan dan mencium pipinya dan menatapnya dalam-dalam ketika anak sulungnya itu akan menempuh studi ke China.
Baca juga:
"Saya tidak menyangka, itu pertemuan terakhir saya dengan bapak," kenangnya puluhan tahun kemudian.
Kali ini ingatan Tatiana amat tajam. Dia ingat detil-detil momen-momen terakhir dengan ayahnya yang berlangsung singkat.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Ibunya menunggu di ruangan tunggu bandara. Tapi dia dan bapaknya berjalan menuju tangga pesawat.
Kemudian, "saya dipeluk bapak dan berbisik supaya saya belajar baik-baik dan ingat semua pesan bapak."
Tatiana tidak pernah paham atmosfer politik menyesakkan di langit ibu kota kala itu, seperti yang kelak dia serap dari buku-buku sejarah tatkala usianya makin matang.
Saat naik tangga pesawat itu pun, Tatiana tak pernah membayangkan bakal terjadi huru-hara kira-kira sepuluh bulan kemudian, kecuali teringat pesan bapaknya, "saya diminta belajar kepada Mao Tse Tung dan petani China."
Baca juga:
- Peristiwa 65: Mengapa pernyataan eksil 'bukan pengkhianat negara' diprotes dan picu kemarahan sejumlah eksil?
- Eksil ditawari kembali menjadi warga negara Indonesia - 'Kalau ditawari dwikewarganegaraan saya mau'
- Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?
Dibesarkan keluarga komunis
Tatiana Indraningsih, kelahiran 1946, adalah salah-satu anak pasangan Muhammad Nul Hakim (M.H.) Lukman — salah-satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) — dan Siti Nisfati. Dia adalah anak pertama dari lima bersaudara.
Pada awal 1950-an, MH Lukman (usianya 30 tahun saat itu), bersama Dipa Nusantara (DN) Aidit, Njoto, Sudisman, berhasil membesarkan partai komunis itu setelah luluh-lantak akibat peristiwa Madiun 1948 — para elit pimpinannya (Musso, Amir Sjarifuddin, hingga Maruto Darusman) dihukum mati, dan partai itu dituduh "menusuk dari belakang" ketika Republik di bawah ancaman agresi Belanda. Dan sejarah mencatat, PKI menolak tuduhan itu, melainkan sebagai tindakan membela diri.
Melalui kepemimpinan "three musketeers" — sebutan untuk Aidit, Lukman dan Njoto — anggota PKI naik drastis dari sekitar 165.000 menjadi kira-kira 1,5 juta pada pertengahan 1950-an.

Sumber gambar, Koleksi keluarga Oey Hay Djoen/ISSI
Catatan: Hak cipta foto di atas milik keluarga Oey Hay Djoen/Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Dan pada Pemilu 1955, mereka muncul sebagai partai keempat terbesar yang duduk di parlemen, dengan meraup 16,4% dari total suara nasional. PNI nomor satu, disusul Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU) di urutan tiga.
Di luar angka-angka statistik seperti itu, Tatiana tumbuh dalam atmosfer keluarga komunis. Dua kakeknya, baik dari garis ayah atau ibu, adalah anggota Sarekat Rakyat (SR) di Tegal pada pertengahan 1920-an.
Organisasi ini adalah pecahan Sarekat Islam (SI) pimpinan Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Kelak SR dan SI Merah menjelma menjadi PKI pada 1920.
Baca juga:
"Subuh dia sudah bangun, terus salat dan wirid," ungkap Tatiana, mengenang kakeknya, Muklas, yang seorang haji.
Pada tahun 1920-an, bukan rahasia lagi, kehadiran PKI menjadi daya tarik bagi orang-orang Islam karena sikap perlawanannya terhadap kolonial Belanda.
Dan bukan hal aneh, ketika sosok-sosok revolusioner seperti Haji Misbach dalam kancah pergerakan di Surakarta, Jateng, memiliki latar belakang Islam yang kuat.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Kakek dari garis ibunya, Kadirun, juga dikenal sebagai pengikut komunis dan juga dibuang ke Digul di Papua bagian selatan, karena ikut terlibat pemberontakan PKI pada 1926. Kelak dia tercatat sebagai tokoh perintis kemerdekaan.
Seperti dicatat sejarawan Takashi Shiraisi dalam buku 'Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 2012-1926', kehadiran Haji Misbach — selain Marco Kartodikromo dan Tjiptomangunkusumo — di panggung pergerakan menentang kolonialisme, "melenyapkan klasifikasi nasionalisme, Islam dan komunisme."
Dan perpaduan Marxisme dan Islamisme itu bukan khas pergerakan di Jawa semata. Di Sumatera Barat, persisnya di Kota Padang Panjang, pada awal abad ke-20, "menjadi lumbung pertumbuhan komunis terpesat di Sumatera," kata sejarawan Fikrul Hanif Sufyan.

Sumber gambar, Tropenmuseum
Dalam bukunya 'Menuju Lentera Merah, Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekkah 1923-1926', Hanif menulis: "Sosok Haji Datuk Batuah, mencoba memadukan Marxisme dan Islamisme, serta nilai-nilai adat Minangkabau.
"Dia menyebut hasil ramuannya itu sebagai Kuminih," kata Hanif kepada BBC News Indonesia, awal Juli lalu.
"Dampaknya cukup mencengangkan, jumlah anggota komunis melonjak di kota itu," jelas dosen di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Abdi Pendidikan, Payakumbuh, ini.
Seperti yang dialami Haji Muklas, atau Haji Misbach, Haji Datuk Batuah kemudian dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Boven Digul.
Baca juga:

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Kembali ke Tatiana. Apa yang diperlihatkan dua kakeknya itu, dan dilanjutkan bapaknya di "jalan komunis", amat membekas pada dirinya. Walaupun telah diangkat menjadi menteri oleh Sukarno dan menjadi Wakil Ketua DPR Gotong Royong, demikian kata Tatiana, ayahnya melarang keluarganya hidup mewah.
Ada banyak cerita tentang apa yang disebut sebagai "moral komunis", tetapi Tatiana selalu teringat ketika suatu hari bapaknya mencari celana panjang model drill miliknya, yang biasa dipakai ke kantor. Lukman kemudian bertanya kepada istrinya. Lalu dijawab begini:
"Oh yang itu? Lha, beberapa hari yang lalu, ingat enggak kita makan apa?"
Ayah Tatiana, sambil garuk-garuk kepala, kemudian teringat: makan ayam.
"Tapi apa hubungannya dengan celana panjangku?" Tanya Lukman seraya menambahkan bahwa celana itu masih bagus.
"Lha, kalau udah jelek, ya, enggak bisa ditukar dengan ayam." Jawaban ibu ini membuat ayahnya terduduk membisu. Rupanya celana itu dijual untuk membeli lauk ayam — menu mewah untuk keluarga Tatiana.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Gaya hidup sederhana yang diterapkan keluarga Lukman ini bukan isapan jempol, setidaknya itulah pengakuan Tatiana. Karena itulah, dia marah besar ketika ada tulisan di sebuah blog pribadi (2017) yang menyitir berita lama di Harian Kompas edisi 23 November 1965.
Berita Kompas itu menyebutkan dugaan bapaknya terlibat korupsi terkait pembelian rumah seluas 2.000 meter persegi di Gondangdia Lama, Jakarta. Tatiana menganggap laporan Kompas itu yang kemudian dikutip ulang itu "fitnah dan memutarbalikkan fakta."
"Yang jelas ibu saya tidak pernah bicara tentang kepemilikan rumah pribadi di jalan Gondangdia Lama itu," tulis Tatiana di Koran Sulindo,18 Maret 2018, menanggapi tautan berita Kompas itu.
"Aneh ya? Padahal setelah bapak dihilangkan dan sampai sekarang tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, kami hidup terlunta-lunta karena tidak ada penghasilan," tegasnya.
Baca juga:
- 'Tembak dan kuburkan saya, supaya anak-anak bisa berziarah' — Thaib Adamy dan pembunuhan massal 1965 di Aceh
- 'Saya masih simpan parang untuk potong leher' — Kesaksian 'Algojo 1965' di Aceh
- 'Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon' - Jejak kekerasan 1965 di Tanah Gayo dan ikhtiar penyembuhan
Lagipula, ketika Kompas memberitakannya pada akhir November 1965, Angkatan Darat telah memberangus hampir semua surat kabar sejak pekan pertama Oktober, tulis sejarawan John Roosa dalam bukunya 'Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2017).
Fakta lainnya, sambung Roosa, "Angkatan Darat menerapkan sensor terhadap beberapa [media massa] di antaranya yang mendapat izin terbit kembali."
Dan, Lukman — jika masih hidup — masih dalam pelarian. Dan masuk akal bila dia tidak diberi hak jawab atas tuduhan serius itu.
'Saya tak pernah terpikir bakal terjadi petaka 1965'
Dalam atmosfer Perang Dingin yang kental dan gejolak dalam negeri yang ditandai persaingan kelompok Kiri dan Kanan, permusuhan antara PKI dan Angkatan Darat, dan Sukarno seolah berada di tengah, petaka itu akhirnya meledak.
Sejumlah jenderal Angkatan Darat dibunuh dan diculik pada malam gelap pada akhir September hingga fajar merah awal Oktober 1965. Isu 'Dewan Jenderal' yang disebut-sebut akan menyingkirkan Sukarno menjadi salah-satu pelatuknya.
Ketika dinahkodai DN Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman itulah, PKI kemudian hancur berkeping-keping dalam waktu singkat.

Sumber gambar, Buku 'Penghancuran PKI' (Olle Tornquist, 2017)
Rezim baru Suharto, yang perlahan-lahan mempreteli kekuasaan Presiden Sukarno, menuduh PKI sebagai dalang di balik pembunuhan itu dalam bingkai apa yang disebut sebagai kudeta yang gagal — tuduhan ini kelak disangsikan melalui serangkaian penelitian sejumlah sejarawan yang menawarkan teori-teori baru di seputar peristiwa itu.
Kenyataannya, partai itu kemudian dibubarkan dan disusul pembantaian terhadap setidaknya setengah juta orang yang dituduh komunis — versi lain angkanya tidak sebesar itu, namun ada pula satu versi menyebut lebih dari sejuta yang dibunuh.
Baca juga:
- 'Sebagai Muslim, kami tidak boleh memelihara dendam', kisah cucu Musso dan kerabat kiai 'korban PKI Madiun 1948'
- 'Madiun 1948 adalah tragedi, saya minta maaf', kisah rekonsiliasi 'tokoh PKI' dan kerabat pesantren di Magetan
- Apakah relevan mengaitkan Peristiwa 65 dan Pemberontakan PKI di Madiun 1948?
Dalam rangkaian tindak kekerasan yang masif inilah, Aidit, Lukman dan Njoto juga menjadi korban. Mereka dibunuh dan tidak pernah diketahui di mana jasadnya.
Namun Tatiana, di usianya yang masih belia saat kecamuk itu pecah, tidak pernah terpikir sampai ke sana.
Sambil sesekali menghela napas panjang, dia lalu mengisahkan momen-momen menyenangkan yang sering kali lebih banyak memadati pikirannya ketimbang kekerasan politik yang terjadi kemudian.

Sumber gambar, Hulton Archive/Getty
Dia misalnya menyimpan ingatan pengalaman masa kecilnya saat diajak ayahnya menonton pertunjukan ludruk di kompleks Istana Merdeka.
Lukman, sang ayah, seperti pemimpin PKI lainnya, memang memiliki kedekatan dengan Presiden Sukarno. Nonton bareng ludruk ini terjadi tidak lama sebelum dia disekolahkan ke China. Suasananya penuh gelak tawa dan kelakar, ingatnya.
"Jadi, saya tidak menyangka sama-sekali orang-orang PKI kemudian dibunuh dan ayah saya ditangkap," Tatiana berusaha mengingat-ingat lagi apa yang ada di benaknya saat itu.
"Saya merasa kami dekat dengan Bung Karno."
Dengan berada di lingkaran dalam pemerintah, demikian di benaknya, semuanya akan aman-aman saja. Tetapi, nyatanya tidak.
'Apakah benar bapak ditangkap?'
Lantas, kehidupan Tatiana tidak berjalan tenang, kalut, dihantui kebingungan, was-was, setelah dia mengetahui ada huru-hara politik 1965 di Indonesia.
Dia gelisah lantaran tidak dapat memastikan bagaimana nasib keluarganya. Ketika itu, Tatiana sedang menempuh pendidikan di China dan tinggal di asrama di sebuah gedung tingkat di Peking.
"Waktu itu saya berpikir keluarga saya sudah 'habis'," ungkapnya. Habis di sini berarti mati dibunuh. "Tinggal saya dan bulik [adik ayahnya] Rollah." Keduanya tinggal di Peking, tetapi beda rumah.

Sumber gambar, BETTMANN/GETTY IMAGES
Sama-sekali kehilangan kontak dengan keluarganya di Jakarta, dia nyaris saban hari menyempatkan diri mendengar berita dari siaran radio-radio asing. Suatu hari, di tahun 1966, sekian bulan setelah petaka itu, Tatiana tersentak saat mendengar nama ayahnya disebut oleh seorang penyiar Radio Jepang.
"Bapak saya ditangkap," Tatiana kembali menghela napas panjang. Tidak ingat secara spesifik di mana dan bagaimana ayahnya ditangkap, dia saat itu kemudian bergegas ke meja resepsionis di lantai gedung untuk menelpon adik ayahnya, Rollah.
"Barusan Tati dengar bapak ditangkap. Itu betul?" Dia mengulang percakapan penuh putus asa dengan buliknya.
"Iya betul." Suara buliknya di ujung telepon. Lalu… "habis itu kita menangislah."

Sumber gambar, BETTMANN/GETTY IMAGES
Sampai belasan tahun kemudian dia tidak tahu persis bagaimana nasib ibu dan empat adiknya. Jika akhirnya dia mendengar ihwal keluarga intinya dari cerita orang-orang, namun kadang dia tidak yakin akan kebenarannya, sampai akhirnya dia bertemu ibunya, Siti Nisfati.
Mereka bertemu di Belanda pada akhir 1980an. Ketika itu Tatiana sudah menetap di negeri itu setelah sempat tinggal di China dan Kuba sebagai eksil.
'Ibu kebingungan mencari perlindungan'
Melalui penuturan sang ibu, Tatiana menjadi tahu lebih lengkap tentang nestapa keluarganya setelah G30S pada 1965.
"Bapak menghilang, tidak pulang-pulang, ibu jadi kebingungan mencari perlindungan," Tatiana mengulang cerita ibunya.
Ketika suara-suara 'bunuh Aidit, hancurkan PKI' muncul di jalanan protokol Jakarta, Ibu dan empat adiknya bergegas meninggalkan rumah di Jalan Agus Salim dan mencari tempat perlindungan — kelak rumah ini disita Angkatan Darat.
Mereka mencari perlindungan, "dengan hanya baju yang melekat di badan, tas sekolah di tangan adik-adiknya, dan sehelai karpet," tulis Tatiana dalam buku memoarnya, 'Pantai Rei: Tidak ada pengorbanan yang sia-sia, air Sungai Digul mengalir terus!' (2014).

Sumber gambar, CAROL GOLDSTEIN/KEYSTONE/GETTY IMAGES
Berpindah-pindah dari rumah keluarga atau kenalan dekat, persembunyian Siti Nisfati dan empat anaknya akhirnya ketahuan. Mereka ditangkap dan ditempatkan di satu rumah dengan penjagaan polisi militer.
"Dengan satu tempat tidur besar untuk ibu dan empat anaknya," ungkapnya.
Setelah dibebaskan, keluarga ini sempat tercerai berai. Ada satu adiknya ikut keluarga di Surabaya. Anak ketiga ikut ibunya.

Sumber gambar, BETTMANN/GETTY
"Ibu mulai berjualan, tapi enggak berjalan," ungkapnya getir. Sekolah adik-adiknya juga berantakan, karena tidak ada saudara yang mau menolongnya.
Sampai di sini Tatiana enggan bercerita lebih lanjut, utamanya ketika saya bertanya apakah saya dapat mengetahui lebih lanjut perihal adik-adiknya.
Dia hanya berujar pendek: "Mereka cenderung tidak mau mengingat-ingat lagi masa-masa itu."
Rumah di Jalan Agus Salim, Menteng, 'memanggil-manggil'
Dihantui trauma akibat kematian ayahnya, Tatiana berikhtiar menemukan ingatan menyenangkan tentang bapak dan keluarganya saat "pulang" ke rumah masa remajanya di Jalan Agus Salim, Jakarta Pusat.
"Rumah yang selalu memanggil-manggil ketika saya meninggalkan tanah air," tulis Tatiana dalam memoarnya 'Panta Rhei'. Melalui sudut-sudutnya, dia merasakan hantu ayahnya — yang dia rindukan sekali — seperti hadir di hadapannya.
Di awal 2003, dia mendapatkan izin oleh penjaga rumah itu untuk melihat-lihat ke dalam.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
Dia merasakan sensasi kebahagiaan ("rumah terakhir di mana saya merasa bahagia, karena semua keluarga hidup di situ," katanya), tapi di sisi lain dia merasa sedih dan marah lantaran sebagian sudut-sudut rumah itu telah dibongkar ("Dulu terasa terang, pintunya terbuka, sekarang gelap dan banyak barang rongsokan," tambahnya).
Bagian depan rumah sudah berubah sama-sekali. Ruang panjang di samping rumah di mana bapak suka main pingpong dengan anak-anaknya, "sekarang ditutup dengan tembok". Dan ketika kakinya melangkah ke kamar tidurnya, ternyata pintunya terkunci.
Setiap sudut rumah menuturkan kisah, pada akhirnya. Tapi ketika sudut atau ruang itu berubah, Tatiana didera perasaan sedih. Ini terjadi ketika dia mendatangi ruang kerja bapaknya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia
"Ruangan itu dibagi menjadi dua ruangan kecil, dan sekarang gelap sekali, berisi barang-barang yang tidak keruan," ujarnya. Saat itu rumah itu sedang dalam proses untuk dijual.
Tatiana lantas teringat cerita kerabatnya, setelah ibu dan adik-adiknya dipaksa meninggalkannya, rumah itu disulap menjadi asrama tentara dan semacam kantor.
Bagaimana ayah saya dibunuh, di mana jasadnya dikuburkan?
"Saya penasaran, bapak saya diapain sampai mati?" Pertanyaan seperti ini terus membebani pikiran anak sulung MH Lukman, Tatiana, lebih dari 50 tahun semenjak dia mendengar kabar ayahnya ditangkap pada 1966.
"Saya ingin tahu sekali," Tatiana menegaskan. Saya rindu bapak, katanya lagi.
Dan rasa ingin tahu itu tak pernah padam, walau dia menyadari waktu terus berjalan dan saksi yang mengetahuinya sudah banyak yang meninggal dunia.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
Tatiana juga belum menemukan jawaban melegakan di mana jasad bapaknya dikuburkan. "Kalau kuburan bapak ditemukan, kami bisa menguburkan ulang dengan baik."
Itulah sebabnya, setiap ada kesempatan bertemu keluarga teman-teman bapaknya, pertanyaan-pertanyaan "bagaimana bapaknya meninggal" dan "di mana jasadnya dikuburkan" selalu keluar dari mulutnya.
"Saya selalu tanya, tapi selalu simpang siur. Tidak tahu mana yang benar," ujarnya.
'Bapak dimasukkan ke karung dan dibuang ke laut'
Dari hasil penelusurannya, ada empat versi perihal bagaimana ayahnya menjemput ajal. Di sini, Tatiana tidak menyebut keterangan waktunya.
Pertama, MH Lukman ditangkap saat berada di rumah seorang kader PKI. Ketika mereka sedang menggelar rapat, aparat menggerebeknya.
Dua, MH Lukman ditangkap saat bersembunyi di rumah salah-seorang kurirnya. Kemudian ada yang melaporkan, mereka kemudian ditangkap.

Sumber gambar, BERYL BERNAY/GETTY IMAGES
Tiga, MH Lukman bersembunyi di rumah temannya dan diketahui aparat. Dia melawan dengan mengeluarkan pistol. Dia kemudian mati tertembak peluru aparat.
"Saya paling suka versi ini, karena bapak mati terbunuh, dan selamat dari penyiksaan," aku Tatiana.
Empat, MH Lukman ditangkap saat bersama pimpinan PKI lainnya, Njoto, usai mengikuti sidang kabinet di Istana Bogor. Sidang kelar mereka dibuntuti dan akhirnya ditangkap.
"Lalu bapak dimasukkan dalam karung dan diledakkan, lalu dibuang ke laut," ungkap Tatiana, datar.
"Ada pula berita yang menyebut bapak diseret pakai tank sampai babak belur. Di situlah bapak mati."
Dan, sampai sejauh ini, Tatiana menandaskan: "Saya tidak tahu mana yang benar."
'Prahara 1965 terus ada dalam pikiran saya'
Lebih dari 50 tahun kemudian, Tatiana merasa "waktu tidak bergerak maju". Artinya, pikiran dan perasaannya terus terpaut dengan segala kejadian sebelum dan sesudah peristiwa 1965.
"Saya seolah-olah merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin," akunya.
"Artinya, saya selalu ada di dunia ketika saya SMA." Dia baru lulus SMA ketika dia berangkat ke China dan beberapa bulan kemudian petaka itu terjadi.

Sumber gambar, BETTMANN/GETTY IMAGES
Namun di sisi lain, demikian pengakuannya, ada kesadaran pada dirinya untuk terus menarasikan kembali pengalamannya dan keluarganya dari cengkeraman narasi-narasi dominan.
Dia kemudian menulis beberapa buku, termasuk memoarnya, dengan terus mempertanyakan kembali narasi-narasi yang dipropagandakan selama puluhan tahun.
"Saya berusaha membongkar kebusukan dan kebohongan Orde Baru yang masih dipertahankan sampai sekarang."
Suara Tatiana terdengar lantang.
'Kalau berani, sejarah 1965 harus diluruskan — tapi saya pesimis'
Tuntutan agar pemerintah Indonesia mengambil inisiatif untuk meluruskan sejarah peristiwa 1965-1966, agaknya sudah tertutup.
Di Amsterdam, akhir Agustus lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam dialog dengan perwakilan eksil 1965, menolak usulan tersebut. Acara ini digelar menindaklanjuti keputusan pemerintah mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu — di antaranya kasus 1965.
"Negara akan menyediakan biaya penelitian untuk penulisan sejarah [terkait peristiwa 1965], silakan. Tapi [hasilnya] bukan sikap negara penelitian itu," tegas Mahfud.

Sumber gambar, Kemenkopolhukam
Dua hari kemudian, sikap seperti itu diprotes sebagian sejarawan, para penyintas 1965, hingga pegiat HAM. Mereka berkumpul di kantor Amnesty International di Jakarta, dan menyuarakan tuntutannya.
Mereka menyatakan negara tidak bisa "lepas tangan" dan menyerahkan tanggungjawab pelurusan sejarah terkait peristiwa 1965 itu kepada para sejarawan.
"Paling tidak itu [temuan baru para sejarawan tentang peristiwa 1965] dibenarkan dan pemerintah mengakui bahwa ada satu cerita yang salah [terkait peristiwa 1965] sehingga harus direvisi karena dia melestarikan trauma korban," kata sejarawan dari Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian, saat itu.
Jika negara tidak memenuhi kewajiban itu, mereka dianggap melanggengkan impunitas, menggelapkan fakta sejarah kejahatan kemanusiaan, bahkan menghindar dari kewajibannya untuk memuliakan harkat dan martabat bangsa.

Sumber gambar, AMNESTY INTERNATIONAL INDONESIA
"Antara Januari sampai Februari tahun 2024, di situ pintu gerbangnya. Semakin cepat [penulisan ulang sejarah] dikeluarkan semakin mungkin ini mempunyai daya hidup yang melampaui kemungkinan itu nanti ditutup kembali," kata Marzuki Darusman, mantan Ketua Komnas HAM.
Dan, kira-kira dua bulan sebelum Mahfud MD berdialog dengan eksil, Tatiana mengaku pesimis pemerintah Indonesia berani untuk meluruskan sejarah 1965.
"Yang saya pikirkan adalah pelurusan sejarah [1965]," ujarnya dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, awal Juni 2023, melalui sambungan Zoom.
"Semua fitnah dan kebohongan itu harus dibongkar," Tatiana menekankan.

Sumber gambar, Getty Images
"[Lakukan] pelurusan sejarah, kalau berani. Tapi saya pesimis [pemerintah berani melakukannya]," tandasnya.
Sebagai penyintas 1965, sikap pemerintah Indonesia untuk meluruskan sejarah itu mendesak dilakukan. Lagi pula, sudah melimpah hasil penelitian sejarawan yang mengoreksi sejarah yang selama ini dijadikan patokan pemerintah.
"Dan para korban sudah berani menulis pengalamannya sendiri, walaupun belum semua, karena masih trauma," dia menjelaskan.
Mengapa mereka masih trauma, sambungnya, karena "ancamannya masih ada dan terus ada sampai sekarang."
"Kalau mau menghilangkan, harus betul-betul mengakui dan juga pelurusan sejarah itu suatu keharusan.
Tidak mungkin peristiwa kekerasan 1965 akan tuntas, tanpa ada upaya meluruskan sejarah, tandas Tatiana.

Perjalanan MH Lukman, tumbuh menjadi komunis di Digul hingga tragedi 1965
Anak seorang kiai asal Tegal yang terlibat pemberontakan PKI 1926, MH Lukman kecil tumbuh menjadi radikal di tanah pembuangan Boven Digul. Terlibat dalam revolusi kemerdekaan, dia bergabung PKI. Lukman bersama Aidit dan Njoto berjasa membesarkan partai itu hingga malapetaka 1965. Berikut tonggak-tonggak perjalanan politik MH Lukman:

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
1920:
Lukman dilahirkan 26 Februari 1920 di Tegal, Jawa Tengah. Ayahnya, Muklas, seorang haji yang bergabung dengan Sarekat Rakyat di desanya — pecahan Sarekat Islam (SI) pimpinan HOS Cokroaminoto.
1929:
Akibat keterlibatannya dalam pemberontakan PKI pada 1926-1927, Muklas ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Dia membawa sebagian besar anggota keluarganya — termasuk Lukman yang berusia sembilan tahun. Di sana Lukman mendapatkan pendidikan, termasuk dididik oleh Mohammad Hatta.
1938:
Di usia 17 tahun, Lukman diizinkan meninggalkan kamp pembuangan Boven Digul dan kembali rumah ayahnya di Tegal. Dia bekerja sebagai kondektur bus sampai pendudukan Jepang dimulai.
1943:
Selama pendudukan Jepang, Lukman berangkat ke Jakarta. Dia mewarisi semangat revolusioner bapaknya. Di Asrama Menteng 31, Lukman bertemu Aidit. Mereka bekerja di kantor-kantor pusat Putera dan Hokokai, di bawah pengawasan Sukarno dan Hatta. Di saat yang sama, Aidit dan Lukman mulai melakukan kontak dengan organisasi bawah tanah PKI Jakarta.

Sumber gambar, Buku Kotapradja Djakarta Raya/Kompas
1944:
Bersama Aidit, Lukman dipilih Bung Karno ikut Barisan Pelopor Istimewa. Ini adalah kelompok yang terdiri 100 orang yang setia kepada Bung Karno.
Jelang Agustus 1945:
Aidit dan Lukman terlibat dalam gerakan-gerakan menuntut kemerdekaan Indonesia. Mereka bermarkas di Menteng Raya 31 dan ikut rapat-rapat menuntut kemerdekaan segera ketika Jepang kalah.
Setelah Agustus 1945:
Usai proklamasi, Lukman dan Aidit aktif berdemonstrasi di Lapangan Ikada, Gambir, pada 19 September 1945. Mereka ditangkap militer Jepang dan ditahan di Penjara Jatinegara, tapi berhasil kabur. Namun ditangkap oleh lagi oleh tentara Inggris dan dibuang ke Pulau Onrust.

Sumber gambar, Arsip Kompas
Oktober-Desember 1945:
Lukman terlibat dalam revolusi sosial di tiga wilayah Brebes, Tegal dan Pemalang, Jawa Tengah. Kelak peristiwa ini disebut sebagai Peristiwa Tiga Daerah. Dia sempat ditahan. Setelah dibebaskan, Lukma bersama Aidit, Njoto dan Sudisman mulai aktif di PKI yang dibentuk ulang.
Agustus 1948:
Aidit, Lukman dan Njoto menjadi anggota Commite Central PKI. Lukman dipercaya duduk di bagian agitasi dan propaganda.

Sumber gambar, WIKIMEDIA COMMONS/DOMAIN PUBLIK
Jelang dan sesudah September 1948:
Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman hadir pada Agustus 1948 ketika pemimpin besar PKI, Musso, yang baru datang dari pengasingan di Uni Soviet, memperkenalkan 'Jalan Baru'. Kebijakan ini belum terealisasi, PKI digilas insiden Madiun. Aidit, Lukman, dan Njoto lolos ke Jakarta.
1950:
Aidit, Lukman, dan Njoto menerbitkan kembali Bintang Merah. Ini adalah jurnal teori PKI yang didirikan pada 1945 dan sempat mati suri.

Sumber gambar, Harri Gieb/Twitter
1951:
Aidit, Lukman, dan kelompoknya memimpin pemberontakan internal PKI dan berhasil, sehingga sejak Januari 1951, para tetua lama penjaga partai, praktis tersingkir dan keempatnya mulai mengukuhkan diri sebagai pengganti mereka.

Sumber gambar, Arsip pribadi Tatiana Lukman
1955:
Di bawah kepemimpinan Aidit, Lukman, dan Njoto, pada Pemilu 1955, PKI muncul sebagai partai keempat terbesar yang duduk di parlemen, memiliki 16,4% dari total suara nasional. Anggota PKI terus naik hingga 1,5 juta pada 1959.
1965:
Lukman dikabarkan berada di Semarang dan Njoto sedang di Sumatera, ketika meledak G30S pada akhir September 1965. Angkatan Darat menuduh PKI di balik penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal. Aidit, Lukman, dan Njoto kemudian dibunuh tanpa diadili terlebih dahulu, saat digelar pembasmian terhadap orang-orang komunis.
(Dikutip dan disarikan dari berbagai buku)

'Menyudahi warisan logika kekerasan Orba, butuh waktu panjang'
Dibanding 15 atau 20 tahun silam, masyarakat — utamanya generasi muda — saat ini jauh lebih kritis dan berani dalam menafsirkan ulang peristiwa 1965.
Selain tidak lagi semata menyandarkan pada versi tunggal Orba, mereka bahkan menyodorkan pendekatan baru, tak melulu aspek hukum atau HAM semata.
Namun demikian, masih dibutuhkan waktu lumayan panjang untuk menyudahi warisan 'logika kekerasan' yang dibangun Orde Baru sejak peristiwa pembunuhan massal 1965-1966. Lebih dari itu, disadari pula bahwa sejarah 1965 versi Orba masih relatif dominan.
BBC News Indonesia mewawancarai koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) Agung Ayu Ratih; sejarawan Grace Leksana; dan pengelola Perpustakaan Online 1965 Yohannes Andreas Iswinarto. Berikut petikannya:
'Anak muda kini jauh lebih berani, dulu kami takut'
(Agung Ayu Ratih, koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia)
Setahun setelah reformasi 1998, kami mewawancarai ratusan penyintas 1965, karena saat itu sejarah versi Orba masih menjadi kebenaran tunggal. Saat itu hampir tidak pernah terdengar versi korban, kecuali Pramoedya Ananta Toer atau Oei Tjoe Tat melalui buku-bukunya.
Para penyintas itu di mata sebagian besar masyarakat, seolah-olah tidak berwajah dan kejam. Padahal mereka tidak berbeda dengan orang kebanyakan. Bisa jatuh cinta dan sedih.
Kami juga pernah kerja sama dengan guru-guru sejarah untuk membuat bahan ajar seputar peristiwa 1965 agar tidak semata-mata mengikuti kurikulum pemerintah. Ternyata tidak gampang. Isu ini masih sensitif dan ketatnya aturan di kurikulum.

Sumber gambar, Twitter/Agung Ayu Ratih
Sekarang penarasian sejarah alternatif peristiwa 1965 sangat berkembang. Di media sosial, anak-anak muda mulai kritis, tidak takut. Dulu generasi saya takut-takut.
Di dunia akademik demikian pula. Mereka mencermati kejadian kekerasan itu tak terbatas pada isu HAM atau hukum. Mereka melihat dimensi lain dari korban.
Negara seharusnya mengakui kesalahan dan sekalian meluruskan sejarah 1965, dan tidak cukup dengan menyesalinya. Jika tidak dilakukan, saya khawatir praktik penghakiman atau persekusi terhadap sikap berbeda dalam berpolitik, sulit dihilangkan.
'Warisan logika kekerasan Orba sulit dihilangkan'
(Grace Leksana, sejarawan dari Universitas Negeri Malang)
Tindakan persekusi terhadap orang-orang yang dicap komunis selama Orba yang tidak pernah dimasalahkan, mengakibatkan terbangunnya logika bahwa sah-sah saja menggunakan kekerasan terhadap kelompok lain.
Logika seperti ini tumbuh subur sampai sekarang. Lihat saja kasus persekusi terhadap orang-orang LGBT, masyarakat Tionghoa atau apa yang terjadi di Papua.

Sumber gambar, dutchculture
Logika kekerasan seperti itu sulit dihilangkan, karena begitu masifnya Orba menciptakan narasi anti-komunis melalui berbagai lini.
Namun di sisi lain, sikap kritis terhadap sejarah 1965, sudah ada kemajuan. Ini antara lain ditandai makin banyaknya penelitian atas peristiwa itu. Dimensinya pun sangat beragam.
Namun masih dibutuhkan waktu lumayan panjang. Di sini seperti berjalan kaki, lambat. Bayangkan setelah berdekade-dekade, pemerintah Indonesia baru mengakui dan menyesalkannya.
'Sejarah versi tentara masih dominan'
(Yohannes Andreas Iswinarto, pengelola Perpustakaan Online 1965)
Sejak 2016, saya mengumpulkan bahan-bahan terkait pembantaian massal antikomunis 1965. Saya menyebutnya genosida. Setelah Reformasi, memang banyak bermunculan bacaan alternatif seputar peristiwa itu, namun masyarakat masih ada keterbatasan untuk mengaksesnya.
Saya kemudian menghubungkan masyarakat dengan sumber bacaan. Sudah ada respons menarik, semakin banyak mahasiswa yang tengah menulis skripsi, karya tulis ilmiah atau tesis. Mereka mengunjungi situs atau menghubungi saya.

Sumber gambar, Dokumen pribadi Yohannes Andreas Iswinarto
Kehadiran perpustakan online ini juga penting, karena sejauh ini sejarah versi tentara masih dominan. Terbukti dengan infrastruktur museum, nama jalan, atau kurikulum sekolah, masih didominasi sejarah ala Orba.
Ke depan, perpustakaannya mencoba menghimpun foto-foto terkait 1965 yang masih minim. Impian lainnya adalah sebanyak mungkin menghimpun situs-situs genosida 1965 atau kuburan massal orang-orang yang dibunuh karena dituduh komunis.

(Kronologi 'Kelahiran dan kejatuhan PKI' disarikan dari beberapa buku)