KELAPA (cocos nucifera) merupakan komoditas strategis yang meskipun sering luput dari sorotan dibandingkan sawit atau kopi, memiliki peran vital dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan perekonomian nasional.
Di berbagai wilayah pesisir dan perbukitan, kelapa tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas budaya dan ekonomi keluarga petani kecil.
Tanaman ini telah lama tertanam dalam sistem pertanian rakyat dan menjadi fondasi ekonomi lokal di banyak daerah.
Secara nasional, hingga tahun 2023, luas perkebunan kelapa Indonesia tercatat mencapai 3,32 juta hektare, dengan sekitar 98 persen dikelola oleh petani rakyat.
Pada 2022, produksi kelapa nasional mencapai 2,87 juta ton, menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen utama dunia.
Sentra produksi tersebar di berbagai provinsi seperti Riau, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Jawa Timur, yang masing-masing memiliki kondisi agroklimat dan tradisi pengelolaan yang khas dan mendukung pertumbuhan kelapa.
Secara global, posisi kelapa Indonesia semakin menguat. Pada 2024, ekspor kelapa bulat dan produk turunannya mencapai 431.915 ton, dengan nilai devisa sekitar 1,55 miliar dollar AS atau setara Rp 25 triliun.
Negara-negara seperti China, Malaysia, Thailand, dan Amerika Serikat menjadi pasar utama.
Baca juga: Tepung Lokal dan Ketahanan Pangan: Menakar Ulang Dominasi Impor
Namun, di balik keberhasilan ini tersimpan tantangan struktural yang serius—mulai dari produktivitas rendah akibat pohon tua, terbatasnya varietas unggul, lemahnya teknologi pascapanen, hingga fluktuasi harga yang sering merugikan petani.
Tanpa pembenahan sistem dari hulu ke hilir, potensi besar kelapa belum tentu bisa menjamin kesejahteraan petaninya.
Harga kelapa di tingkat produsen menunjukkan tren kenaikan dalam lima tahun terakhir, meski tidak selalu stabil.
Pada 2019, harga rata-rata kelapa berada di kisaran Rp 2.690 per butir, lalu meningkat menjadi Rp 3.291 pada 2023. Tahun 2024 diperkirakan mencapai sekitar Rp 3.300.
Kenaikan ini selain mencerminkan adanya peningkatan nilai jual, tapi juga menunjukkan bahwa pasar kelapa masih sangat rentan terhadap dinamika pasokan dan permintaan.
Meski harga meningkat, petani belum sepenuhnya merasakan manfaatnya. Rantai distribusi yang panjang dan akses pasar yang terbatas membuat petani, terutama di daerah terpencil, menjual kelapa dengan harga lebih rendah dari nilai pasar.
Akibatnya, sebagian besar keuntungan justru dinikmati oleh pedagang perantara. Ketiadaan kelembagaan petani yang kuat turut memperlemah posisi tawar mereka dalam rantai pasok.