Minggu pertama bulan Agustus diperingati sebagai pekan menyusui sedunia (world breastfeeding week) – di bawah kampanye lembaga kesehatan dunia WHO “Awal yang sehat, masa depan penuh harapan” dengan fokus dukungan berkelanjutan terhadap proses menyusui yang perlu diprioritaskan.
Sayangnya, di Indonesia masih berkumandang istilah “pekan ASI sedunia”, padahal jelas-jelas Air Susu Ibu bukanlah terjemahan dari ‘breastfeeding’.
Banyak pemahaman keliru seputar menyusui yang masih beredar di masyarakat, apalagi ilmu tentang proses menyusui ini tidak menjadi bagian dari mata kuliah apalagi uji kompetensi nakes kita.
Baca juga: 5 Cara Menambah Berat Badan Saat Menyusui, Termasuk Makan Ikan
Padahal, mendukung perjalanan alamiah seorang manusia pertama kali mendapat hak akan asupannya adalah kewajiban utama seorang profesional kesehatan.
Dimulai dari rutinitas seorang calon ibu saat memeriksakan kehamilannya, amat sangat jarang bidan atau dokter menanyakan kepada ibu tentang kondisi payudara atau memeriksa payudara langsung sebagai kesiapan estafet ‘apa selanjutnya’ setelah persalinan usai.
Tidak jarang puting ibu yang melesak atau ‘tidak timbul’ menjadi masalah besar saat bayi lahir, masuk tahapan Inisiasi Menyusu Dini.
Ibu dan nakes menjadi bingung dan baru kalang kabut menghadapi bayi yang kesulitan menyusu.
Walaupun bisa ‘diakali’ dengan bantuan ‘nipple shield’, tapi ini tentu bukan hal yang mudah dan langsung dapat diterapkan.
Lain halnya jika manipulasi puting sudah dikerjakan beberapa bulan sebelum persalinan, maka saat anak lahir puting sudah siap.
Begitu pula edukasi seputar pemahaman bagaimana ASI terbentuk dan proses menyusu lancar masih amat minim. Tak jarang nakes sendiri menyangsikan ‘payudara kecil’ mana bisa menghasilkan ASI yang cukup.
Masih banyak nakes yang menakut-nakuti ibu saat ASI belum keluar, dengan menyebut bayi ‘bisa dehidrasi’.
Belum lagi desakan mertua, keluarga besar yang semakin memberi tekanan kepada ibu baru – yang akhirnya menjadi korban jeratan industri susu formula.
Itu sebab Inisiasi Menyusu Dini amat krusial, didampingi nakes yang telaten dan sabar, saat ibu memahami proses pelekatan, bayi juga belajar menyusu di satu jam pertama kehidupannya di luar rahim ibu.
Baca juga: 5 Hal yang Sebaiknya Dihindari Ibu Saat Menyusui dan Pemulihan Pasca-Melahirkan
Tetesan pertama ASI yang masih sedikit adalah kolostrum berharga bagi bayi, selain mengandung antibodi imunoglobulin, juga protein susu/laktoderin, faktor pertumbuhan dan sel darah putih, vitamin, mineral, lemak, laktalbumin yang belakangan diketahui sebagai protein yang membantu melawan sel kanker – ini semua mustahil ada dalam susu formula premium yang paling mahal.
Dan jika bayi mengalami kontak kulit dengan ibunya saat menyusu, otomatis ia akan mendapatkan probiotik alamiah yang melindungi saluran cerna, serta memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Betapa mengerikannya di pelosok kampung masih ada orang yang beranggapan kolostrum adalah “ASI basi” yang justru harus dibuang...
Di saat baru lahir, lambung bayi masih sekecil kelereng. Jadi jangan diharap ASI bisa langsung memancar bak pancuran air selang.
Baru 3 hari pasca bersalin, produksi ASI secara sempurna terjadi. Dan di 3 hari pertama seorang bayi, ia masih mempunyai cadangan energi. Tangisan bayi tidak boleh secara gegabah diterjemahkan sebagai rasa lapar.
Baca juga: Warisan Generasi Baby Boomers: Budaya Sehat atau Kebiasaan Sesat?
Menyusu adalah proses eksklusif seorang bayi, yang mendapat nutrisi terbaik karena komposisi ASI dari waktu ke waktu tidak pernah sama.
Sangat disayangkan jika masih banyak orang berpikir ASI itu harus seperti susu pada umumnya: kental, pekat, memberi kesan ‘mengenyangkan’.