JAKARTA, KOMPAS.com - 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan menemukan jasad Marsinah terbujur kaku di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.
Tubuhnya dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh.
Tewasnya Marsinah, buruh perempuan yang vokal menyuarakan hak-hak pekerja itu awalnya tidak mendapatkan perhatian publik.
Baca juga: Marsinah dan Jalan Panjang Menuju Gelar Pahlawan Nasional...
Namun sebulan kemudian, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), buruh, dan aktivis mahasiswa mencurigai kematian Marsinah. Pembunuhan Marsinah dianggap bukan persoalan kriminal biasa.
Lantas siapa Marsinah? di mana kasus pembunuhannya dianggap bukanlah persoalan kriminal biasa.
Apa yang terjadi pada 5 Mei 1993? Saat rekan-rekannya terakhir kali melihat sosok Marsinah?
Lalu, bagaimana dengan intimidasi terhadap 13 buruh oleh Kodim 0816 Sidoarjo yang berujung tewasnya Marsinah?
Kasus pembunuhan Marsinah berawal pada 3-4 Mei 1993, saat buruh pabrik pembuatan arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), menuntut pemenuhan hak mereka.
Mereka menuntut 12 hal kepada PT CPS, yakni:
Baca juga: Soal Gelar Pahlawan Marsinah: Prabowo Dukung, Mensos Bilang Tak Tahun Ini
Setelah aksi mogok kerja tersebut, 11 dari 12 tuntutan tersebut dikabulkan, kecuali pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS. Terkabulnya hasil perundingan tersebut tertuang dalam Surat Persetujuan Bersama.
Namun pada 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo dan memaksa mereka untuk mengundurkan diri dari PT CPS, dengan alasan sudah tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.
Ke-13 buruh itu menolak.
Namun, penolakan bukanlah kata yang ingin didengar Kodim 0816 Sidoarjo. Mereka yang menolak terus mendapatkan intimidasi dan tindakan represif.
Mereka akhirnya terpaksa menandatangani surat pengunduran diri yang telah disiapkan petugas Kodim 0816 Sidoarjo.
Ke-13 buruh itu juga dipaksa untuk mengisi formulir yang menanyakan identitas, keluarga, pendidikan, hingga sikap mereka terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).