MANILA, KOMPAS.com - Sebanyak 23 kontainer berisi debu seng terkontaminasi radioaktif yang didepak Indonesia, terdampar di lepas pantai Filipina sejak 20 Oktober 2025.
Otoritas setempat menyebut situasi yang sudah berlangsung 12 hari ini membutuhkan penanganan segera, meskipun belum dikategorikan sebagai keadaan darurat.
Direktur Institut Penelitian Nuklir Filipina (PNRI), Carlo Arcilla, menyatakan bahwa jejak isotop radioaktif Cesium-137 terdeteksi dalam kontainer tersebut.
Baca juga: Sumber Radioaktif Cesium-137 RI Diduga dari Filipina, Manila Akan Selidiki
"Kita perlu mengamankan lokasi (penguburan) dengan cepat," ujar Arcilla kepada AFP, Jumat (31/10/2025).
Meski demikian, ia menegaskan bahwa kadar radiasi yang ditemukan tidak membahayakan dalam jangka pendek.
"Ini bukan keadaan darurat nasional. Ini adalah masalah yang dapat dipecahkan," kata Arcilla.
Kontainer tersebut semula diekspor dari Filipina ke Indonesia, tetapi ditolak setelah otoritas di Jakarta mendeteksi keberadaan Cesium-137.
Seorang pejabat Indonesia mengonfirmasi bahwa temuan tersebut menjadi alasan pengembalian seluruh muatan ke negara asal.
Penolakan ini terjadi di tengah peningkatan kewaspadaan Indonesia terhadap paparan zat radioaktif.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) sempat mengumumkan pembatasan impor terhadap beberapa produk makanan dari Indonesia, setelah Cesium-137 terdeteksi dalam sampel udang dan cengkeh.
Sebagai respons, Pemerintah Indonesia menangguhkan sementara impor besi dan baja skrap yang diduga menjadi sumber kontaminasi. Pemerintah juga memperketat sistem pemantauan bahan radioaktif.
Baca juga: Usai Udang, Cengkeh Ekspor RI ke AS Diduga Juga Tercemar Zat Radioaktif
Petugas sedang mengangkut material yang terpapar zat radioaktif untuk di bawa ke tempat penyimpanan sementara di gudang PT PMT, Kawasan Industri Cikande, Modern.PNRI menyebut muatan itu diekspor oleh Zannwann International Trading Corp, yang mendapatkan bahan dari Steel Asia, perusahaan lokal pengolah logam daur ulang.
Steel Asia mengaku telah menghentikan sementara operasi pabrik daur ulangnya, tetapi membantah bertanggung jawab atas kontaminasi tersebut.
"Mereka menuding kami secara tidak adil. Kesimpulan PNRI tidak berdasar dan tidak ilmiah," demikian pernyataan resmi dari Steel Asia.