KOMPAS.com – Desa Cianaga di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dikenal dengan suasananya yang tenang dan asri.
Namun, di balik keheningan kampung itu, tersimpan kisah memilukan seorang bocah bernama Raya, balita berusia tiga tahun yang meninggal dunia dengan kondisi tubuh dipenuhi cacing.
Raya tinggal bersama orang tuanya, Udin (32) dan Endah (38), di rumah panggung sederhana berukuran 4x7 meter di Kampung Padangenyang, Dusun Lemah Duhur. Rumah bercat putih dengan dinding tripleks dan lantai kayu itu berdiri hanya beberapa meter dari kandang domba dan ayam.
Sehari-hari, suara hewan ternak bercampur aroma kotoran ayam menjadi latar kehidupan keluarga kecil ini. Di tempat itulah Raya tumbuh, sering terlihat bermain di kolong rumah bersama ayam peliharaan keluarganya.
“Bibi hingga nenek Raya suka melarang orang tuanya membiarkan Raya bermain sembarangan di tanah, apalagi (kondisi tanah dipenuhi) dengan kotoran ayam dan sebagainya,” ujar Kepala Dusun 03 Lemah Duhur, Arif Rahman, saat ditemui Kompas.com, Kamis (21/8/2025).
Baca juga: Menteri PPPA Sebut Kasus Balita Sukabumi Tewas karena Cacingan Bentuk Pelanggaran Hak Anak
Namun, larangan itu kerap tak digubris. “Tapi dengan keterbelakangan orang tuanya tidak menggubris larangan tersebut, malah menegur balik kepada yang melarang,” kata Arif.
Keluarga Raya hidup dalam kondisi serba pas-pasan. Kedua orang tuanya mengalami keterbelakangan mental, namun Udin tetap berusaha menafkahi keluarga dengan bekerja sebagai buruh harian lepas.
“Semisal ada tetangga yang menyuruh apapun pekerjaannya lalu dikasih uang, sehingga sedikit demi sedikit memiliki kemampuan untuk menafkahi keluarganya dengan segala keterbatasannya,” tutur Arif.
Meski begitu, keluarga ini kerap mendapat sokongan dari sanak saudara. Kakak Raya, Risna (7), kini tinggal sementara bersama bibinya setelah kedua orang tuanya dirawat di Bandung untuk menjalani pemeriksaan kesehatan.
Baca juga: Kisah Haru Asal Nama Raya, Bocah Sukabumi yang Meninggal dengan Tubuh Penuh Cacing
Kondisi rumah yang ditempati keluarga Raya sempat sangat memprihatinkan. Lantai dan dinding bambu yang rapuh bahkan pernah digunakan orang tuanya sebagai kayu bakar. Akibatnya, Raya beberapa kali terjatuh karena lantai rumah berlubang.
“Rumahnya sangat sederhana, apalagi dua tahun kebelakang kondisinya lebih parah dari ini... Raya sempat terjatuh karena itu lantai rumahnya bolong. Kemudian diinisiasi oleh kepala desa dengan anggaran pribadinya dan gotong royong warga untuk renovasi. Alhamdulillah (terbangun) meskipun sederhana di tahun 2024,” jelas Arif.
Selain rumah yang tak layak, keluarga ini hanya mengandalkan MCK seadanya. Toilet darurat yang berada di luar rumah dibangun tanpa penghalang, sehingga terbuka bagi siapa pun yang lewat.
Untuk kebutuhan air sehari-hari, mereka mengandalkan Sungai Cianaga. Ironisnya, air dari sungai yang sama juga digunakan untuk buang hajat.
“Sumber air dari bawah (kolam) yang berasal dari Sungai Cianaga, dimasukkan ke drum untuk keperluan sehari-hari seperti buang air. (Sumber utama air itu) diambil dari sungai yang sama (dengan buang air besar),” jelas Arif.
Baca juga: Kayu Pondasi Jadi Bahan Bakar Memasak, Kisah Rumah Reyot Raya Bocah Sukabumi Terungkap
Kondisi sanitasi buruk dan pola hidup yang tidak sehat membuat daya tahan tubuh Raya melemah. Ia sering jatuh sakit, hingga akhirnya didiagnosis menderita penyakit paru-paru. Tanpa KK dan BPJS, proses pengobatannya sempat terhambat.
Dengan bantuan lembaga filantropi, Raya sempat mendapat perawatan intensif selama sembilan hari. Namun, nyawanya tak tertolong. Pada 22 Juli 2025, Raya menghembuskan napas terakhir.