Ketika mewariskan genetik, orang tua juga menurunkan banyak hal kepada anaknya, mulai dari penampilan hingga kecerdasan.
Namun selain itu, banyak yang tidak menyadari bahwa mereka menurunkan hal lain seperti luka batin dan trauma.
Banyak luka batin yang tersimpan dalam setiap keluarga.
Akan tetapi, kebanyakan keluarga memilih untuk tidak membicarakan luka tersebut.
Alih-alih memperbaiki situasi, mereka lebih suka untuk tidak membahasnya, menghindarinya, bahkan berasumsi bahwa keluarganya sedang baik-baik saja.
Sayangnya, perilaku ini membuat luka akan terus hadir dan kemudian diturunkan ke generasi berikutnya.
Diturunkan lagi dan lagi, hingga seseorang di dalam keluarga bertekad untuk menghentikan luka warisan tersebut.
Pada buku Family Constellation, Meilinda Sutanto menjelaskan mengapa keluarga disfungsional bisa terbentuk.
Misalnya, masing-masing generasi memiliki trauma dan luka yang berbeda.
Nenek dan kakek bisa saja mengalami trauma peperangan, orang tua kesulitan mengungkapkan perasaan, hingga anak yang menjadi depresi.
Meilinda menjelaskan dengan terperinci tentang bagaimana trauma orang tua dapat berdampak besar untuk keluarga.
Salah satu penyebabnya adalah karena ketidakhadiran pasangan.
Absennya pasangan bisa terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pasangan masuk penjara, atau meninggal dunia.
Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan keluarga disfungsional terbentuk.
Menurut Meilinda, yang telah berpengalaman menjadi fasilitator terapi konstelasi keluarga, ketidakhadiran pasangan ini dapat memaksa anak mengisi kekosongan yang ada.
Tujuannya adalah agar sistem dalam keluarga menjadi “seimbang” dan berjalan lancar.
Orang tua sebagai manusia tentu saja cenderung membutuhkan teman untuk berbagi masalahnya.
Sayangnya, anak terlihat sebagai solusi terdekat untuk mereka.
Hal inilah yang membuat anak beralih peran menjadi orang tua.
Anak yang terparentifikasi mendapatkan tugas seolah merekalah orang tuanya.
Alhasil, mereka justru memberikan apa yang seharusnya orang tua berikan kepada mereka, misalnya seperti makanan, urusan rumah tangga, dan hidup sehari-hari.
Menurut buku Family Constellation, anak dan orang tua seharusnya memiliki porsi tugasnya masing-masing.
Orang tua harus mampu memberikan cinta dan melakukan kewajibannya kepada anak, dan anak bertugas menerima cinta dari orang tua, bukan malah sebaliknya.
Apabila posisinya anak yang memberi cinta, dikhawatirkan mereka tidak memiliki cukup cinta saat menjadi orang tua kelak.
Ini adalah salah satu penyebab luka batin yang akan diturunkan dengan pola yang sama pada generasi berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi.
Parentifikasi sendiri memiliki banyak dampak kepada anak, di antaranya yaitu menghambat perkembangan anak karena mengambil alih peran orang tua, anak juga rawan merasakan kecemasan dan depresi.
Meilinda menjelaskan, apabila seseorang memiliki gejala tersebut, sangat disarankan untuk menemui profesional kesehatan mental (psikolog atau psikiater).
Selain itu, terapi konstelasi keluarga dapat menjadi solusi yang mengatasi hingga ke akar untuk menolong seseorang dengan kesulitan ini.
Konstelasi keluarga sendiri adalah metode terapeutik yang sangat manjur.
Metode ini ditemukan oleh Bert Hellinger, seorang psikoterapis Jerman yang menggunakan sejarah keluarga sebagai alat memahami dan memecahkan masalah hingga ke akarnya.
Melalui konstelasi keluarga, seseorang dapat memahami pola permasalahan dan sumber trauma pada diri mereka.
Dengan begitu, masalah seperti duka tak berkesudahan, trauma keluarga, maupun konflik dalam hubungan dapat teratasi dengan baik.
Konstelasi keluarga juga efektif menyembuhkan diri dan memperbaiki hubungan seseorang di dalam keluarga, terutama dengan orang tua.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Kita sering mendengar bahwa menjadi anak berbakti adalah sebuah keharusan.
Titel sebagai anak berbakti sudah melekat sebagai tujuan sekaligus tuntutan seorang anak.
Tentu, menjadi anak berbakti adalah perilaku yang mulia jika dilihat dari segi norma maupun agama.
Namun—juga dibahas dalam buku Family Constellation—makna “berbakti” sering kali disalahartikan menjadi ketaatan buta.
Dalam buku yang kini menjadi national best-seller tersebut, dijelaskan bahwa sangat perlu memiliki batasan antara anak dan orang tua bahkan di dalam ranah keluarga sekalipun.
Berbakti kepada orang tua tentu saja adalah keharusan, tetapi dengan catatan sesuai kemampuan dan batas seorang anak.
Memberikan kasih sayang, kepatuhan, pelayanan, dan penghormatan adalah beberapa contoh dari bakti kepada orang tua.
Ini berarti, orang tua harus paham bahwa kewajiban anak tidak boleh melewati batas dalam berbakti kepada mereka.
Meilinda Sutanto juga menjelaskan beberapa hal tentang kesalahpahaman orang tua dalam melihat kewajiban bakti anak kepada mereka.
Disebutkan bahwa orang tua tidak seharusnya memberikan “kartu senioritas” untuk membenarkan semua pendapat mereka.
Tidak dibenarkan untuk mengatur jalan hidup anak sepenuhnya, dengan dalih bahwa orang tua lebih paham tentang apa yang diinginkan anak.
Meilinda juga menambahkan bahwa anak dan orang tua harus bisa saling mendengarkan, saling mengerti, serta anak tidak boleh berkorban berlebihan melalui kapasitasnya.
Buku ini ingin menyadarkan pembaca, bahwa keluarga yang tidak stabil harus diberikan solusi penyelesaiannya.
Melalui buku ini, satu per satu permasalahan tersebut dikupas.
Pembaca seolah diajak untuk merefleksikan apa yang sudah terjadi pada diri dan keluarganya.
Dimulai dari sebab-sebab luka batin dapat diturunkan, peran dan posisi setiap anggota keluarga, hingga dampak yang akan terjadi jika luka batin terus dianggap tidak ada.
Buku yang sangat cocok dibaca bagi anak maupun orang tua.
Kadangkala, banyak dari kita fokus mencari pasangan hidup dengan melihat permukaannya saja.
Anggaplah kita menilai penampilan, ekonomi, dan pendidikan.
Semua hal yang dipandang itu seolah sudah cukup untuk memperbaiki keturunan.
Namun, sebelum itu apakah kita sudah melihat luka batin dalam diri pasangan kita? Atau sudahkah kita menyelesaikan luka di dalam diri dan keluarga kita?
Permasalahannya adalah luka batin yang belum disembuhkan akan berdampak pada hubungan dengan pasangan.
Meilinda, melalui buku pertamanya itu, juga menjelaskan apa yang akan terjadi jika seseorang pembawa genetik trauma memiliki hubungan dengan orang lain.
Trauma anak-anak yang tidak tersembuhkan dapat membawa berbagai jenis luka berikutnya.
Maka dari itu, buku ini diharapkan dapat membimbing pembaca untuk mengetahui luka yang dimilikinya.
Selain itu, pembaca juga akan mengetahui posisi dirinya dan keluarganya.
Tujuannya adalah agar mengetahui apakah keluarganya sudah berfungsi dengan baik, ataukah ternyata malah disfungsional?
Melalui buku ini, pembaca akan dipandu untuk menata ulang diri sendiri dan keluarganya.
Buku ini seakan membuat pembaca yang kebingungan dengan arah dan jalan hidup ini, mendapat uluran tangan dari Meilinda Sutanto sebagai seorang terapis.
Setelah menuntaskan keseluruhan buku Family Constellation, pada bagian akhir buku terdapat kuesioner kecil yang dapat diisi oleh pembaca.
Pembaca dapat merefleksikan hasilnya untuk mengambil keputusan ke depan, terkait apakah membutuhkan penyembuhan melalui konstelasi keluarga atau tidak.
Siapkah kamu untuk memotong mata rantai trauma itu? Temukan jawabannya di buku Family Constellation.
Buku ini dapat dipesan di Gramedia.com atau toko buku Gramedia.