Ada beragam ungkapan-ungkapan yang mendorong seseorang untuk bisa tetap semangat dalam bekerja.
“Lakukanlah apa yang kamu cintai dan kamu tidak pernah bekerja sehari pun dalam hidupmu!” Ungkapan itu terdengar menarik, bukan? Apalagi bagi kita atau siapa pun yang merasakan jenuh dalam rutinitas bekerja yang nyatanya terasa mencekik.
Namun, tunggu dulu! Tampaknya kita butuh jawaban mendasar dari gejala ini.
Terus-menerus mencari pembenaran lewat ungkapan-ungkapan seperti itu justru merepresi apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.
Kita tidak benar-benar mencoba mengangkat akar masalahnya.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi?
Seorang jurnalis, Simone Stolzoff mencoba menelusuri fenomena masyarakat yang kian kemari mengagung-agungkan sebuah pekerjaan.
Lebih jauh dari itu, masyarakat modern justru melekatkan identitas pribadinya pada pekerjaan.
Dampaknya adalah mereka semakin sulit merasakan kebahagiaan yang kemudian juga merobohkan reputasi dan kesuksesan yang mungkin bisa diraihnya.
Logikanya sederhana, seseorang terlalu menyembah “pekerjaannya” hingga itu merenggut seluruh hidupnya.
Ketika mereka tidak menemukan apa yang sebenarnya mereka kejar, kebahagiaan pun sirna.
Rasa kekecewaan yang besar ini kelak menghalangi potensi sukses kehidupan profesionalnya.
Dalam buku The Good Enough Job: Merebut Kembali Kehidupan dari Pekerjaan, Stolzoff melakukan penelitian secara khusus terhadap kehidupan orang kantoran di Amerika.
Mengapa orang kantoran Amerika? Menurut Stolzoff, Amerika adalah negara yang sedang mengalami tren meningkat terkait “workism” atau “kerjaisme”, istilah yang digunakan oleh jurnalis Derek Thompson.
Melekatnya orang-orang Amerika dengan pekerjaannya mungkin tampak dari kebiasaan sederhana mereka bertanya pada orang yang baru dikenal.
Bagi orang Amerika, pertanyaan “Apa kesibukanmu?” sudah umum dan seolah-olah menjadi identitas “siapa diri kita.”
Bagaimana seseorang menghasilkan uang mendefinisikan siapa dirinya di masyarakat atau di mata orang lain.
Sementara itu, orang kantoran menjadi fokus pendalaman Stolzoff karena ia melihat ada kemungkinan tertinggi kelompok ini mencari makna dan identitas mereka dalam pekerjaan.
Namun, di awal Stolzoff meyakinkan pembacanya bahwa situasi ini dihadapi banyak orang.
Kita tidak sendirian karena banyak orang merasakan dan mengalami hal yang sama.
Dalam banyak penelitian yang disebutkan dalam buku The Good Enough Job, hasrat obsesif terhadap pekerjaan sebenarnya dapat mengarah pada tingkat kelelahan dan stres yang lebih tinggi.
Di Jepang, misalnya, gaya hidup yang berpusat pada pekerjaan, berkontribusi besar pada rendahnya tingkat fertilitas.
Di Amerika Serikat, anak muda di sana sangat berlebihan pada harapan kesuksesan profesional.
Akibatnya, berdampak pada rekor tinggi tingkat depresi dan kecemasan di negara tersebut.
Secara global, jumlah orang yang meninggal karena kerja berlebihan bahkan lebih banyak dibandingkan malaria.
Dalam penelitian Pew Research Center yang mewawancarai orang Amerika, karier sangat menentukan makna hidup seseorang daripada pasangan, iman, dan persahabatan.
Selain itu, terdapat 95% remaja menganggap karier sangat penting bagi hidup dewasa mereka dibandingkan menghasilkan uang dan membantu orang yang membutuhkan.
Tentunya, fenomena ini bisa semakin memburuk karena dunia yang semakin terglobalisasi.
Bisa jadi, kesibukan pekerjaan bisa semakin tidak terbatas.
Stolzoff dalam buku The Good Enough Job menjelaskan bahwa pekerjaan bukanlah panggilan hidup.
Pekerjaan juga bukan keseluruhan hidup kita, tetapi sekadar ‘bagian’ dari kehidupan.
Saat ini, fenomena yang terjadi adalah banyak orang yang menjadi pemuja kerja.
Jika orang beragama mencari makna lewat hidup spiritualnya, pemuja kerja mencari makna hidup dalam pekerjaannya.
Sementara itu, dari sejarahnya, pekerjaan yang awalnya hanyalah tugas, mulai berkembang menjadi status dan pelan-pelan menjadi sarana aktualisasi diri.
Dari yang sekadar bekerja untuk menyelesaikan tugas kantor untuk mencari nafkah, pekerjaan saat ini dilekatkan sebagai identitas dan status.
Ideologi modern saat ini telah memaksa dua pencarian yang berseberangan dan berbeda untuk bersatu: uang dan pemenuhan batin/makna hidup/aktualisasi diri.
Revolusi industri dan percepatan perkembangan teknologi sangat memengaruhi fenomena ini.
Dahulu jam kerja seseorang ditentukan oleh siklus matahari.
Intensitas kerja pun mengikuti siklus musim.
Akan tetapi, tekanan produktivitas tidak memungkinkan praktik-praktik kuno itu diterapkan di zaman ini.
Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium
Bagaimanapun memfokuskan semua energi hanya pada satu titik itu bisa berdampak tidak baik, seperti kata pepatah yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Dalam bisnis pun, Stolzoff mencontohkan investor yang mendapatkan banyak keuntungan dengan mendiversifikasikan investasi.
Itulah alasan mengapa ia mendorong kita pun mendiversifikasikan sumber identitas dan makna diri.
Contohnya bagaimana? Salah satunya adalah dengan tidak memberikan seluruh kehidupan kita direnggut oleh pekerjaan.
Dengan begitu, kita tidak melupakan kehilangan identitas lain seperti peran sebagai pasangan, orangtua, saudara, tetangga, teman, warga negara, dsb.
Dari pergulatan hidupnya sendiri, Stolzoff mencoba keluar dan berani menghadapi dari krisis makna yang nyatanya dia jumpai justru dari kehidupan yang keras dalam bekerja.
Setelah mencoba melakukan riset dan pendalaman terkait fenomena ini, ia tertarik untuk menggunakan konsep ‘cukup baik’ yang dikembangkan oleh seorang psikoanalisis dan dokter anak asal Inggris bernama Donald Woods Winnicott.
Teori ini membahas bagaimana pendekatan orangtua terhadap pengasuhan anak yang terlalu menekankan ‘kesempurnaan’ justru tidak berdampak baik bagi perkembangan anak maupun orangtua itu sendiri.
Winnicott yakin bahwa ‘pendekatan cukup’ lebih positif dibandingkan yang ‘sempurna’.
Teori ini dikembangkan oleh Stolzoff untuk menjawab idealisasi yang dilakukan banyak orang pada tempat mereka bekerja.
Demi mendapatkan makna atau aktualisasi diri dari pekerjaan, seseorang sampai mencari pekerjaan seolah-olah mencari pasangan hidup.
Mereka takut kehilangan status dalam pekerjaan seolah-olah tanpa jabatan atau pekerjaan itu, mereka bukanlah pribadi yang berharga.
Gejala ini sangat berbahaya karena menyuburkan hasrat obsesif seseorang pada pekerjaan.
Bahkan, seseorang bisa sampai pada harapan berlebih pada pekerjaan dan bekerja.
Pemujaan diri pada karier ini akan menuai banyak kekecewaan.
Jika seseorang dalam pekerjaannya, mengalami sedikit saja pengalaman yang ‘kurang sempurna’, ia bisa saja merasakannya sebagai kegagalan.
Stolzoff sampai menegaskan bahwa melekatkan nilai diri dan pekerjaan adalah sebuah permainan yang berbahaya.
Simone Stolzoff dalam The Good Enough Job meyakinkan dan menyajikan berbagai keuntungan yang didapat dari praktik menyeimbangkan pekerjaan profesional, identitas, makna, dan kebahagiaan.
Konsep ‘cukup baik’ yang menjadi gagasan utama dari buku ini menjadi idealisme yang lebih toleran.
Melalui buku ini, Stolzoff mengajak kita semua atau mereka yang terjebak pada fenomena ini untuk berani mendefinisikan ulang hubungan kita dengan pekerjaan tanpa membiarkan pekerjaan mendefinisikan diri kita.
Buku ini bisa menjadi teman dan pemandu kita yang merasa hilang identitas dari kehidupan bekerja yang mencekik hidup dan kebahagiaan kita.
Jangan sampai apa yang diungkapkan oleh psikoterapis Esther Perel menjadi habitus dalam diri kita.
Perel berkomentar, “Ada terlalu banyak orang yang memberikan versi terbaik diri mereka di tempat kerja, tetapi hanya membawa sisa-sisanya pulang ke rumah.”
Menjadi baik itu bukan soal menjadi sempurna di satu sisi, tetapi menjadi cukup di mana dan kapan pun kita mengambil peran dalam hidup.
Dengan begitu, kita berani membongkar mitos-mitos aksioma yang mendorong kita terus-menerus mengorbankan diri hanya untuk bekerja.
Kenyataannya, bekerja hanyalah sebagian dari hidup kita, bukan keseluruhan hidup kita.
Seperti harapan Stolzoff sendiri, semoga buku ini bisa menjadi cermin, bukan sekadar teks biasa.
Cermin yang membantu kita melihat dan meniti ketegangan bekerja dan hidup.
Cermin yang membantu kita mendefinisikan ulang hubungan kita dengan pekerjaan.
Pada akhirnya, kita pun meyakini bahwa ini adalah proses yang berkelanjutan.
Proses belajar yang harus dipraktikkan lewat pilihan-pilihan sederhana setiap waktu, misalnya pilihan untuk lembur di kantor untuk merespons surel, atau melakukan itu semua di hari Minggu.
The Good Enough Job bukan buku yang akan menyelesaikan masalah dengan sekejap.
Juga bukan buku yang dengan sederhana meminta seseorang berhenti dari pekerjaan atau memulai aktivitas kesukaan atau hobi.
Akan tetapi, buku yang akan membangun dan mengembangkan hubungan yang lebih sehat antara kita dan pekerjaan dengan mengubah ekspektasi pada pekerjaan.
Dengan begitu, kita mampu menghindarkan diri dari kekecewaan yang menjadi racun dalam kebahagiaan hidup kita.
Karena kita bisa mengendalikan ekspektasi, kita akhirnya bisa memilih untuk mengutamakan kehidupan daripada pekerjaan.
Dan, sampailah kita pada keyakinan sederhana bahwa kita bukan sekadar apa yang kita kerjakan.
Kamu bernilai lebih daripada status atau pekerjaan yang sering kamu sematkan dalam dirimu.
Cukup! Sekarang, bacalah buku ini dan rebut kembali kehidupanmu, kebahagiaanmu.
Bukankah itu cukup bagimu?
Buku The Good Enough Job dapat dibeli secara online di Gramedia.com.