Sejumlah analis menilai, langkah ini bukan semata strategi pemberantasan narkoba, melainkan bentuk tekanan untuk menggulingkan Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
Menurut laporan BBC, hingga 23 Oktober 2025, terdapat sedikitnya sepuluh kapal perang milik Angkatan Laut AS yang beroperasi di sekitar Karibia.
Beberapa di antaranya adalah kapal perusak rudal berpemandu, kapal serbu amfibi, serta kapal tanker pengisi bahan bakar di laut.
Kapal induk terbesar di dunia, USS Gerald R Ford, juga dikerahkan bersama kapal USS Lake Erie dan MV Ocean Trader, yakni kapal kargo yang dimodifikasi untuk mendukung operasi pasukan khusus dan pengintaian.
Pesawat intai P-8 Poseidon dan helikopter serbu MH-6M “Little Bird” juga terdeteksi berada di perairan dekat Venezuela.
Namun, sejumlah pakar mempertanyakan alasan tersebut mengingat skala operasi yang sangat besar.
“Ini bukan soal narkoba. Ini soal perubahan rezim,” kata Dr Christopher Sabatini, peneliti senior untuk Amerika Latin di Chatham House.
“Mereka mungkin tidak akan menginvasi, tetapi jelas ini sinyal untuk menakut-nakuti militer Venezuela dan lingkaran dalam Maduro agar berbalik melawan dia,” ujarnya.
Sejak pemilu Venezuela tahun 2024 yang dinilai tidak bebas dan curang, Washington secara terbuka menolak mengakui Nicolas Maduro sebagai presiden sah.
Pemerintahan Trump bahkan menawarkan hadiah hingga 50 juta dollar AS (sekitar Rp 830 miliar) bagi siapa pun yang memberikan informasi yang mengarah pada penangkapan Maduro.
Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil.
Hernandez menambahkan, loyalitas terhadap Maduro terbangun bukan hanya karena kekuasaan, melainkan juga rasa bersalah kolektif di antara para pejabatnya.
“Mereka tahu, dengan cara tertentu, mereka juga terlibat dalam kegiatan kriminal. Jadi menyerahkan Maduro berarti menyerahkan diri mereka sendiri,” ucapnya.
Senada dengan itu, Michael Albertus, profesor ilmu politik di Universitas Chicago, menyebut bahwa pemimpin otoriter biasanya menciptakan sistem pengawasan untuk memastikan kesetiaan lingkaran dalamnya.
“Pemimpin otoriter selalu mencurigai orang-orang terdekatnya, dan mereka menciptakan sistem pengawasan untuk memastikan kesetiaan,” katanya.
Ia mengeklaim, salah satu kapal yang dihancurkan pada 16 Oktober berisi fentanil, narkotika sintetis mematikan.
Namun, klaim tersebut diragukan banyak pihak, mengingat fentanil umumnya diproduksi di Meksiko, bukan di Amerika Selatan.
“Trump hanya meminjam bahasa oposisi Venezuela yang menggambarkan pemerintahan Maduro sebagai rezim kriminal,” ujar Dr Sabatini.
Meski sejak 2020 Departemen Kehakiman AS menuduh Maduro memimpin jaringan perdagangan narkoba, data terbaru dari Drug Enforcement Administration (DEA) menunjukkan bahwa 84 persen kokain yang disita di AS berasal dari Kolombia.
Wilayah Karibia yang saat ini menjadi pusat operasi militer AS juga bukan jalur utama penyelundupan narkoba, yang lebih sering melalui Samudra Pasifik.
Satu-satunya kasus mencolok adalah penangkapan dua keponakan istri Maduro pada 2016 karena mencoba menyelundupkan kokain ke AS. Mereka kemudian dibebaskan lewat pertukaran tahanan.
Laporan The New York Times menyebutkan bahwa tujuan akhir operasi itu adalah untuk melengserkan Maduro dari kursi presiden.
“Para pejabat Amerika telah menegaskan secara pribadi bahwa tujuan akhir operasi tersebut adalah menggulingkan Maduro dari kekuasaan,” demikian bunyi laporan tersebut.
Saat ditanya apakah CIA diberi mandat khusus untuk menggulingkan Maduro, Trump menjawab singkat, “Pertanyaan itu konyol.”
Ned Price, mantan pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri AS, mengatakan bahwa operasi rahasia dapat mencakup banyak hal.
“Bisa berupa operasi informasi, sabotase, pendanaan oposisi, hingga penggulingan rezim. Ada banyak opsi dari level rendah hingga tinggi,” ucapnya.
Menurut Dr Sabatini, jika AS ingin menargetkan instalasi yang digunakan militer Venezuela untuk perdagangan narkoba, mereka bisa saja meluncurkan serangan presisi.
“Kalau Trump ingin agresif, ia bisa saja meluncurkan rudal ke barak militer tertentu. Intelijen AS cukup tahu sektor mana di militer yang terlibat dalam perdagangan kokain,” jelasnya.
Meningkatnya kehadiran kekuatan laut dan udara AS di sekitar Venezuela menjadikan Laut Karibia sebagai salah satu titik panas geopolitik baru.
Trump bahkan sempat menyatakan bahwa AS sedang melihat ke darat sekarang, yang dipahami oleh banyak analis sebagai sinyal potensi operasi darat di wilayah Venezuela.
Kendati demikian, sebagian besar pengamat sepakat bahwa tujuan utama AS saat ini adalah menciptakan tekanan politik dan psikologis, bukan meluncurkan invasi militer terbuka.
https://internasional.kompas.com/read/2025/10/28/195225870/mesin-mesin-perang-as-kepung-venezuela-akankah-invasi-terjadi