KOMPAS.com – Gubernur Riau Abdul Wahid bertemu dengan Menteri Keuangan ( Menkeu) Sri Mulyani di Gedung Juanda, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025). Pertemuan ini membahas kondisi fiskal daerah dan sejumlah kendala anggaran yang sedang dihadapi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.
Isu utama yang disampaikan Gubernur Wahid dalam pertemuan itu adalah soal penundaan pembayaran dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat ke daerah.
Berdasarkan data penyaluran dana transfer pusat, terdapat penundaan pembayaran bayar DBH ke Pronvinsi Riau sebesar Rp 284 miliar.
Seharusnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyalurkan dana sebesar Rp 372 miliar kepada Pemprov Riau.
Baca juga: Daftar 22 Pejabat Baru Kementerian Keuangan yang Dilantik Hari Ini
Angka itu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2024 tentang Penetapan Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Tahun 2023. Namun, hingga 2024, dana yang disalurkan ke Pemprov Riau hanya sebesar Rp 87 miliar.
Penerapan mekanisme treasury deposit facility (TDF) dalam penyaluran DBH turut memengaruhi manajemen keuangan daerah. Dampaknya, banyak program pembangunan dan pelayanan publik ikut terkendala.
"Pada pertemuan tadi, kami sudah sampaikan kondisi keuangan daerah dan ruang-ruang fiskal yang terbatas. Termasuk soal tunda bayar yang nilainya Rp 284 miliar," ujar Abdul Wahid dalam siaran pers, Kamis (5/6/25).
Ia menyebut, Menkeu memberikan respons positif dan berjanji akan segera mencarikan solusi melalui rapat internal.
Menurut Abdul Wahid, salah satu penyebab terjadinya penun pembayaran DBH adalah menurunnya produksi minyak dan gas bumi (migas) di Riau yang cukup signifikan.
“Produksi kita yang biasanya 400.000 barel per hari, sekarang tinggal 140.000 sampai 160.000,” ungkapnya.
Ia juga menyebut ketidaksesuaian harga minyak mentah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga memengaruhi terjadinya tunda bayar.
Dalam APBN, harga minyak mentah atau Indonesian Crude Price (ICP) ditetapkan 80 dollar Amerika Serikat (AS) per barel. Namun, realisasinya hanya di kisaran 60 hingga 65 dollar AS.
Baca juga: Harga Minyak Mentah Turun, Tertekan OPEC+ hingga Unggahan Trump
Abdul Wahid juga mengusulkan kepada pemerintah pusat agar alokasi DBH dan pajak disesuaikan dengan volume produksi aktual daerah. Hal ini terutama berlaku untuk sektor unggulan seperti migas dan kelapa sawit.
“Kami menyumbang Rp 1,12 triliun produk domestik regional bruto (PDRB), tetapi tidak sebanding dengan penerimaan pajak yang kami dapatkan,” ujarnya.
Atas dasar itu, lanjut dia, Pemprov Riau mengusulkan sistem take on product, di mana pajak dan DBH dihitung berdasarkan hasil produksi aktual daerah.
Abdul Wahid juga menyoroti tekanan fiskal di sektor kelapa sawit yang mulai menunjukkan tren penurunan.
Baca juga: Begini Strategi Pemerintah Kelola Kelapa Sawit Dalam Negeri
Oleh sebab itu, ia meminta perhatian khusus dari pemerintah pusat untuk mencegah dampak lebih lanjut terhadap pendapatan daerah.
Dalam pertemuannya dengan Menkeu, Abdul Wahid didampingi oleh Asisten II Sekretariat Daerah Provinsi (Setdaprov) Riau M Job Kurniawan, Pelaksana Tugas Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Riau Purnama Irwansyah, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Riau Indra, dan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Evarefita.