KOMPAS.com - Tren flexing kerap terjadi di media sosial. Orang-orang yang flexing tersebut tak segan memamerkan dirinya duduk di Kelas Bisnis di pesawat, punya barang branded, punya harta melimpah, dan liburan ke luar negeri.
Tak hanya soal gaya hidup, flexing juga bisa dalam bentuk menunjukkan pencapaian karier atau pendidikan.
Baca juga:
Meski sering dianggap sebagai ekspresi kebanggaan, ternyata perilaku ini punya kaitan erat dengan kebutuhan psikologis dan sosial seseorang.
Psikolog dan sosiolog menilai, flexing bukan hanya soal pamer, melainkan juga tanda bahwa seseorang membutuhkan validasi atau pengakuan dari orang lain.
Psikolog Klinis Maria Fionna Callista menjelaskan, flexing bisa ditinjau dari sisi kebutuhan psikologis manusia. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki kebutuhan dasar, dari kebutuhan primer hingga kebutuhan emosional.
“Kalau dari sisi psikologis, flexing itu biasanya bisa dijelaskan terkait dengan kebutuhan manusia,” jelas Fionna saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (3/9/2025).
Ia menyebut, kebutuhan manusia tidak hanya sebatas sandang, pangan, dan papan, tapi juga kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, kasih sayang, dan pengakuan dari lingkungan sosialnya.
Perilaku flexing ini termasuk dalam kebutuhan manusia akan pengakuan dari lingkungan sekitar.
“Kemudian ada juga pemengahan emosionalnya, needs (kebutuhan) untuk affection (afeksi), security (keamanan), termasuk juga kebutuhan untuk recognition atau diakui dan dihargai,” jelasnya.
Fionna menambahkan, media sosial menjadi sarana yang memberikan feedback (umpan balik) cepat bagi orang yang melakukan flexing.
Hal inilah yang membuat perilaku ini semakin sering dilakukan banyak orang akhir-akhir ini.
“Ketika melakukan flexing di sosial media, biasanya kita juga mendapatkan instant feedback, berupa likes atau misalnya komentar pujian dan lain sebagainya,” ujarnya.
Menurutnya, bentuk pujian atau perhatian tersebut bisa membuat seseorang merasa dihargai dan diakui.
Inilah yang membuat flexing sering dianggap sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis terkait pengakuan sosial.
“Perilaku ini salah satu bentuk dari recognition atau pengakuan yang kita dapatkan dari hasil flexing,” tambahnya.
Baca juga:
Sementara itu, dari sisi sosiologis, tren flexing kerap muncul di kalangan masyarakat kelas menengah. Hal ini disampaikan oleh Nia Elvina, sosiolog dari Universitas Nasional (Unas).
“Saya kira fenomena flexing ini berkembang di kalangan masyarakat kelas menengah,” kata Nia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/9/2025).
Seperti yang disampaikan oleh Fionna, Nia setuju bahwa salah satu tujuan utama orang melakukan flexing adalah untuk mendapatkan validasi dari anggota masyarakat lain.
“Tujuan dari anggota masyarakat yang melakukan tindakan ini adalah ingin divalidasi oleh anggota masyarakat lain,” jelas Nia.