JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah pengunjung Car Free Day di Bundaran HI, Menteng, Jakarta Pusat asyik bergoyang diiringi lagu oleh Orkes Melayu Gerobak Dorong, Minggu (2/11/2025) pagi.
Mereka berjoget sambil bernyanyi, mengikuti lagu-lagu Melayu yang dibawakan oleh musisi dari Institut Musik Jalanan (IMJ).
Lagu-lagu berbahasa daerah seperti "Ojo Dibandingke" hingga lagu dangdut seperti "Terajana" dinyanyikan bersama dengan iringan musik yang membakar semangat di pagi hari.
Mereka menjadikan ruang trotoar di depan Pos Polisi di area Bundaran HI sebagai panggung mereka untuk mengekspresikan karyanya.
Para pengunjung yang baru saja selesai berolahraga bergabung dan bernyanyi bersama untuk menghilangkan penat.
Warga yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa, hingga lansia terlihat menikmati alunan musik dangdut yang juga membuat mereka berkeringat saat berjoget.
Sebagian juga sibuk mengangkat ponselnya untuk mengabadikan momen meriah tersebut.
Para musisi Orkes Melayu Gerobak Dorong itu ternyata merupakan bekas pengamen yang belajar menjadi musisi jalanan di Institut Musik Jalanan.
Founder sekaligus "Rektor" Institut Musik Jalanan (IMJ), Andi Malewa, menjelaskan bahwa penampilan dangdut dorong di CFD hari itu memang kegiatan rutin sebagai aktivasi seniman musisi jalanan.
Menurutnya, musisi jalanan tradisional seperti orkes Melayu kini sudah tersingkir dari jantung kota Jakarta akibat munculnya peraturan daerah (Perda) yang melarang aktivitas mengamen.
"Mereka ini umumnya main di pinggiran, main di pinggiran Jakarta. Kenapa? Karena ada maraknya larangan Perda mengamen ya. Apalagi untuk musik yang dianggap sound-nya itu mengganggu," ujar Andi saat ditemui Kompas.com di lokasi, Minggu.
Mengenang Tradisi Dangdut Dorong
Andi menyebut, pemilihan Orkes Melayu Gerobak Dorong di gelaran CFD merupakan pengingat bagi masyarakat bahwa Jakarta pernah memiliki tradisi musik dangdut dorong.
"Dulu itu pernah ada, dangdut dorong itu lengkap tuh, ada pemain sulingnya, pemain gendangnya, dan lain-lain," kata Andi.
Namun, tradisi itu kini terdegradasi akibat larangan mengamen yang membuat musisi jalanan terpinggirkan.
Bagi musisi jalanan yang tak lagi bisa mencari uang di pusat kota, pendapatan mereka menurun drastis saat berpindah ke area pinggiran sehingga tak dapat memenuhi kebutuhan hidup.
"Akhirnya mereka mengurangi personel. Semua alat musik itu diganti satu alat namanya keyboard. Mereka tadinya bisa ramai-ramai, jadi cuma berdua, sama vokalis yang biasanya sambil ngecrek," ungkapnya.
Kondisi ini, menurut Andi, yang kemudian menggerus tradisi dangdut dorong yang sebenarnya melestarikan budaya musik nasional.
Selain itu, dia juga menilai polemik larangan mengamen tersebut juga justru melahirkan masalah sosial baru.
"Sadar enggak sadar, hal ini kemudian menginspirasi para pengemis-pengemis yang dia cuman pakai speaker kecil, dan dia mintain orang, enggak nyanyi. Jadi ada degradasi spirit berkesenian," sambungnya.
Maka dari itu, kata Andi, IMJ mencoba menggerakkan musisi jalanan untuk melestarikan tradisi musik-musik jalanan yang ada di Indonesia, khususnya Jakarta.
"IMJ ngingetin itu. Bahwa street musician itu, musik dangdut gerobak dorong itu adalah salah satu pelestari musik Melayu paling militan di muka bumi," tuturnya.
Naungan Musisi Jalanan
Andi menyampaikan bahwa pada dasarnya, IMJ mencoba menghadirkan konsep musik jalanan yang lebih segar agar bisa diterima oleh masyarakat.
Penyegaran itu termasuk dalam segi penampilan, tata suara, maupun konsep pertunjukan yang mampu merangkul audiens.
"Konsep yang mau kita bangun di CFD ini, panggung bukan hanya milik untuk performer, tapi mengajak masyarakat juga untuk bisa ikutan, lebih guyub lagi," tuturnya.
Dia melanjutkan, IMJ berperan sebagai lembaga tata kelola yang melakukan kurasi untuk mengembangkan potensi musisi jalanan yang memiliki niat untuk berkarya.
"Jadi ada perbedaan ya, musisi jalanan yang punya kualitas, mau berkarya, dengan peman yang berkedok pengamen. Mereka ini dikurasi IMJ dan dikeluarkan rekomendasinya oleh Kementerian Kebudayaan," kata dia.
Dia juga menyampaikan bahwa IMJ berkolaborasi dengan Pemprov DKI Jakarta dan kepolisian sebagai cara memperkuat jaringan para musisi.
Kolaborasi inilah yang memungkinkan para musisi jalanan dapat mengakses ruang-ruang publik berskala besar yang sebelumnya sulit dijangkau.
"Salah satunya, kita bisa mengakses area-area yang sulit untuk diakses sebenarnya. Tapi hari ini bisa dilihat bahwa kami bisa mengamen di sini (Bundaran HI) ya karena kerja sama kami," katanya.
Berkat tata kelola tersebut, musisi binaan IMJ kini bisa tampil secara terjadwal di berbagai sarana publik, termasuk tempat komuter seperti stasiun KRL dan stasiun MRT Jakarta.
Terbaru, IMJ juga bekerja sama dengan InJourney dan membuka ruang bagi para musisi jalanan untuk bisa tampil di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
"Boleh dibilang tata kelola musik jalanan kita ya sudah boleh mirip lah ya dengan Asia Tenggara yang lain," ucap Andi.
Dari Jalanan Menjadi Profesional
Andi membenarkan bahwa seluruh musisi yang tampil di bawah naungan IMJ adalah mantan pengamen jalanan yang mendaftar saat IMJ membuka kurasi tahunan.
Setelah lolos, mereka juga dibekali berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai penampil.
"Kita di IMJ itu ada berbagai kelas ya, termasuk misalnya public speaking, bagaimana kamu menjadi performer, bagaimana kamu bisa nge-grab massa," jelasnya.
Hasilnya, para musisi ini kini memiliki jadwal tampil yang jelas sebagai cara untuk mencari nafkah yang berkelanjutan.
"Sekarang mereka setiap hari ada jadwal untuk ngamen. Hari Senin di mana, hari Selasa di mana. Jadi punya penjadwalan, tidak liar lagi," kata Andi.
Musisi Jalanan Harus Naik Kelas
Meski sudah berkolaborasi dengan pemerintah dan kepolisian, Andi mengakui pergesekan musisi jalanan dengan aparat saat di lapangan masih cukup keras.
Bahkan, momen-momen penampilan musisi jalanan IMJ, termasuk saat di Car Free Day, kerap dipotong secara sepihak oleh aparat di lokasi.
"Nah, contoh kecil ya. Kita bisa diselak pada saat tengah manggung. Jadi ada gap knowledge saat berusaha untuk naik kelas, sementara banyak orang yang tidak bisa mengerti hal-hal sederhana, termasuk petugas," ucapnya.
Ia mengaku bahwa dirinya juga tidak setuju dengan konsep mengamen di lampu merah atau angkutan umum karena dapat membuat publik tidak nyaman.
Namun, dia juga berharap ada perubahan cara pandang dan penindakan dari para petugas di lapangan agar lebih humanis.
Alasannya, menurut Andi, para musisi jalanan sejatinya adalah korban kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya.
"Harusnya banyak petugas itu yang diberitahu untuk lebih humanis lagi. Karena mereka ini kan korban kegagalan negara. Kalau negara ini tidak seperti ini, sorry ya, mereka enggak mungkin ada di jalanan," ujarnya.
Andi pun mengungkapkan cita-citanya agar musisi jalanan Indonesia bisa seperti di Singapura atau Australia, yang difasilitasi di area pedestrian atau destinasi wisata.
Dia juga berharap para musisi jalanan dapat terus beradaptasi dengan teknologi dan media digital agar bisa terus berkembang dan menjadi musisi yang benar-benar memiliki karya.
"Sudah saatnya sih, kita tunjukin kalau musisi jalanan Indonesia itu emang harus naik kelas," pungkasnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2025/11/02/12335671/saat-orkes-melayu-gerobak-dorong-goyang-cfd-bundaran-hi