Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ternyata Ini 6 Penyebab Gen Z dan Milenial Sulit Menabung Menurut Pakar

JAKARTA, KOMPAS.com - Kondisi ekonomi seperti inflasi, melonjaknya utang, hingga upah yang stagnan membuat banyak orang sulit menabung selama beberapa tahun terakhir.

Namun demikian, faktor lain yang menjadi penyebab sulit menabung bukan karena faktor eksternal, melainkan karena tidak dapat keluar dari kebiasaan dan terjerumus dalam kebiasaan belanja yang buruk.

Dikutip dari Nasdaq, Senin (8/9/2025), studi terbaru yang dilakukan GOBankingRates yang melibatkan lebih dari 1.000 orang menemukan bahwa anak muda, dan bahkan dewasa muda, tetap belanja hingga mencapai kondisi ketidakpastian keuangan.

Berikut beberapa penyebab gen Z dan milenial sulit menabung menurut sejumlah pakar.

1. Belanja impulsif

Ketika ditanya tentang hambatan terbesar dalam menabung, sekitar 13 persen responden studi tersebut mengatakan mereka baik-baik saja dan tidak menemui kendala berarti.

Di antara 87 persen responden yang mengaku sulit menabung, tantangan terbesar sejauh ini adalah penghasilan yang tidak mencukupi. Hampir 4 dari 10 orang mengatakan mereka tidak menghasilkan cukup uang untuk menabung.

Kendala terbesar berikutnya adalah tagihan yang selangit, yang menghalangi 22 persen responden mencapai target tabungan mereka.

Dari sana, angka tersebut turun setengahnya menjadi sekitar 11 persen yang terhambat utang atau belanja impulsif, dan 4 persen yang jauh lebih kecil yang menderita kurangnya pendidikan keuangan.

Namun, ketika dirinci berdasarkan usia, pergeseran demografis yang jelas terlihat.

Di semua kelompok usia, pendapatan yang tidak mencukupi dan tagihan yang tinggi tetap berada di posisi pertama dan kedua.

Namun, lebih dari 20 persen responden berusia 18 hingga 24 tahun dan hampir 15 persen responden berusia 25 hingga 34 tahun menyebutkan kecenderungan mereka untuk berbelanja impulsif sebagai hambatan terbesar dalam menabung.

Anak muda bukanlah ahli dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan berbasis konsekuensi, tetapi sains dapat membantu menjelaskan alasannya.

Penelitian menunjukkan bahwa anak muda lebih cenderung bertindak impulsif karena mereka tidak dapat mengakses bagian otak yang mengendalikan penilaian dan pengambilan keputusan, yakni korteks frontal dan prefrontal, secepat orang dewasa.

Area-area tersebut belum sepenuhnya berkembang hingga usia 25 tahun, yang berarti hampir semua Gen Z setidaknya sebagian terprogram untuk membeli tanpa berpikir, tepat ketika mereka baru pertama kali merasakan kebebasan finansial.

2. Budaya konsumen modern

Generasi muda sedang bergulat dengan otak mereka yang masih berkembang, yang merupakan salah satu alasan mengapa mereka cenderung berbelanja secara sembrono selama ada uang tetapi ada lebih banyak hal di baliknya daripada sekadar aspek biologis.

“Berbelanja impulsif selalu menjadi tantangan bagi kaum muda, yang mungkin baru pertama kali menikmati daya beli,” kata Brittany Pederson, direktur simpanan dan pembayaran di Georgia’s Own Credit Union.

Namun, Gen Z dan khususnya generasi milenial muda menghadapi tantangan pemasaran yang sangat cerdas, influencer media sosial, dan iklan, ditambah dengan kemudahan teknologi pembayaran yang luar biasa.


Ketika sebuah produk yang tampaknya cocok untuk Anda muncul di linimasa dan dapat dibeli dalam hitungan detik, bahkan mungkin tiba keesokan harinya, dibutuhkan disiplin yang tinggi untuk terus menggulir halaman.

3. Kampanye iklan terbanyak menyasar konsumen usia 18-34 tahun

Rentang usia tersebut merupakan demografi yang paling didambakan oleh para pengiklan dan telah demikian selama beberapa dekade.

Para pemasar menargetkan mereka yang berusia 18 hingga 34 tahun karena mereka merupakan kelompok populasi terbesar, paling terbuka untuk mencoba merek dan produk baru, memiliki pendapatan yang paling banyak dibelanjakan, serta mulai membangun loyalitas merek seumur hidup.

Hal ini telah terjadi sepanjang era periklanan modern, tetapi generasi muda saat ini hampir tidak memiliki kelonggaran dari godaan untuk membeli.

4. Paparan informasi di internet

Para pemasar menyasar demografi usia 18 sampai 34 tahun di era analog jauh sebelum iklan mereka mengikuti orang ke mana pun mereka pergi melalui ponsel pintar.

Namun, intensitas, frekuensi, dan personalisasi iklan-iklan tersebut tidak sebanding dengan kampanye pemasaran papan reklame, majalah, dan TV di masa lalu. Generasi yang berusia 18 hingga 34 tahun saat ini belum pernah mengenal hal lain.

“Gen Z dan milenial muda seperti kita tumbuh di era internet, di mana iklan dan peluang belanja hanya berjarak satu klik,” kata Akeiva Ellis, CFP dan kontributor ahli di Annuity.org.

“Dari iklan Facebook hingga TikTok Shop, Anda bahkan tak bisa menelusuri media sosial tanpa melihat sesuatu yang menggoda untuk dibeli, bukan? Sangat mudah terjebak dalam perangkap belanja impulsif ketika kita dikelilingi oleh kemudahan dan kepuasan instan belanja online," jelas dia.

Menurut Ellis, konsep menunda kepuasan, yang mendorong perencanaan jangka panjang yang bijaksana, tampaknya memudar seiring dengan hidup yang makin cepat.

“Budaya hasil instan ini dapat membuat belanja impulsif semakin menggoda. Bukan berarti anak muda lebih rentan terhadap budaya konsumtif. Hanya saja dunia saat ini menyajikan godaan belanja lebih cepat daripada sebelumnya," tuturnya.

5. E-commerce: persimpangan godaan dan aksesibilitas

Iklan digital modern yang dirancang khusus yang mengikuti Anda dari e-mail, linimasa, feeds, maupun FYP, cukup sulit untuk ditolak jika Anda harus berkendara ke toko untuk membeli apa pun yang mereka jual.

Namun, ketika Anda dapat membeli dengan sekali klik dan memperpanjang pembayaran dengan paylater, kesulitan semakin kecil.

“Sebagai seorang milenial muda, saya rasa belanja online kemungkinan memperburuk belanja impulsif bagi generasi muda,” terang Bethany Hickey, pakar keuangan pribadi di Finder.

"Jika saya menginginkan sesuatu, saya hanya butuh waktu kurang dari lima menit untuk menemukannya secara daring dan membelinya. Saya rasa ini bukan karena saya ceroboh atau menjadi korban konsumerisme, melainkan lebih karena kenyamanan dan kecepatan berbelanja daring," imbuhnya.

6. Media sosial picu godaan untuk membeli

Blake Mischley, pendiri jejaring sosial kampus MeetYourClass, adalah seorang Gen Z yang membangun bisnisnya berdasarkan pengetahuannya tentang bagaimana media sosial memengaruhi keputusan keuangan di antara teman-temannya.

Ia melihat hubungan langsung antara waktu yang dihabiskan secara daring, kesehatan mental, dan pola belanja.

"Generasi muda saat ini, khususnya Gen Z, dibombardir dengan iklan-iklan yang dirancang khusus di platform sosial, yang menciptakan dorongan yang semakin kuat untuk berbelanja," kata Mischley.

Tingginya tingkat isolasi sosial, dengan hampir 73 persen Gen Z mengalaminya, dapat mengakibatkan mereka mencari pelampiasan sementara melalui pembelian impulsif.

Meskipun setiap generasi memiliki kebiasaan belanja yang berbeda-beda, kombinasi antara iklan digital yang tertarget dan tantangan kesehatan mental yang dihadapi kaum muda saat ini justru memperkuat daya tarik mereka terhadap konsumerisme.

Kendalikan diri, belanja sesuai tujuan

Kaum muda memiliki uang, kredit, tanpa pengawasan orang tua, masalah pengendalian impuls, dan perhatian penuh dari industri periklanan.

Meskipun sulit, hanya mereka yang dapat menetapkan batasan dan mengalihkan uang dari platform belanja online ke rekening tabungan mereka.

“Terapkan masa tunggu (sebelum memutuskan untuk belanja,” saran Kendall Meade, perencana keuangan bersertifikat di SoFi.

“Masa tunggu ini bisa 24 jam untuk pembelian yang lebih kecil atau hingga satu bulan untuk pembelian yang lebih besar. Ini memungkinkan Anda untuk mempertimbangkan pembelian tersebut dan memastikan Anda benar-benar menginginkan atau membutuhkannya. Sementara itu, Anda juga dapat melihat apakah ada penawaran yang lebih baik di luar sana," imbuh Meade.

Meade juga menyarankan untuk menyingkirkan godaan digital yang selalu ada sebisa mungkin.

Terakhir, pertimbangkan berbelanja dengan uang tunai. Jangan belanja pakai kartu kredit apalagi paylater untuk menekan perilaku belanja impulsif.


"Studi menunjukkan bahwa Anda cenderung menghabiskan lebih sedikit jika menggunakan uang tunai dibandingkan kartu kredit karena lebih sulit untuk menyerahkan uang tunai daripada menggesek kartu," kata Meade.

https://money.kompas.com/read/2025/09/08/120000426/ternyata-ini-6-penyebab-gen-z-dan-milenial-sulit-menabung-menurut-pakar

Bagikan artikel ini melalui
Oke