JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menekankan perlunya deregulasi aturan di industri hasil tembakau (IHT) guna menciptakan keadilan dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Hal ini sejalan dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto terkait semangat Indonesia incorporated. Harapan Presiden bahwa pemerintah dan pelaku bisnis harus berjalan seiringan untuk mencapai tujuan yang sama di bawah satu komando presiden.
Ketua Umum Gappri, Henry Najoan, menyatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 500 regulasi fiskal dan nonfiskal yang membebani IHT, menghambat pertumbuhan industri, dan berdampak negatif terhadap penerimaan cukai negara.
Baca juga: Industri Tembakau Dihantui Dampak Penyeragaman Kemasan Rokok
Henry mengungkapkan bahwa regulasi yang terlalu ketat telah menyebabkan penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tidak mencapai target.
Pada tahun 2024, realisasi penerimaan CHT hanya mencapai Rp 216,9 triliun atau 94,1% dari target Rp 230,4 triliun.
"Selain itu, produksi rokok legal terus menurun akibat tekanan regulasi yang berat dan persaingan dengan rokok illegal," ujarnya dalam keterangannya, Kamis (10/4/2025).
Untuk mengatasi persoalan ini, Gappri mengusulkan empat langkah deregulasi kepada pemerintah.
Baca juga: Dampak Rencana Penyeragaman Kemasan bagi Petani Tembakau
Pertama, pemerintah diminta tidak menerbitkan kebijakan baru yang semakin memberatkan IHT. Kebijakan yang lebih fleksibel diperlukan agar industri dapat bertahan dan pulih dari tekanan bisnis serta persaingan dengan rokok ilegal.
Kedua, Gappri mendorong moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) selama 2025-2027. Hal ini bertujuan memberi kesempatan bagi industri untuk menyesuaikan diri dan meningkatkan daya saingnya.