JAKARTA, KOMPAS.com – Ombudsman RI mengungkap adanya kejanggalan dalam ketersediaan beras di pasar. Meskipun data resmi pemerintah menunjukkan surplus beras nasional mencapai 3,6 juta ton pada pertengahan 2025, harga di lapangan tetap tinggi dan pasokan di sejumlah pasar bahkan kosong.
Temuan ini disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, usai melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke berbagai titik rantai pasok, mulai dari petani, penggilingan padi, hingga pedagang.
“Secara matematis, Indonesia surplus 3,6 juta ton beras, tapi kenyataannya di pasar justru langka dan mahal,” kata Yeka dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025).
Baca juga: Takutnya Pedagang Pasar Cipinang, Pilih Tutup Toko Usai Ramai Beras Oplosan
Di lapangan, Ombudsman menemukan harga beras termurah berada di kisaran Rp 12.000 per kilogram. Namun, kualitasnya rendah, berwarna kekuningan, dan biasanya hanya digunakan untuk usaha kuliner seperti nasi goreng.
Untuk beras konsumsi rumah tangga, harganya jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Yeka mencatat harga beras premium di pasar tradisional mencapai Rp 16.500 per kilogram, sementara HET yang ditetapkan pemerintah adalah Rp 14.900 per kilogram.
“Di pasar tradisional, masyarakat ketemu harga beras di atas HET. Di pasar modern, justru ketemu harga HET. Jadi, sebenarnya kebijakan HET ini menguntungkan siapa?” ujarnya.
Baca juga: Ombudsman Tak Setuju Pelaku Beras Oplosan Langsung Diproses Hukum, Kenapa?
Pantauan Ombudsman di Pasar Johar, Karawang, menunjukkan aktivitas perdagangan beras berkurang drastis. Pasar yang biasanya ramai hingga siang, kini mulai sepi sejak pukul 10 pagi.
Di pasar ritel modern, situasinya tak kalah mengkhawatirkan. Rak beras di sejumlah gerai ditemukan kosong dan diganti dengan produk lain seperti air minum kemasan.
Padahal, data pemerintah menunjukkan Perum Bulog memegang stok 2,7 juta ton beras, sementara sisanya sekitar 900.000 ton tersebar di lebih dari 100.000 penggilingan dan pelaku usaha lain.
Namun stok tersebut terpecah ke unit-unit kecil sehingga sulit memenuhi kebutuhan ritel secara merata.
Baca juga: Sejumlah Toko di Pasar Induk Cipinang Tutup, Pedagang Ketakutan Usai Ramai Isu Beras Oplosan
Di tingkat penggilingan, Yeka menemukan banyak yang berhenti beroperasi. Di satu kecamatan, dari 23 penggilingan, 10 tutup. Yang masih beroperasi pun hanya menyimpan 5–10 persen stok normal.
“Biasanya mereka punya stok 100 ton, sekarang rata-rata 5 ton. Ada yang dari 30.000 ton tinggal 2.000 ton,” ungkap Yeka.
Penyebabnya antara lain persaingan usaha, ketidakpastian pasar, dan kebijakan yang berlaku.
Ombudsman menemukan harga di pasar tradisional lebih mahal karena adanya kompensasi kerugian.
Ketika penjual atau distributor menjual beras di supermarket sesuai HET atau lebih rendah, mereka menutupi kerugian itu dengan menaikkan harga di pasar tradisional.