MENJELANG HUT ke-80 Republik Indonesia, langit di sejumlah daerah tidak hanya dihiasi Merah Putih, tetapi juga bendera hitam bergambar tengkorak bertopi jerami—Jolly Roger dari serial One Piece.
Bagi sebagian anak muda, ini hanyalah luapan kreativitas, cara unik merayakan kemerdekaan, atau sekadar ikut tren budaya pop.
Namun, bagi sebagian penguasa, simbol itu dibaca sebagai tanda bahaya—”radikalisme” terselubung, pelecehan simbol negara, bahkan makar.
Respons pemerintah pun beragam: mulai dari seruan pelarangan, ancaman pidana, hingga razia dan penyitaan.
Aparat bergerak cepat menurunkan bendera fiksi. Namun, publik mencatat—mengapa reaksi seperti ini terasa jauh lebih sigap dibanding penanganan korupsi, kekerasan aparat, atau pelanggaran HAM lainnya?
Fenomena Jolly Roger seketika menjadi cermin: seberapa besar negara percaya pada rakyatnya, dan seberapa lapang ruang ekspresi yang kita miliki di usia delapan dekade kemerdekaan.
Hak kebebasan berekspresi sejatinya dijamin Konstitusi dan diakui dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diaksesi Indonesia.
Baca juga: Bendera dan Kekuasaan yang Takut
Hak ini tidak sekadar berlaku untuk pendapat yang disukai mayoritas atau sejalan dengan narasi resmi, tetapi juga untuk ekspresi yang mengejutkan, mengganggu, bahkan tidak populer.
Ketika bendera fiksi diperlakukan seolah senjata politik, maka harus dikritisi, apakah bangsa Indonesia benar-benar sudah merdeka dalam berpikir dan berbicara, atau hanya bebas selama tetap dalam batas yang didefinisikan penguasa?
Larangan pengibaran Jolly Roger kerap dibenarkan dengan merujuk UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara.
Namun, jika membaca langsung Pasal 24 UU a quo, fokus larangan itu sebenarnya jelas: melarang tindakan yang secara nyata merendahkan kehormatan Merah Putih.
Misalnya, merusak, membakar, menginjak, memakainya untuk iklan komersial, mengibarkannya dalam kondisi rusak atau kusut, memodifikasinya, atau menjadikannya penutup barang.
Tidak ada satu pun frasa yang secara eksplisit melarang pengibaran bendera lain—apalagi bendera fiksi—di ruang publik.
Pengecualian hanya berlaku jika pengibaran itu dilakukan dengan maksud menodai atau menghina kehormatan Bendera Negara.
Di sinilah masalahnya: tafsir yang terlalu “dangkal” alias longgar dapat membuat hukum bergerak di luar naskah aslinya.
Ketika pemerintah memperluas interpretasi hukum tanpa dasar eksplisit dan justru “ugal-ugalan”, risiko penyalahgunaan kekuasaan menjadi nyata. Hukum yang mestinya melindungi simbol negara bisa berubah menjadi alat untuk membungkam ekspresi yang sah.
Dalam hak asasi manusia, Indonesia terikat pada Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diaksesi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Pasal ini menjamin kebebasan berekspresi, termasuk penggunaan simbol dan karya kreatif, bahkan jika ekspresi itu menimbulkan rasa tidak nyaman atau tidak populer di mata sebagian orang.