"Nonviolent campaigns facilitate the active participation of many more people than violent campaigns, thereby broadening the base of resistance." — Erica Chenoweth (2011).
GUBAHAN Chenoweth relevan. Hari ini, 29 Agustus 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merayakan ulang tahunnya.
Namun, alih-alih disambut dengan gegap gempita sebagai perayaan daulat rakyat, publik justru berkabung.
Sehari sebelumnya, Jakarta bergetar oleh tragedi: seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas terlindas mobil rantis Brimob, di tengah massa pengunjuk rasa di Pejompongan, Jakarta.
Rekaman amatir tragedi itu pun merangsek cepat, menembus kanal-kanal media sosial, lalu membuka luka baru pada demokrasi yang tengah dirayakan sekaligus terus diuji.
Ironi pecah di ruang publik. Manakala lembaga yang mengklaim diri sebagai representasi rakyat merayakan hari lahirnya, rakyat justru menangisi nyawa yang melayang karena negara gagal mengelola protes secara bermartabat.
Demokrasi, yang mestinya dilindungi, justru tersungkur di jalanan ibu kota.
Dalam teori demokrasi, hak untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum bukan sekadar aksesori. UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat (Pasal 1 ayat 2). Tak ayal, hak konstitusional itu merupakan denyut dari demokrasi yang sehat.
Baca juga: Demokrasi yang Terlindas di Jalanan
Tak heran jika David Held (2006) menyatakan, demokrasi hanya akan hidup bila rakyat dapat berpartisipasi secara bebas dan tanpa rasa takut. Dengan kata lain, unjuk rasa bukan ancaman negara, melainkan wujud nyata demokrasi yang bergeliat.
Sayangnya, tragedi 28 Agustus 2025, menunjukkan wajah lain: demokrasi dilindas oleh besi dan mesin. Negara bak kehilangan empati.
Bahkan lebih dari itu, mencederai mandat konstitusionalnya guna melindungi segenap bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Gene Sharp, sejarawan gerakan non-kekerasan, pernah menekankan bahwa kekuatan rakyat sejati lahir bukan dari kekerasan, melainkan dari moralitas kolektif untuk menolak pertumpahan darah. Justru di situlah legitimasi politik dibangun.
Maka ketika aparat negara justru menindas suara rakyat, tragedi demikian tidak sekadar “kecelakaan” teknis. Ia adalah luka demokrasi yang menggugat legitimasi moral penyelenggara negara.
Karena itu, dalam perspektif Charles Tilly (2004), demokrasi merupakan “hubungan timbal balik” antara negara dan rakyat yang diwarnai oleh ruang partisipasi. Ketika ruang itu dikoyak dengan kekerasan, maka demokrasi telah tercerabut dari makna substantifnya.
Membungkam suara rakyat dengan baja dan mesin bukan hanya pelanggaran etis, melainkan langkah berbahaya. Sejarah dunia mencatat, bahkan demokrasi mapan pun bisa runtuh ketika kritik dibalas represi.