Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Iqbal Nurmansyah
Dosen

Dosen kebijakan kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mahasiswa doktoral, the University Queensland, Australia.

Keracunan Berulang: Reformasi Makan Bergizi Gratis

Kompas.com - 07/09/2025, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) mendapatkan porsi terbesar anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026.

Tidak main-main, besaran program MBG mencapai Rp 335 triliun yang akan dialokasikan untuk 82,9 juta penerima manfaat melalui 30.000 Satuan pelayanan Pemenuhan Gizi.

Tentu banyak harapan yang ditaruh terhadap program tersebut terutama untuk memperbaiki gizi dan kesehatan anak-anak Indonesia.

Namun, alih-alih buah manfaat yang diterima dari program MBG, justru berita kurang mengenakkan seperti keracunan yang datang dari program tersebut.

Sebanyak 4.000 siswa dilaporkan menjadi korban keracunan MBG dalam delapan bulan terakhir, menurut data dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Baca juga: 4.000 Siswa Keracunan, Mendikdasmen: Tidak Berarti MBG Dihentikan

Kejadian tersebut membuat frustasi pemerintah. Beberapa pemerintah daerah telah menghentikan sementara program tersebut.

Keresehan juga dirasakan oleh orangtua murid serta masyarakat secara umum yang menjadi korban serta uang pajaknya digunakan untuk menjalankan program tersebut.

Jika ditelisik lebih seksama, faktanya, kita akan menemukan bahwa di bidang kesehatan saja, beberapa program kesehatan yang sudah dijalankan tidak terlaksana dengan baik.

Sebut saja program imunisasi, di daerah malah belum terbentuk kekebalan kelompok (herd immunity) dan berimbas terjadinya kejadian luar biasa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

Kondisi tersebut menjadi penanda bahwa terbitnya kebijakan dan program tidak serta merta menyelesaikan masalah.

Implementasi program tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terdapat tugas penting selanjutnya untuk dapat memastikan bahwa program, kebijakan atau intervensi dapat diadopsi dan dijalankan di dunia nyata.

Kondisi tersebut dapat terwujud, yakni dengan mengetahui cara melakukan sesuatu atau dalam deliverology disebut know-how.

Deliverology diperkenalkan Sir Michael Barber, yang pernah menjabat sebagai Ketua UK Prime Minister’s Delivery Unit (PMDU).

Dalam bukunya “101 deliverology” dan “how to run government so that citizens benefit and taxpayers don't go crazy”, sederhananya, ia menekankan pentingnya know-how atau mengetahui alat dan metode untuk melaksanakan kebijakan dalam praktik sehari-sehari sehingga dapat diadopsi dengan efektif dan berkelanjutan.

Deliverology menekankan beberapa prinsip untuk mencapai tata kelola program pemerintah yang baik.

Terlalu sederhana jika program MBG ini hanya berkait dengan anggaran, ketentuan sederhana dan penyiapan satuan pelayanan pemenuhan gizi. Tentu kita perlu mempertimbangkan rangkaian suplai serta kondisi penerima (beneficiaries).

Baca juga: Tragedi Keracunan MBG Berulang: Saatnya Dapur Kembali ke Sekolah

 

Beberapa poin penting dalam ilmu deliverology dapat menjadi resep jitu bagaimana perbaikan tata kelola MBG.

Pertama, membangun fondasi delivery. Perlu dibentuk unit yang bertanggung jawab di daerah guna memastikan performa MBG.

Selama ini pemerintah daerah seolah diabaikan dalam program tersebut. Patut disayangkan mereka baru bertanggung jawab saat terjadi keracunan atau kejadian yang tidak diinginkan.

Padahal, pemerintah daerah yang mengetahui kondisi wilayahnya serta memiliki peran sentral untuk memastikan berbagai program pemerintah pusat berjalan dengan baik.

Di sini, pemerintah daerah dapat membentuk konsorsium untuk memastikan program MBG berjalan dengan baik, yakni membangun mitra dengan berbagai stakeholder termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dan akademisi.

Kedua, memahami faktor terkait pelaksanaan MBG. Di sini, unit yang sudah terbentuk dapat menyerap aspirasi dari berbagai pihak untuk menggali faktor penghambat dan pelaksanaan program MBG.

Ketiga, membuat rencana. Program yang baik perlu didukung sumber daya yang mumpuni. Namun, keterbasan sumber daya bukan menjadi penghalang utama untuk menghentikan sebuah program.

Jika memang anggaran program MBG terlalu besar, maka pemerintah dapat memprioritaskan program pada wilayah, sasaran dan jenis makanan tertentu sehingga program dapat lebih tepat guna dan tepat sasaran dan dilaksanakan dalam koridor efisiensi, sesuai semangat pemerintah saat ini.

Unit juga dapat membangun strategi jitu untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas rantai suplai serta penerimaan makanan oleh siswa.

Dalam hal ini, pemerintah pusat rasanya cukup membuat pedoman serta target secara umum dan biarkan aktor lokal berinovasi untuk meningkatkan performa program MBG.

Kehadiran MBG diharapkan dapat menjadi jembatan antara inovasi-inovasi pangan berbasis kearifan lokal di daerah.

Baca juga: Desentralisasi MBG untuk Minimalkan Keracunan Pangan

Keempat, mendorong pelaksanaan MBG. Buatlah rangkaian mekanisme pengumpulan data secara berkali berbagai indikator proses dan dampak pelaksanaan MBG.

Tentu indikator keberhasilan MBG, tidak langsung harus dilihat dari peningkatan performa akademik siswa.

Butuh waktu dan konsistensi untuk dapat mencapai indikator keberhasilan program gizi dan kesehatan, apalagi yang bersifat promotif dan bukan kuratif (penyembuhan).

Naif rasanya jika program MBG langsung dianggap berhasil meningkatkan prestasi akademik siswa. Unit daerah dapat mengontrol berbagai indikator yang perlu dibentuk mulai dari indikator implementasi, seperti ketaatan prosedur, luaran primer; berkait dengan status gizi siswa dan luaran sekunder; seperti peningkatan performa akademik.

Pada akhirnya, sebagai peneliti dan penggerak kesehatan masyarakat, program makan bergizi gratis ini patut disyukuri. Program tersebut tidak hanya menjadi komoditas politik saat masa kampanye, tapi direalisasikan, bahkan menjadi prioritas.

Tentu sudah banyak riset yang menyebutkan bahwa program tersebut memberi dampak yang baik bagi peserta didik. Namun, tentu tujuan yang mulia tersebut perlu dibarengi dengan usaha yang baik pula.

Pemerintah perlu mengkaji ulang pelaksanaan dan pedoman MBG dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip kunci deliverology.

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau