Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Faried Almaas
ASN

Seorang ASN di lingkungan Mahkamah Agung RI yang bertugas di Pengadilan Agama Dumai. Lulusan Ilmu Hukum Universitas Riau ini aktif menulis isu-isu hukum, pelayanan publik, serta pengembangan teknologi informasi di sektor peradilan.

Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim

Kompas.com - 07/09/2025, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ADA rasa getir ketika mendengar kabar seorang mantan menteri muda, yang dulu dielu-elukan sebagai wajah baru pendidikan Indonesia, kini harus berhadapan dengan jerat hukum.

Nadiem Makarim, sosok yang identik dengan kata inovasi dan modernisasi birokrasi, justru disebut merugikan negara hingga hampir Rp 2 triliun lewat proyek pengadaan Chromebook.

Sebagian orang bertanya-tanya, apakah ini benar-benar korupsi, ataukah hanya kebijakan yang keliru? Apakah niat membangun ekosistem digital pendidikan bisa begitu saja berubah menjadi jerat pidana?

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul, sebab dalam praktik hukum, membedakan antara kebijakan yang salah arah dengan tindakan korupsi memang kerap tipis batasnya.

Namun, hukum memiliki rambu yang jelas. Dalam UU Tipikor (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), seseorang dapat dijerat bila terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta merugikan keuangan negara.

Maka ketika pengadaan laptop ini dituding penuh mark up harga, tidak sesuai spesifikasi, bahkan menyalahi aturan tata kelola pengadaan barang dan jasa, maka pertanyaan utama bukan lagi soal niat, melainkan soal dampak: apakah negara benar-benar dirugikan dan siapa yang diuntungkan?

Mimpi digitalisasi berubah jadi luka

Saya masih ingat, ketika pandemi Covid-19 datang, dunia pendidikan mendadak gagap. Sekolah tutup, guru dan murid dipaksa akrab dengan layar.

Maka program digitalisasi sekolah terasa masuk akal. Chromebook dipilih, karena ringan, murah, berbasis cloud.

Baca juga: Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi

Namun, anggaran yang digelontorkan negara begitu besar, yaitu hampir Rp 10 triliun. Angka yang mestinya menjadi investasi masa depan, kini justru tercatat sebagai kerugian negara. Bagaimana bisa?

Kejaksaan menemukan harga yang jauh di atas wajar, ditambah software tak relevan yang menguras ratusan miliar rupiah.

Di sinilah kata mark-up bergema, istilah yang di Indonesia nyaris selalu sinonim dengan korupsi. Bukan lagi sekadar selisih angka, tetapi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.

Hukum sebenarnya memberi pagar yang jelas. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, siapapun yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan akibatnya merugikan keuangan negara, dapat dijatuhi hukuman pidana.

Maka, pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab bukan hanya berapa besar kerugian, melainkan siapa yang menikmati keuntungan dari transaksi yang cacat ini.

Di titik ini, mimpi digitalisasi berubah jadi luka. Bayangkan, jika laptop yang seharusnya membantu anak-anak di daerah, malah tersimpan di gudang karena rusak atau tak sesuai kebutuhan.

Anggaran yang seharusnya jadi jembatan menuju masa depan, justru terkubur dalam laporan kerugian negara.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau