Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Faried Almaas
ASN

Seorang ASN di lingkungan Mahkamah Agung RI yang bertugas di Pengadilan Agama Dumai. Lulusan Ilmu Hukum Universitas Riau ini aktif menulis isu-isu hukum, pelayanan publik, serta pengembangan teknologi informasi di sektor peradilan.

Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim

Kompas.com - 07/09/2025, 06:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ironisnya, program yang awalnya dikampanyekan sebagai wajah baru pendidikan digital, kini identik dengan praktik lama yang sudah terlalu sering kita dengar, yaitu korupsi.

Kita kembali diingatkan bahwa niat baik sekalipun, bila dijalankan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan integritas, bisa bermuara pada kehancuran kepercayaan publik.

Batas tipis kebijakan gagal dan korupsi kebijakan

Dalam hukum, korupsi bukan sekadar “uang negara habis,” tapi ada unsur yang lebih jelas dan tegas, yakni perbuatan melawan hukum, kerugian negara, keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.

Tiga hal ini adalah “roh” yang membedakan apakah suatu tindakan bisa disebut tindak pidana korupsi atau sekadar kegagalan kebijakan.

Artinya, kebijakan yang salah arah belum tentu korupsi. Bisa saja itu hanya policy failure, yaitu niat baik yang tak sampai pada hasil.

Baca juga: Jatuhnya Sang Visioner dan Masa Depan SDM Emas

Banyak contoh dalam sejarah birokrasi, di mana program dengan visi mulia akhirnya tidak efektif karena lemahnya perencanaan, keterbatasan sumber daya, atau miskomunikasi antara pusat dan daerah. Itu gagal, iya, tapi bukan korupsi.

Namun, hukum memandang berbeda ketika kebijakan disusun bukan untuk kepentingan publik, melainkan mengunci pasar, mengarahkan keuntungan, atau bahkan memperkaya kelompok tertentu.

Jika spesifikasi teknis dibuat sedemikian rupa agar hanya cocok dengan vendor tertentu, jika harga didongkrak jauh di atas nilai pasar, dan jika kemudian ada pihak, baik individu maupun korporasi yang menikmati hasilnya, maka di situlah policy corruption lahir.

Inilah yang kini dituduhkan pada Nadiem. Kasus yang membuat publik bertanya-tanya, apakah ia murni korban salah kelola, ataukah benar-benar arsitek kebijakan yang secara sistematis membuka ruang bagi keuntungan segelintir pihak?

Perbedaan ini penting, sebab menyangkut keadilan. Menyebut policy failure sebagai korupsi bisa membuat pejabat takut berinovasi. Namun, membiarkan policy corruption lolos dari jerat hukum justru merusak sendi-sendi negara hukum.

Di sinilah kita ditantang untuk jujur, apakah kegagalan ini lahir dari niat baik yang tak terwujud, atau dari rekayasa kebijakan yang sejak awal memang diarahkan untuk “menyetir” keuntungan ke pihak tertentu?

Secara teknis, seorang menteri tidak pernah menandatangani kontrak pengadaan per laptop. Itu adalah domain pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia lelang, dan pejabat pelaksana teknis kegiatan.

Namun, sebagai pucuk pimpinan, menteri tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri. Ia bertanggung jawab atas arah kebijakan, atas filosofi yang melatari program, dan atas integritas sistem yang ia bangun.

Pertanyaan pun menggantung, apakah Nadiem sadar ada mark-up dalam pengadaan ini? Apakah ia menutup mata ketika spesifikasi produk didesain sedemikian rupa sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk?

Ataukah ia murni mendorong inovasi digitalisasi pendidikan, lalu kelemahan sistem pengadaan yang rapuh dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang oportunis?

Baca juga: Beda Nadiem dengan Noel: Kisah Pasal Penggaruk Pejabat

Halaman:


Terkini Lainnya
Yusril Pastikan Kompol Cosmas dan Bripka Rohmat Pelindas Ojol Akan Dipidana
Yusril Pastikan Kompol Cosmas dan Bripka Rohmat Pelindas Ojol Akan Dipidana
Nasional
Prabowo: Aksi Pembakaran Ancam Nyawa, Aparat Harus Proporsional
Prabowo: Aksi Pembakaran Ancam Nyawa, Aparat Harus Proporsional
Nasional
Mendagri: Ada 228 Demo Periode 25 Agustus-7 September 2025
Mendagri: Ada 228 Demo Periode 25 Agustus-7 September 2025
Nasional
Pemerintah Bantah Reshuffle Kabinet untuk Hapus 'Orang Jokowi'
Pemerintah Bantah Reshuffle Kabinet untuk Hapus "Orang Jokowi"
Nasional
Ketua Komisi II Tanggapi Yusril soal Artis Kalahkan Orang Berbakat di Pemilu
Ketua Komisi II Tanggapi Yusril soal Artis Kalahkan Orang Berbakat di Pemilu
Nasional
Gantikan Budi Arie, Menkop Ferry Dorong UU Sistem Perkoperasian Nasional
Gantikan Budi Arie, Menkop Ferry Dorong UU Sistem Perkoperasian Nasional
Nasional
Klaim Hotman Paris: Tak Ada Mark-up, Unsur Korupsi Kasus Chromebook Gugur
Klaim Hotman Paris: Tak Ada Mark-up, Unsur Korupsi Kasus Chromebook Gugur
Nasional
Usai Reshuffle, Kader Gerindra Ramai-ramai Merapat ke Rumah Prabowo di Kertanegara
Usai Reshuffle, Kader Gerindra Ramai-ramai Merapat ke Rumah Prabowo di Kertanegara
Nasional
Bahlil Usulkan Puteri Komarudin Gantikan Dito Ariotedjo di Kursi Menpora
Bahlil Usulkan Puteri Komarudin Gantikan Dito Ariotedjo di Kursi Menpora
Nasional
Jadi Wamen Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Punya Harta Rp 27,8 Miliar
Jadi Wamen Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Punya Harta Rp 27,8 Miliar
Nasional
Menkeu Deg-degan Diminta Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Berat Banget
Menkeu Deg-degan Diminta Capai Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Berat Banget
Nasional
IHSG Terkoreksi, Menkeu Purbaya: Saya 15 Tahun Lebih di Pasar, Tahu Perbaiki Ekonomi
IHSG Terkoreksi, Menkeu Purbaya: Saya 15 Tahun Lebih di Pasar, Tahu Perbaiki Ekonomi
Nasional
Prabowo Reshuffle 5 Menteri, PAN: Masyarakat Ingin Ada Perubahan
Prabowo Reshuffle 5 Menteri, PAN: Masyarakat Ingin Ada Perubahan
Nasional
Kemhan Tepis Darurat Militer: Tak Betul TNI Ingin Ambil Alih Peran Polisi
Kemhan Tepis Darurat Militer: Tak Betul TNI Ingin Ambil Alih Peran Polisi
Nasional
Jadi Menteri Koperasi, Ferry Juliantono Punya Harta Rp 52 Miliar
Jadi Menteri Koperasi, Ferry Juliantono Punya Harta Rp 52 Miliar
Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau