Hukum pidana korupsi tidak hanya bicara soal tindakan langsung, tapi juga soal penyalahgunaan wewenang dan pembiaran.
Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara, dapat dipidana.
Artinya, bahkan kelalaian yang disengaja, membiarkan sistem dikeruk oleh kepentingan, dapat dilihat sebagai bentuk kesalahan.
Inilah yang kini diuji. Apakah kasus Chromebook adalah tragedi seorang inovator, yakni seorang menteri muda yang terperangkap dalam jaring birokrasi korup yang sudah mengakar?
Ataukah ini justru potret nyata dari penyalahgunaan wewenang, di mana idealisme hanya menjadi bungkus retorika, sementara praktiknya tetap melanggengkan pola lama, yaitu proyek besar, vendor tertentu, dan rakyat yang menanggung rugi?
Kini, panggung berpindah. Dari ruang diskusi publik yang penuh spekulasi, ke ruang pengadilan yang dingin dan formal.
Di sana, bukti berbicara, bukan sekadar persepsi. Dan jawaban akhirnya akan menentukan bukan hanya nasib seorang menteri, tetapi juga arah kepercayaan publik pada reformasi birokrasi, apakah benar kita sedang melahirkan pemimpin baru, atau hanya mengganti wajah lama dengan wajah yang lebih muda.
Kasus ini menyisakan luka kolektif. Betapa mahal harga dari kebijakan yang tergelincir. Pendidikan yang mestinya menjadi jalan menuju masa depan bangsa, justru tercoreng oleh praktik lama, yaitu mark-up, kolusi, dan kepentingan tersembunyi.
Luka itu bukan hanya soal angka triliunan rupiah yang lenyap, melainkan juga tentang hilangnya kepercayaan publik.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, lalu bertanya dengan jujur: Bagaimana seharusnya inovasi dibangun tanpa kehilangan akuntabilitas?
Sebab inovasi tanpa integritas hanyalah mimpi kosong. Betapapun briliannya gagasan, jika tidak ditopang dengan sistem yang transparan dan pengawasan kuat, ia mudah berubah menjadi jebakan.
Bagaimana caranya kebijakan tidak hanya brilian di atas kertas, tapi juga bersih di lapangan? Di sinilah pentingnya check and balance. Peraturan bukanlah musuh inovasi, melainkan pagar agar ide besar tidak tergelincir menjadi penyalahgunaan.
Baca juga: Nadiem Terjerembap
Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang Nadiem, bukan pula hanya tentang Chromebook. Ini tentang wajah birokrasi kita, tentang tipisnya garis pemisah antara mimpi dan manipulasi.
Tentang betapa mudahnya jargon perubahan tereduksi menjadi proyek yang menumbuhkan kecurigaan.
Dan lebih dari itu, ini tentang kita semua, rakyat yang menaruh harapan, tetapi juga sering lengah untuk mengawasi.
Bukankah keadilan sejati lahir bukan hanya dari hakim di pengadilan, melainkan juga dari kesadaran kolektif bahwa amanah publik adalah sesuatu yang suci, yang tidak boleh dipermainkan?
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini