Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Nadiem Terjerembap

Kompas.com - 06/09/2025, 09:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT Nadiem Makarim diamanahi Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), saya menulis esai dengan judul “Nadiem, Sabarlah…” (Jawa Pos, Radar Banyuwangi, 28 Oktober 2019).

Saat itu, di media banyak komentar nyinyir terhadap pengangkatan Nadiem.

Maklum, usia Nadiem saat itu baru 35 tahun. Dipandang terlalu muda untuk memangku jabatan tersebut.

Meski namanya sudah sangat terkenal sebagai bos GoJek, Nadiem tak punya pengalaman mengelola dunia pendidikan.

Namun, saya berusaha membaca sisi kekuatan Nadiem. Saat itu, saya teringat diskusi dengan Pak Tua yang duduk sebangku di Probowangi, kereta api lokal Jember – Banyuwangi yang menjadi langganan saya.

Pak Tua membantah nyinyiran sebagian publik. Kata Pak Tua, “Nadiem itu usianya kan sudah 35 tahun. Sudah cukup siap untuk mengurus pendidikan.”

Baca juga: Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi

Saya mengerutkan dahi. Bukankah menteri lain usianya rata-rata 50 tahun ke atas. Apalagi Nadiem akan mengurus soal pendidikan. Bukan hanya mencetak orang pintar dan terampil, tapi juga berkarakter.

Pak Tua tetap bersemangat meyakinkan saya. “Bayangkan, Mas,” lanjut Pak Tua, “Dibanding anak-anak muda yang merumuskan Sumpah Pemuda, yang amat sangat hebat itu, mereka rata-rata baru belasan dan dua puluhan tahun.”

Agak aneh komparasinya. Namun, menarik sekali.

Sumpah Pemuda adalah ide, jiwa, tekat, dan tindakan untuk masa depan. Karya dan milik anak-anak muda. Karena itu, anak-anak mudalah yang paling punya hak bicara. Merekalah pemilik masa depan.

Lalu, apa hak saya waktu itu meragukan Nadiem? Karena usia? Karena Nadiem bukan orang yang sehari-hari menggeluti pendidikan?

Bukankah jabatan menteri di Kemendikbud selama ini selalu diisi orang-orang perguruan tinggi yang usianya bisa dibilang tua?

Salahkah bila ada mimpi lain? Misal, agar antisipasi dunia pendidikan lebih cepat lagi terhadap dunia baru, yang diprediksi penuh disrupsi.

Saat itu, terkait dunia baru itu, kita baru tahap bingung. Baru belajar mengenali dunia yang diperkirakan penuh disrupsi, penuh perubahan mendasar.

Itu pun baru sebagian kecil. Selebihnya tenang-tenang saja, belum menyadarinya. Meski sehari-hari ke kantor naik GoJek. Meski suka belanja di Tokopedia. Meski putra-putrinya pelanggan Ruangguru. Dan, saya kira, percepatan antisipasi pada tataran aksi ada pada Nadiem.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau