Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Polri Ambil Alih Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar, Singgung Halim Kalla "High Profile"

Kompas.com - 06/10/2025, 16:57 WIB
Adhyasta Dirgantara,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kakortastipidkor) Irjen Cahyono Wibowo mengungkapkan alasan mengapa Mabes Polri mengambil alih kasus dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (Kalbar) dari Polda Kalbar.

Cahyono mengatakan, penyidik Polda Kalbar terlalu lama dalam melakukan penyelidikan.

Kasus ini sudah mulai diusut oleh Polda Kalbar sejak 2021.

Namun, pada Mei 2024, Mabes Polri mengambil alih kasusnya.

Baca juga: Halim Kalla dan Eks Dirut PLN Diduga Korupsi Proyek PLTU, Kerugian Capai Rp 1,3 Triliun

"Kenapa kasus ini kita take over? Artinya perkara ini memang cukup pernah dilakukan penyelidikan yang cukup lama oleh penyelidik Polda Kalbar. Kemudian, dalam kesempatan tersebut kami juga terima dumas (pengaduan masyarakat). Nah, dumas ini terkait masalah perkara yang ditangani oleh Polda Kalbar," ujar Cahyono, dalam jumpa pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

Cahyono menyampaikan, pihaknya pun mengajak Polda Kalbar untuk berdiskusi dan menggelar perkara.

Dari gelar perkara itu, Cahyono mengakui bahwa perkara korupsi PLTU 1 Kalbar ini cukup kompleks dan rumit.

Baca juga: Pengembalian Uang Terkait Kasus Kuota Haji Hampir Rp 100 Miliar, KPK Belum Tetapkan Tersangka

"Sehingga tidak mungkin ini ditangani oleh Polda Kalbar dengan anggaran yang terbatas. Dan kemudian juga dengan kemampuan yang terbatas, dan ini sempat stuck di sana," ujar dia.

Meski mengambil alih kasusnya, Polri tetap melibatkan penyelidik dari Polda Kalbar saat melakukan penyelidikan.

Pada November 2024, polisi menaikkan kasus korupsi ini ke tahap penyidikan.

Sementara itu, Cahyono menyinggung bahwa para tersangka dalam kasus ini memang high profile.

Baca juga: Pengusaha Halim Kalla dan Eks Dirut PLN Jadi Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar

Selain itu, kata dia, perusahaan luar negeri dari Singapura dan Rusia juga terlibat.

"Tadi kan melihat bahwa ini ada kita pandang sebagai high profile. High profile itu bisa dilihat dari calon tersangka, kerugian keuangan, kemudian juga dari case-nya itu sendiri, yang begitu rumit. Dan juga melibatkan para pihak yang dari pihak luar negeri ini ada Alton Singapura dan OJSC dari Rusia," kata Cahyono.

"Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa sudah lebih baiknya ini kita ambil alih saja di sini," sambung dia.

Dalam kasus ini, empat tersangka ialah Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT Bakti Resa Nusa (BRN) sekaligus adik Jusuf Kalla (JK), mantan Dirut PLN Fahmi Mochtar (FM), RR, dan HYL.

Keempatnya disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.

Meski begitu, polisi belum melakukan penahanan terhadap Halim Kalla dan kawan-kawan.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau