
KEBERADAAN hakim perempuan dalam sistem peradilan Indonesia sejatinya bukan sekadar soal representasi, tetapi menyangkut kualitas keadilan itu sendiri.
Hingga 2024, jumlah hakim perempuan baru mencapai sekitar 29 persen dari total hakim di seluruh Indonesia (Mahkamah Agung, 2024).
Meskipun angka ini menunjukkan kemajuan, ketimpangan masih terasa, terutama di tingkat pimpinan dan Mahkamah Agung.
Padahal, keberagaman dalam tubuh peradilan sangat penting untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan dengan perspektif yang lebih empatik, manusiawi, dan sejalan dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Hakim perempuan membawa cara pandang yang lebih sensitif terhadap dimensi sosial dan psikologis dalam kasus-kasus tertentu, seperti kekerasan terhadap perempuan, perceraian, atau hak anak.
Pendekatan ini memperkaya praktik keadilan substantif—yakni keadilan yang tidak hanya mematuhi teks hukum, tetapi juga mempertimbangkan konteks kemanusiaan di baliknya.
Namun, di tengah dominasi budaya patriarki, mereka kerap menghadapi hambatan struktural seperti beban ganda antara pekerjaan dan keluarga, serta bias institusional yang masih memandang kepemimpinan sebagai domain laki-laki.
Untuk itu, pemberdayaan hakim perempuan harus menjadi agenda serius reformasi peradilan. Negara dan lembaga kehakiman perlu mendorong kebijakan afirmatif, memperluas akses kepemimpinan, dan membangun lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil.
Peningkatan jumlah bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk membangun sistem hukum yang benar-benar mewakili seluruh warga negara.
Baca juga: RUU Jabatan Hakim: Antara Imunitas dan Impunitas
Karena pada akhirnya, keadilan tidak akan pernah utuh jika separuh pengalaman manusia—yakni pengalaman perempuan—tidak turut mewarnai cara kita menegakkan hukum.
Dalam teori hukum progresif, hukum sejatinya dipandang bukan sekadar sistem norma yang kaku, tetapi juga sebagai instrumen sosial yang harus peka terhadap konteks dan pengalaman manusia (Nonet & Selznick, 1978).
Pandangan ini menegaskan bahwa keadilan tidak pernah netral dari nilai dan relasi kekuasaan.
Di sinilah pentingnya kehadiran hakim perempuan—mereka membawa lived experience dan perspektif yang selama ini diabaikan oleh struktur hukum yang cenderung maskulin dan hierarkis.
Melalui cara pandang berbeda ini, hakim perempuan mampu menafsirkan hukum dengan mempertimbangkan realitas sosial dan ketimpangan gender yang masih mengakar di masyarakat.
Konsep ethics of care ala Carol Gilligan (1982) memberikan landasan moral bagi pentingnya perspektif perempuan dalam peradilan.