
MUNGKIN sudah saatnya bangsa ini berhenti berpura-pura malu terhadap masa lalunya. Sudah terlalu lama kita menolak kenyataan bahwa nilai-nilai yang paling kita junjung tinggi bukanlah kejujuran, keadilan, atau keberanian, melainkan kepatuhan, kelupaan, dan kemampuan luar biasa untuk menyesuaikan diri dengan kekuasaan.
Dalam hal ini, Soeharto bukan sekadar mantan presiden, ia adalah simbol paling murni dari kepribadian bangsa Indonesia.
Maka jika gelar Pahlawan Nasional dimaksudkan untuk menghormati mereka yang paling berhasil mencerminkan jiwa bangsa, Soeharto layak mendapatkannya.
Bangsa ini sering disebut berbudaya pemaaf. Kita memaafkan tanpa perlu ada pengakuan, apalagi pertanggungjawaban.
Kita tidak suka mengungkit luka lama, karena itu hanya akan mengganggu kenyamanan hidup bersama. Kita lebih suka melupakan, lalu menyebutnya rekonsiliasi.
Dalam kerangka itu, Soeharto adalah teladan yang patut dicontoh. Ia menunjukkan bagaimana dosa-dosa politik dan kemanusiaan dapat dilupakan dengan capaian pembangunan, dan bagaimana kekuasaan yang lama bisa dibingkai sebagai pengabdian tanpa cela.
Dengan segala tragedi dan korupsinya, Soeharto tetap dihormati, difoto dengan senyum lembut, dan dikenang sebagai “Bapak Pembangunan.” Tak ada bentuk pengampunan yang lebih indah daripada itu.
Selama tiga puluh dua tahun, Soeharto memimpin dengan tangan besi, tetapi hati bangsa ini menerimanya dengan lembut.
Baca juga: Mensos Klaim Usulan Nama Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Sudah Dibahas Berulang Kali
Ia menyingkirkan lawan-lawan politik, membungkam media, dan menjadikan ketakutan sebagai fondasi stabilitas nasional.
Namun, siapa yang bisa menyangkal bahwa kita, jauh di dalam diri, justru menyukai ketertiban semacam itu?
Kita merasa aman ketika tidak perlu berpikir terlalu banyak. Kita lega ketika negara mengambil alih hak kita untuk bersuara. Dalam diam, kita menikmati kenyamanan dari kekuasaan yang memutuskan segalanya.
Maka ketika Orde Baru berkuasa, kita tidak kehilangan kebebasan; kita hanya menyerahkannya dengan sukarela demi ketenangan batin.
Itulah mengapa Soeharto layak disebut pahlawan, karena ia memberi bangsa ini apa yang paling diinginkannya: ketertiban yang menenangkan, walau harus dibayar dengan kebisuan.
Soeharto juga pantas disebut pahlawan karena keberhasilannya dalam mendefinisikan ulang makna keadilan sosial.
Di bawah pemerintahannya, kesetaraan tidak diukur dari kesempatan, melainkan dari kemampuan untuk menerima nasib.
Ia menciptakan sistem ekonomi yang efisien—efisien dalam menyalurkan kekayaan nasional kepada segelintir orang yang setia padanya.
Dengan kecerdikan luar biasa, Soeharto membangun kerajaan ekonomi berbasis kekeluargaan, di mana cinta dan loyalitas menjadi mata uang utama.
Anak-anaknya menjadi pengusaha sukses, kroninya menjadi konglomerat, dan rakyatnya menjadi penonton yang baik.
Tidak semua pemimpin memiliki visi untuk menciptakan ekonomi yang begitu stabil—stabil di tangan mereka yang sudah makmur sejak awal.