JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan, siap “beradu argumen” demi menjelaskan pentingnya kebijakan pencampuran etanol pada bahan bakar minyak (BBM).
Pernyataan itu disampaikan Bahlil saat menghadiri Pembukaan Tanwir Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (UMM) XXXIII “Energi Kolektif untuk Negeri”, pada Kamis (30/10/2025).
Bahlil meminta kader IMM bijak bermedia sosial dan memahami bahwa pihak yang menyebut pentingnya blending etanol pada BBM sebagai hoaks adalah mereka yang berkepentingan.
“Yang mengatakan hoaks ini (manfaat etanol) adalah orang-orang yang tidak ingin kuota impornya dipangkas untuk menuju kedaulatan negara,” kata Bahlil, sebagaimana dikutip dari YouTube Universitas Muhammadiyah Malang.
Baca juga: Kala Tukang Bakso Sambut Prabowo di Korsel, Speechless Dipercaya Mewakili TKI
Bahlil menyatakan dirinya siap beradu argumen untuk memperjuangkan gagasan kebijakan blending etanol.
Sebagai mantan aktivis, kata Bahlil, dirinya tidak akan pernah mundur dari perdebatan intelektual yang membangun.
"Saya bisa bertarung, Bapak Ibu semua, saya sengaja membawa ini ke ruang publik sebagai ruang diskursus,” tutur Bahlil.
Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku mendapat perintah dari Prabowo untuk menekan ketergantungan impor BBM.
Ia menyebut, mulanya Indonesia mengimpor 34 juta ton solar per tahun untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri.
Baca juga: Prabowo Disambut Lee Jae-myung Saat Hadiri APEC di Korsel, Ucap Annyeonghaseyo
Namun, setelah melakukan blending atau pencampuran solar dengan biodiesel 10 persen (B10) hingga 40 persen (B40), impor solar semakin berkurang menjadi 4,9 juta barrel per tahun.
“Di 2025 kita dorong menjadi B50. B50 ini adalah campuran dari CPO ke etanol,” kata Bahlil.
Selain solar, pemerintah juga mewacanakan blending etanol pada bensin guna menurunkan emisi.
Kebijakan ini telah diberlakukan di berbagai negara, seperti di Amerika Serikat dengan E20 (etanol 20 persen dari nabati).
Sementara itu, Brasil menerapkan solar B30, India B10, dan Thailand B10.
Menurut Bahlil, kebijakan negara-negara di dunia itu menunjukkan bahwa gagasan blending etanol dengan BBM merupakan gagasan para ilmuwan minyak dunia, bukan hanya dari Indonesia.
Baca juga: Respons Bahlil soal Kasus Motor Brebet di Jatim Usai Isi Pertalite
Namun, kebijakan itu dipandang negatif oleh para importir karena tidak menguntungkan mereka.
“Kalau kita campur ini dengan etanol, maka kuota impor bensin yang selama ini diambil alih oleh importir perlahan-lahan kita kurangi, maka ruang pekerjaan mereka berkurang dan mereka tidak ingin agar Indonesia mengurangi impor dan kita impor, impor, dan impor terus,” ucap Bahlil.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang