'Konflik berulang membuat masyarakat Aceh trauma' – Mengapa Indonesia harus belajar dari penyelesaian damai konflik Aceh?
- Penulis, Heyder Affan
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia melaporkan dari Aceh

Sumber gambar, SOPHIA ANANDA / AFP
Konflik bersenjata nyaris tanpa henti di Aceh telah mewariskan pengalaman traumatis dari generasi terdahulu hingga generasi berikutnya. Masalah pelik ini akan tetap menghantui selama pemerintah tidak serius memulihkan trauma para korban konflik dan masyarakat.
Usianya belum genap 12 tahun ketika Rajuli melihat ayahnya tergeletak mati di sudut jalan desa.
Ayahnya dihabisi tentara Indonesia karena dituduh simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sambil berlinang air mata, Rajuli untuk pertama kalinya mencurahkan peristiwa traumatik itu setelah dia pendam selama 22 tahun.
"Sebetulnya tak sanggup mengungkit masalah itu," kata Rajuli kepada saya dan videografer Dwiki Marta, Kamis, 24 Juli 2025.
"Tapi bagaimana, kalau tidak kita suarakan ini, mungkin kayak gini diam selalu [memendam trauma]."

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Dwiki Marta
Khalidi, sang ayah, adalah satu dari 16 orang warga Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, yang dibunuh tentara Indonesia pada Sabtu pagi, 17 Mei 2003.
Dari 16 orang yang dibunuh, 12 orang diantaranya kemudian dibakar hidup-hidup.
Tragedi ini sudah diakui oleh negara sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Dua tahun lalu, Presiden (saat itu) Joko Widodo mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12 kasus di masa lalu—termasuk tragedi di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan.
Di Aceh, ada dua peristiwa kekerasan lainnya yang juga diakui sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara, pada 3 Mei 1999, dan Peristiwa Rumah Geudong dan pos sattis lainnya (1989-1998).
Korban dan keluarganya dijanjikan akan direhabilitasi dan dipulihkan nama baiknya dengan berbagai program, walau tidak menutup upaya hukumnya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Rajuli sudah menerima sebagian kompensasi dari pemerintah, misalnya bangunan rumah dan bantuan usaha.
Hanya saja 22 tahun setelah tragedi itu, dia sama-sekali tidak pernah mendapatkan semacam pendampingan psikologi untuk mengatasi dampak trauma yang dialaminya.
Kehilangan orang tercinta karena pembunuhan merupakan peristiwa traumatik yang pasti sulit dihapus dari kenangan.
Rajuli pun mengalaminya.
"Setiap mendengar keributan, saya teringat lagi kejadian itu," katanya.
Demikian pula saat melihat atau berpapasan dengan orang-orang berseragam loreng (TNI), membuatnya gemetaran.
"Seakan-akan [peristiwa kematian ayahnya] baru terjadi kemarin."
Di momen-momen seperti itulah, muncul semacam "perasaan dendam" terhadap siapa pelaku pembunuhan bapaknya.
"Sebenarnya amarah itu selalu membara di tubuh saya," ujarnya.
Lalu terlontar dari mulutnya bahwa "nyawa dibayar nyawa". Hal itu tidak bisa dibeli dengan uang, katanya berulang-ulang.
Rajuli lantas bercerita, tidak lama setelah peristiwa itu, di hadapan ibunya dia sesumbar akan bergabung dengan GAM untuk melampiaskan dendamnya.
Tentu saja Rajuli tak melakukannya. Ibunya berulangkali meyakinkannya bahwa ajaran agama melarang memelihara tabiat dendam.

Sumber gambar, CHOO YOUN-KONG/AFP via Getty Images
Kini dia masih berharap mendapat bantuan terapi psikologi untuk menyembuhkan traumanya.
Lantas apa yang bisa dilakukan dirinya saat ingatan itu sulit dienyahkan?
"Kebahagiaan saat bersama istri dan anak," ungkapnya, seraya tersenyum kecil.
Kesehariannya sebagai petani juga membuat pikirannya tidak tersedot kejadian 22 tahun silam itu.
Apa yang dialami Rajuli ini juga dirasakan keluarga penyintas lainnya.
Di sudut Desa Jambo Keupok yang sepi dan tenang itu, kami bertemu Yulida (46 tahun).

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Kami diajak ke bagian belakang rumah orang tuanya. Di ruangan itulah tragedi itu bermula. Yulida lalu menunjuk jendela dan pintu di sampingnya.
"Waktu kami masih tidur, datang aparat [TNI] itu. Naik jendela dan lewat pintu itu," ungkapnya. Sebagian lagi masuk melalui pintu depan.
Seingatnya ada 10 tentara mendobrak dan merangsek masuk ke dalam rumahnya.
Adiknya yang bernama Saili dan ayahnya, Abdul Adat, diseret keluar dan dihajar.
"Suami ibu GAM ya?" Yulida masih ingat hardikan satu orang tentara. Suaminya memang tidak ada di rumah saat kejadian.

Sumber gambar, RAKHA/AFP via Getty Images
Bersama belasan pria lain warga desa itu, ayah dan adiknya dikumpulkan di satu sudut. Mereka kemudian disiksa di hadapan Yulida dan keluarga lainnya.
Mereka lalu berteriak histeris meminta agar para tentara itu menghentikan tindakannya.
Sambil menggendong anaknya yang masih kecil, Yulida dan kaum perempuan lainnya kemudian dipaksa dan dimasukkan ke sebuah rumah.
Saat berjalan menuju rumah itulah, Yulida dihadapkan horor: ada dua tubuh pria tergeletak mati dan berdarah-darah di jalanan—di antaranya adalah Khalidi, ayah Rajuli, dengan kepala dalam kondisi terbelah.
Dihantui ketakutan dan amarah, Yulida dari dalam rumah itulah (yang dikunci dari luar) mendengar bunyi tembakan kencang.
"Pokoknya dari jam setengah tujuh pagi sampai jam 10, bunyi senjata itu tak berhenti," ungkapnya.

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Beberapa jam kemudian, ketika gerombolan tentara meninggalkan desa itu, Yulida dan para perempuan memberanikan diri keluar dari rumah.
Dalam ketakutan, mereka melihat asap hitam mengepul dari rumah-rumah yang dibakar tentara. Juga ada aroma aneh yang menusuk hidungnya.
Belakangan terungkap para tentara itu menyiksa dan membunuh 16 orang pria di salah-satu rumah yang dibakar.
Dan 12 orang di antaranya dibakar hidup-hidup. Ayah dan adik Yulida termasuk yang dibakar.
"Semua sudah hangus," ungkapnya.
Dia mengenali sosok ayahnya dari gulungan kain yang melilit pinggangnya. Adapun jenazah adiknya dia kenali dari celana yang dikenakannya.

Sumber gambar, Paula Bronstein/Liaison/Getty
Di hadapan kami, 22 tahun setelah tragedi itu, Yulida sama-sekali tidak bisa melupakan apa yang dialaminya. Semuanya masih membekas dan tak akan hilang.
"Kalau dibayangkan, kayak kemarin kejadiannya. Kalau ingat-ingat lagi, kayak kiamat," kata Yulida.
Mirip yang dirasakan Rajuli, Yulida juga pun dihantui trauma batin sampai sekarang. Yulida bisa berkeringat dingin saat berpapasan orang bersenjata berbaju loreng—seragam TNI.
Sampai di sini, baik Yulida maupun Rajuli belum bisa menerima kematian orang-orang yang mereka sayangi.
Mereka tetap menuntut agar pelaku diadili, walaupun di hati mereka yang terdalam hal itu mustahil.

Sumber gambar, HOTLI SIMANJUNTAK/AFP
Ketika dihadapkan situasi seperti itu, dari mulut Yulida terlontar satu kalimat: "Maunya ayah dan adik saya kembali."
Trauma memang masih membayanginya. Luka traumatik itu masih menganga pada dirinya.
Apakah Anda sudah pernah mendapat pendampingan psikologi, seperti yang dijanjikan oleh pemerintah, saya bertanya.
"Tidak pernah kami di sini [dapat terapi trauma]. Jangan kan obat, jenguk kami saja tidak ada."
Lalu bagaimana Anda menjalani semua ini?
"Saya bawa salat, ngaji, itu obatnya," ungkapnya dengan nada yang terdengar getir.
'Korban alami trauma akut sampai gangguan jiwa'
Empat hari setelah menemui Yulida, Rajuli dan keluarga korban pelanggaran HAM di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan (yang berjarak sekitar 500km dari kota Banda Aceh), kami bertandang ke kantor Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh di Banda Aceh.
Sebuah bangunan kantor sederhana yang beberapa ruangannya bocor setiap hujan mengguyur.
Di sanalah, Oni Imelva, kelahiran 1981, berkantor. Dia adalah Wakil Ketua KKR.
KKR Aceh dibentuk sebagai amanat dari isi perjanjian damai GAM-Indonesia di Helsinki (2005).

Sumber gambar, BBC News Indonesia/Heyder Affan
Lembaga ini diberi mandat mengungkap kebenaran pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, saat wilayah itu dikoyak konflik.
Mereka juga diberi amanat membantu menggelar rekonsiliasi antara korban dan pelaku pelanggaran HAM.
Setahun setelah dibentuk, komisi ini mulai mengumpulkan kesaksian 5.195 korban atau keluarganya sejak 2017. Mereka mendatangi 17 kabupaten/kota di Aceh.
"Dapat dipastikan warga sipil yang menjadi korban," kata Oni Imelva kepada kami, Senin, 28 Juli 2025.
Adapun pelakunya adalah "96% aktor pelakunya adalah negara" alias aparat keamanan Indonesia, tambahnya.
Diakuinya ada pelaku dari pihak GAM. "Tapi jumlahnya lebih sedikit."

Sumber gambar, AFP
Dan hasil temuan, KKR menyimpulkan ada empat tindakan kekerasan.
"Penyiksaan adalah trend paling tinggi, kemudian pembunuhan tidak sah dan bertentangan dengan hukum, penghilangan paksa, serta kekerasan seksual," ungkap Oni.
Di luar empat tindakan kekerasan itu, KKR Aceh juga menemukan kasus-kasus penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Dari berbagai tindakan kekerasan ini, selain kerusakan fisik, korban mengalami gangguan jiwa, trauma sedang, hingga berat yang berkepanjangan.

Sumber gambar, AFP/HOTLI SIMANJUNTAK
Khusus kekerasan seksual, korban mengalami apa yang disebut KKR sebagai "sangat merusak" baik sisi fisik maupun mental.
Dalam tindak kekerasan pembunuhan tidak sah dan bertentangan dengan hukum, Oni dkk menemukan "tak jarang di antara mereka mengalami trauma akut yang berakhir dengan gangguan jiwa".
"Mereka ini kebanyakan tidak mendapatkan perawatan yang layak karena hidup dalam garis kemiskinan," ungkap KKR Aceh dalam buku Peulara Damee Laporan temuan KKR Aceh (2023).
'Pemerintah Aceh dan Jakarta belum merespons rekomendasi KKR'
Setelah selesai mengungkap kebenaran, KKR Aceh kemudian merekomendasikan agar semua korban pelanggaran HAM di Aceh mendapatkan reparasi menyeluruh.
"Dalam Qanun [peraturan daerah Aceh], yang melaksanakan rekomendasi pemerintah pusat, pemerintah Aceh, juga kabupaten/kota," kata Oni Imelva.
Ada macam-macam rekomendasi itu, mulai tindakan hukum kepada pelaku, reparasi, hingga pemulihan trauma individu dan kolektif.
Apakah pemerintah Aceh dan Jakarta sudah menindaklanjuti rekomendasi itu? Tanya saya kepada Oni.
"Sampai hari ini, yang sudah terlaksana adalah reparasi mendesak," kata Oni.

Sumber gambar, AFP
Reparasi mendesak ini diberikan kepada sebagian penyintas atau korban sebelum digelar pengungkapan kebenaran.
Semula KKR Aceh sudah merekomendasikan reparasi mendesak itu, mulai kebutuhan kesehatan, hingga pendampingan psikologi, sesuai kebutuhan mereka. "Semula beragam," katanya.
Namun dalam proses selanjutnya, sambungnya, ada "kendala" terkait anggaran dari pemerintah Aceh untuk melaksanakan rekomendasi tersebut.
"Sehingga hasilnya, sesuai alokasi anggaran yang ada, maka ditetapkanlah satu orang korban mendapatkan Rp10 juta," papar Oni.
Hanya sampai reparasi mendesak yang sudah ditindaklanjuti. Lainnya?

Sumber gambar, Getty
"Untuk proses rekomendasi tindak lanjut hukum terhadap pelaku belum muncul," ungkapnya.
Misalnya saja, rekomendasi KKR Aceh agar pelaku pelanggaran HAM diambil tindakan hukum.
Ada pihak yang disasar KKR Aceh, antara lain, pemerintah pusat dan DPR yang diminta membentuk Pengadilan HAM.
Lalu Jaksa Agung diminta segera menindaklanjuti temuan Komnas HAM dalam tiga kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, yaitu Rumoh Geudong, Jambo Keupok, serta Simpang KKA.
Tidak sampai di situ. Rekomendasi penting lain yang belum dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan Aceh adalah pemulihan trauma individu dan kolektif.

Sumber gambar, Getty Images
"Pemulihan trauma menjadi bagian dari pondasi perdamaian di Aceh," demikian kesimpulan KKR Aceh.
Karena itulah, pendekatan psikososial yang dibutuhkan harus bersifat kelanjutan.
KKR Aceh kemudian merekomendasikan kepada pemerintah Aceh, seperti meningkatkan pelayanan kesehatan mental hingga konseling.
Kepada Oni, saya kemudian bertanya, apa dampak negatif bagi korban ketika pemerintah tidak merespons rekomendasi KKR Aceh?
"Mereka merasa dibohongi kembali," ujarnya.
"Mereka meratapi apa yang terjadi tanpa ada keadilan."

Sumber gambar, AFP
Oni kemudian menganalisa apa kira-kira yang melatari mengapa pemerintah Aceh dan pemerintah pusat terkesan bersikap setengah hati atas rekomendasi KKR Aceh.
"Ini terlalu sensitif bagi saya untuk menjelaskan, tapi ini bisa jadi jawaban," ujarnya mulai membuka jawaban.
Dia menduga, sikap sebagian elit Aceh itu dilatari ketakutan arah rekomendasi KKR Aceh yang kemungkinan bisa membuka peluang digelarnya pengadilan HAM. Hal ini juga yang melatari 'ketakutan' elite di Jakarta.
"Keterlibatan pada masa konflik dulu, masih membuka peluang untuk proses hukum, baik state actors maupun non state actors," ujar Oni.

Sumber gambar, JEWEL SAMAD/AFP
Menanggapi penilaian Oni, Ketua Fraksi Partai Aceh di DPR Aceh, Anwar Ramli, mengatakan justru pihaknya selama ini mendukung penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh.
"Kami sangat serius dalam hal ini. Kami sudah melahirkan qanun (peraturan daerah) KKR Aceh. Cuma ada di Aceh, di tempat lain tidak ada," kata Anwar kepada saya dan videografer Dwiki Marta, Rabu, 30 Juli 2025.
Masalahnya sekarang, keberadaan KKR Aceh itu merujuk pada UU KKR yang kemudian dibatalkan.
"Nah setelah dibatalkan [Mahkamah Konstitusi], hari ini belum ada regulasi baru yang mengatur KKR. Kita sebagai pelaksana, berdasarkan pada regulasi yang ada," jelasnya.
"Jangan omong tidak selesaikan, sedangkan regulasinya tidak ada," tegasnya.

Sumber gambar, Getty
Sikap pemerintah pusat tampaknya berpatokan pada MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bahwa KKR Aceh harus dibentuk di dalam sistem KKR nasional.
Namun setelah Mahkamah Konstitusi menghapus Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR, maka kerangka legal KKR nasional dan KKR Aceh dianggap tidak memiliki payung hukum.
Kekosongan perundangan inilah, agaknya, menjadi alasan Kementerian Dalam Negeri pernah menyarankan Pemerintah Aceh mencabut Qanun KKR Aceh, akhir tahun lalu.
Sikap Kemendagri ini kemudian menimbulkan protes para pegiat HAM. Oni Imelva salah-satu yang memprotesnya.
"Ada kekhususan dari KKR Aceh. Kita independen dan KKR Aceh memiliki kekuatan di MOU Helsinki, dan kemudian di UUPA," tandasnya.

Wawancara Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna: 'Intervensi Pemulihan korban tidak pernah sampai'

Sumber gambar, ANTARA/Zulfa Dillah
Beberapa korban pelanggaran HAM berat di Desa Jambo Keupok, Aceh Selatan, mengaku sudah mendapat bantuan rumah. Tapi mereka mengaku belum dapat pendampingan psikologi untuk mengurangi trauma mereka. Seperti apa temuan Kontras selama ini?
Dari pengalaman Kontras Aceh, pendampingan psikolog bagi komunitas korban itu luput dalam proses pemulihan.
Kacamata pemerintah, ketika kita mengatakan reparasi, itu hanya kompensasi yang sifatnya material.
Hal-hal yang sifatnya psikologis itu seringkali terpinggirkan, karena dia tidak terlihat di depan mata.

Sumber gambar, CHOO YOUN-KONG/AFP via Getty Images
Ketika kita bicara pemulihan, dia tidak cuma satu intervensi, tapi bisa multi intervensi.
Satu orang bisa dapat rumah, mungkin tanah, lalu pemulihan berkala ke rumah sakit.
Tergantung situasi apa yang mereka alami. Dan kemudian dampak apa yang dia rasakan. Jadi bisa sangat kompleks.
Sebagai contoh, pendampingan kami di Desa Jambo Keupok, itu hampir tidak terjangkau pemulihan psikologis.
Padahal mereka sudah ditetapkan menjadi salah-satu pelanggaran HAM berat.

Sumber gambar, Paula Bronstein/Liaison
Siapa yang harus bertanggungjawab?
Seharusnya negara bertanggungjawab. Ketika dia ditetapkan sebagai korban, maka melekat pada dirinya sejumlah intervensi yang harus dilakukan negara.
Sebagaimana pemerintah kemudian membuat rekomendasi Penyelesaian non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) berat masa lalu yang multi kementerian untuk memberi intervensi, maka harus dilakukan secara terencana.
Misalnya kita mau memberikan pemulihan psikologis kepada korban, sementara tenaga ahli psikologisnya terbatas.
Kontras Aceh pernah melakukan kerja-kerja kemanusiaan di Aceh Utara. Apa yang terjadi para penyintas yang mengalami trauma?
Ada seorang ibu yang hingga hari ini setiap jelang hari Idul Fitri itu meletakkan baju suaminya di tempat tidur.

Sumber gambar, HOTLI SIMANJUNTAK/AFP
Realitanya suaminya adalah korban penghilangan paksa. Saya mungkin skeptis, tapi saya merasa, kalau suaminya masih hidup, dia akan pulang.
Di satu sisi, suaminya pasti sudah meninggal dunia. Tapi bagi si ibu, suaminya ada di suatu tempat.
Orang-orang sudah mengatakan suaminya tidak ada lagi. Tapi dia selalu mengisi hari-hari jelang hari raya dengan meletakkan baju dan mengatakan bahwa suaminya akan pulang.
Ada banyak sekali ibu-ibu di Aceh Utara yang memiliki dua realitas dalam kehidupannya.
Satu realitas yang sebenarnya bahwa orang yang disayanginya itu tidak ada lagi, tapi dia butuh sesuatu dalam menghadapi kehidupan, sehingga membuat realitas lain.

Sumber gambar, Oka Budhi/AFP
Ada kedukaan yang tidak selesai. Itu terjadi di banyak tempat. Di Bener Meriah, di Aceh Utara. Cerita-cerita yang menunggu kata penutup, menunggu jawaban.
Nah, di sinilah, pemerintah yang seharusnya bisa menjawab kemana suaminya, kemana anaknya, kemana orang tuanya.
Pendampingan psikologi tidak pernah sampai ke sana, ke sudut-sudut Aceh Utara, atau Bener Meriah. Sehingga sakit itu tidak pernah dipulihkan.
Ada istilah trauma antar generasi, di mana pengalaman traumatis yang dialami oleh satu generasi dapat diturunkan atau diwariskan kepada generasi berikutnya. Anda pernah menjumpai kasus-kasus seperti ini di Aceh?
Di Kabupaten Bener Meriah, ada banyak sekali bapak atau ibu yang kami temui itu ternyata kakeknya, atau bapaknya adalah korban konflik sebelumnya.

Sumber gambar, HOTLI SIMANJUNTAK/AFP
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
Kita tahu di Aceh ada DI/TII pada 1953, lalu kekerasan 1965, lalu GAM. Bahkan bapak yang saya temui itu kakeknya adalah korban DI/TII, bapaknya korban 1965, dan dia korban masa GAM.
Bagaimana kelukaan itu kemudian diwariskan dari kakek, dari generasi ke generasi.
Nah itu lazim, itu ada, dan banyak di Aceh. Dan intervensi pemulihan itu tidak pernah sampai.
Bahwa benar pengungkapan kebenaran itu adalah salah-satu jalan agar orang merasa dipulihkan, karena ceritanya itu menjasi subyek. Tapi itu saja tidak cukup.
Jadi, hingga 20 tahun perjanjian damai Aceh, reparasi kepada korban pelanggaran HAM tidak berjalan?
Ya, bagaimana negara bisa menjangkau orang-orang [korban] ini? Ini pertanyaan besar.
Apakah 5.264 orang [yang sudah dimintai kesaksian oleh KKR), itu reparasinya sudah sampai? Yang kita tahu hanya 235 orang. Itu pun sembilan orang sudah meninggal dunia dalam masa penantian.
Nah, kalau kita percaya umur itu ada batasnya, harus sampai kapan korban menunggu?
Maka harus diintervensi dengan cara regulasi, kalau perlu percepatan.
Perdamaian sudah 20 tahun, konflik sudah lebih 20 tahun, sudah satu generasi atau mungkin dua generasi, mau menunggu sampai kapan lagi?

'Konflik membuat seluruh masyarakat Aceh trauma'
Konflik bersenjata yang nyaris tanpa henti di Aceh menyebabkan dampak psikologis yang luar biasa bagi masyarakatnya.
Bahkan seorang psikolog klinis mengatakan kemungkinan besar di Aceh terjadi trauma antar generasi.
"Luar biasa masifnya, karena konfik itu berjalan 30 tahun. Bahkan kalau kami melihatnya atau mempertimbangkannya sebagai transgenerational trauma (trauma antar generasi) secara psikologis," kata psikolog klinis asal Aceh, Yulia Direzkia.
Yulia saat ini sehari-hari sebagai psikolog klinis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Zainal Abidin, Banda Aceh.
Dia adalah psikolog klinis yang mendapat EMDR Europe acccredited supervisor dan EMDR Asia accredited trainer.

Sumber gambar, Dokumen pribadi Yulia Direzkia
Saat Aceh dilanda konflik bersenjata, Yulia bertugas sebagai psikolog klinis di RSUD Kota Langsa, Aceh. Di masa itu dia banyak menangani korban konflik.
Yulia juga pernah bertugas selama 17 tahun di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh di Banda Aceh.
Disebut trauma antar generasi, karena trauma itu tidak hanya terjadi pada generasi sekarang, tapi bahkan 30 tahun sebelumnya sudah terpapar dengan trauma.
"Ini akibat konflik yang terus menerus di Aceh, sehingga semua masyarakat Aceh terdampak," tambahnya.

Sumber gambar, INOONG/AFP via Getty Images)
Seperti diketahui, sebelum konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia (sejak 1976), kekerasan pasca G30S 1965 juga terjadi di Aceh.
Mundur ke belakang, Aceh bergejolak setelah terjadi pemberontakan DaruI Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) yang dipimpin Daud Beureueh. Konflik ini dimulai 1953 dan berakhir 1962.
Di awal kemerdekaan, perang Cumbok atau peristiwa Cumbok pecah di Kabupaten Pidie, Aceh. Konflik ini melibatkan dua kubu utama, yaitu kaum ulama dan kaum bangsawan (uleebalang).
Menurut Yulia, trauma antar generasi terjadi ketika dampak emosional, mental, dan psikis dari peristiwa traumatis diwariskan dari orang tua ke anak, cucu, dan seterusnya.

Sumber gambar, CHOO YOUN-KONG/AFP via Getty Images
"Belum lagi trauma itu diwariskan ke keluarga besarnya dan masyarakat secara luas yang mendengar peristiwa [kekerasan] itu," tambahnya.
Individu yang mengalami trauma antar generasi mungkin tidak pernah mengalami peristiwa traumatis itu sendiri. Tapi mereka merasakan dampaknya melalui cara orang tua mereka merespons atau mengatasi trauma.
Dari sinilah, kemudian menjadi apa yang disebut Yulia sebagai "kolektif memori".
"Kalau saya bilang di daerah yang terpapar konflik sangat berat, seperti Aceh, semua masyarakatnya mengalami [trauma] itu," ujarnya.
Hal itu dia tekankan karena cakupan atau jangkauan konflik itu nyaris terjadi di semua daerah di Aceh.

Sumber gambar, AFP
"Mau bicara dari mana," kata Yulia kepada saya dan videografer Dwiki Marta, Senin, 21 Juli di Banda Aceh. "Semua terpapar."
Mulai Banda Aceh, lalu di pesisir timur Aceh, lalu ke utara, mulai Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, Kuala Simpang, terus sampai ke Medan.
Lalu Pantai Barat-Selatan juga terpapar semua. Bahkan juga di Tengah, Takengon dan sekitarnya.
"Itu semua terpapar dengan konflik, [dan masyarakat kebanyakan pun] menjadi korban," ujarnya.
"Dan karenanya saya sebut masif."
Yulia sudah sering mendengar dari pasien-pasiennya yang menganggap hal itu sebagai sesuatu yang dialami sehari-hari.

Sumber gambar, HOTLI SIMANJUNTAK/AFP
"Padahal, trauma itu tersimpan di otak, dia tidak kemana-mana. Enggak menguap kemana-mana," jelas Yulia.
Dia lalu menyontohkan, salah satu pasiennya yang mengalami trauma akibat terpapar konflik. Ketika itu dia masih sekolah dasar.
Dia mengaku masih ingat desingan peluru yang lewat, atau saat tiba-tiba diminta bersembunyi di bawah tempat tidur Ketika asyik bermain.
"Itu kayak pengaman sehari-hari saja, dia mengatakan seperti itu. Tapi dia tidak menyadari bahwa realisasi-realisasi emosinya itu sangat tidak terkontrol, misalnya, dia tersinggung dengan suaminya."
"Maka dia bisa sangat bisa emosional. Dan dia tidak tahu kenapa se-emosional itu, atau marah kepada anaknya, bahkan, maaf gampang memukul," papar Yulia.

Sumber gambar, AFP/STR
Yulia kemudian menceritakan pengalamannya selama 17 tahun di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Aceh—satu-satunya rumah sakit jiwa di provinsi itu.
"Karena 17 tahun berada di sana, saya melihat memang bisa dikatakan mungkin 80%-90% itu pasien-pasien ekses konflik," katanya.
"Kalau ekses tsunami bisa dihitung dengan jari.
Yulia mengaku sudah bisa membedakan pasien akibat ekses tsunami dan konflik.
Dia meyakini, hampir keseluruhan pasien di RSJ Aceh menurutnya, kalau ditarik ke belakang, itu riwayatnya hidupnya pernah bersentuhan dengan konflik bersenjata.
Meskipun diakuinya sang pasien tidak mau menjelaskan segala sesuatu yang terkait konflik.

Sumber gambar, AFP/TOR WENNSTROM
Para pasien itu mengaku tidak masalah dengan situasi konflik karena sudah menjadi peristiwa keseharian.
"Padahal yang dia jalani sehari-hari itu tersimpan dalam memori," ujar Yulia.
Sejauh amatannya, pasien yang berlatar konflik itu akhirnya dirawat RSJ karena "sudah sangat kompleks".
"Tidak hanya secara klinis dia bermasalah, secara emosinya, tapi juga di kehidupan sosialnya," paparnya.
"Jadi selalu ada ada faktor psikososial yang erat sekali," katanya.
"Yang akhirnya tidak sanggup lagi pasiennya itu maka mengalami gangguan jiwa yang berat."

Sumber gambar, DEWIRA/AFP
Sampai di sini, Yulia akhirnya pada satu titik bahwa konflik bersenjata yang berkepanjangan di Aceh sangat merugikan masyarakat.
"Karena dampaknya luar biasa," katanya.
Yulia kemudian meminta agar pemerintah lebih menyadari dampak pengalaman trauma, apalagi kalau berlangsung lama seperti konflik.
Dia juga meminta pemerintah peduli terhadap korban atau keluarganya yang trauma akibat konflik.
"Pemerintah harus memiliki perhatian lebih untuk masalah ini, tidak mengabaikan, dengan mengatakan tidak mungkin orang Aceh punya trauma, " ujarnya.

Sumber gambar, AFP
Karena itulah, konflik berkepanjangan di Aceh, dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia, kata Yulia.
"Kalau ada persoalan-persoalan berat, diselesaikan lewat dialog, jangan kontak senjata," tambahnya.
"Dampaknya bisa transgenerational trauma [trauma lintas generasi]."
Di akhir wawancara, Yulia berkata seharusnya para pemimpin Aceh saat ini, yang sebagian berlatar eks kombatan GAM, lebih peduli dan betul-betul serius untuk menangani kesehatan mental di Aceh.
"Karena semua orang di Aceh terpapar, tidak terkecuali," tandasnya.
---
Ini adalah seri kedua dari dua seri liputan khusus peringatan 20 tahun perdamaian Aceh.
Seri pertama, 'Saya mensyukuri perdamaian, tapi kemakmuran kurang' – Cerita eks tentara GAM dan masalah kesejahteraan di Aceh bisa Anda simak di laman BBC News Indonesia.