Dari tumpukan sampah menjadi benda berguna: Kisah warga Sumenep atasi masalah sampah yang semakin 'serius'

Sejak akhir 2014, Dwi Retnowati memberdayakan ibu-ibu di Desa Marengan Daya, Kecamatan Kota Sumenep, lewat Bank Sampah Mawar.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Sejak akhir 2014, Dwi Retnowati memberdayakan ibu-ibu di Desa Marengan Daya, Kecamatan Kota Sumenep, lewat Bank Sampah Mawar.

Sekelompok warga melakukan berbagai inisiatif untuk mengatasi persoalan sampah di Sumenep, Jawa Timur. Masalah sampah semakin serius karena terus bertambah setiap tahun, disebabkan oleh pergeseran kebiasaan dan pertumbuhan penduduk.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat, timbunan sampah di Kabupaten Sumenep pada 2024 sebanyak 364 ton per hari, atau sekitar 133.000 ton per tahun.

Padahal, tempat pembuangan akhir (TPA) Batuan hanya mampu menampung sampah sebanyak 38 ton per hari sepanjang 2024—atau sekitar 10 persen dari total sampah di Sumenep.

Tahun ini, kapasitas TPA Batuan naik sedikit menjadi 40 ton per hari, menurut Dinas Lingkungan Hidup setempat.

Betapa pun, selama beberapa tahun belakangan, TPA satu-satunya di Kabupaten Sumenep itu sudah kelebihan kapasitas.

Di antara timbunan sampah, plastik menjadi perhatian khusus karena jumlahnya terbanyak kedua setelah sampah organik, dan sulit terurai.

Untuk mengatasi persoalan ini, sekelompok warga telah mengambil langkah nyata dengan berbagai inisiatif pengolahan sampah.

Seperti yang dilakukan Dwi Retnowati dengan mendirikan Bank Sampah Mawar, serta Pondok Pesantren Annuqayah lewat Laboratorium UPT Jatian.

Upaya ini tidak hanya bertujuan menekan volume sampah yang masuk ke TPA tetapi juga mengurangi dampak negatif sampah plastik terhadap lingkungan.

Dwi Retnowati dan inisiatif Bank Sampah Mawar

Sejak akhir 2014, Dwi Retnowati, 43 tahun, memberdayakan ibu-ibu di Desa Marengan Daya, Kecamatan Kota Sumenep, lewat Bank Sampah Mawar untuk mengolah sampah plastik menjadi barang daur ulang.

Saat BBC News Indonesia menyambangi Bank Sampah Mawar pada akhir Juli lalu, Dwi sedang menganyam tas belanja berbahan sampah plastik yang telah dipotong-potong, bersama sejumlah perempuan.

Kegiatan yang telah ditekuni lebih dari satu dekade ini ia lakukan demi mengurangi sampah plastik di lingkungannya, sekaligus mendorong ibu-ibu mendapatkan penghasilan tambahan.

"Bumi itu kita pinjam dari anak cucu. Kalau kita pinjam ya dikembalikan dalam kondisi baik, jadi kita rawat," tutur Dwi kepada wartawan Ahmad Mustofa yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bersama sejumlah perempuan di desanya, Dwi menganyam tas belanja berbahan sampah plastik yang telah dipotong-potong.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Bersama sejumlah perempuan di desanya, Dwi menganyam tas belanja berbahan sampah plastik yang telah dipotong-potong.
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

"Cara merawatnya bagaimana? Kelola dengan baik. Mengelolanya bagaimana? Ya, dari sampahnya. Yang membuat bumi kita itu sakit ataupun rusak, kita hindari," ujarnya kemudian.

Dia lantas menuturkan awal mula ia mendirikan bank sampah Mawar.

Sebelum berkecimpung dalam daur ulang sampah, Dwi adalah guru SMP dan SMP di Kepalauan Kangean, Sumenep.

Saat mengandung anak pertamanya pada 2013, Dwi memutuskan untuk berhenti mengajar dan tinggal di Desa Marengan Daya bersama suaminya.

Sehari-hari, Dwi berjualan kue dan nasi kotak untuk membantu ekonomi keluarga. Ia juga melayani jasa antar jemput barang hingga ojek.

Bersama suaminya, Dwi punya usaha penyewaan tempat sampah berukuran besar untuk kegiatan hajatan.

Ide mendirikan bank sampah muncul ketika Dwi ditunjuk sebagai kader lingkungan di Desa Marengan Daya pada tahun yang sama.

Kala itu, dia menganggap persoalan sampah di lingkungannya dalam "kondisi darurat". Maka terbesitlah ide untuk membangun bank sampah.

"Diharapkan bisa menekan sampah yang terbawa ke TPA, jadinya dibentuklah bank sampah itu," kata Dwi.

Namun, mendirikan bank sampah ternyata punya tantangan tersendiri.

Pada awal bank sampah didirkan, Dwi sempat diprotes warga di Desa Marengan Daya karena dianggap akan mendirikan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di tengah pemukiman.

Terlebih lokasi bank sampah Mawar berada di dekat masjid dan taman.

"Setelah dijelaskan bahwa TPS dan bank sampah itu berbeda dan setelah bank sampah pun itu berdiri, diresmikan, alhamdulillah sampai sekarang tidak ada itu namanya protes akan kegiatan bank sampah," katanya.

Setelah bank sampah didirikan, Dwi juga tak serta merta mendapatkan nasabah, ia harus melakukan pendekatan personal kepada warga.

Pada awal bank sampah didirkan, Dwi sempat diprotes warga di Desa Marengan Daya karena dianggap akan mendirikan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di tengah pemukiman.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Pada awal bank sampah didirkan, Dwi sempat diprotes warga di Desa Marengan Daya karena dianggap akan mendirikan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) di tengah pemukiman.

Dia berkunjung dari pintu ke pintu, dari satu pertemuan ke pertemuan yang lain untuk mengajak warga bergabung.

Dwi terus melakukan ini sampai 2015, ketika dia mendapat nasabah pertamanya.

"Saya mengajak yang mau saja, tinggalkan yang enggak mau. Mulai dari sekarang dan sesegera mungkin dimulai, jangan ditunda," katanya.

Prinsip itu menjadi pedomannya, hingga kini.

Lambat laun, bank sampah yang semula dibangun di teras rumahnya, berubah menjadi gudang kecil berukuran 4x2 meter yang terbuat dari triplik.

Kini, sebelas tahun setelah didirikan, bank sampah Mawar memiliki tempat permanen berukuran 6x4 meter lengkap dengan gudangnya.

bank sampah, daur ulang, plastik

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, "Saya mengajak yang mau saja, tinggalkan yang enggak mau. Mulai dari sekarang dan sesegera mungkin dimulai, jangan ditunda," ujar Dwi

Lantas, bagaimana proses pengolahan sampah plastik di bank sampah Mawar?

Proses pengolahan plastik berawal dari rumah masing-masing nasabah.

Dwi mengedukasi warga untuk memilah dengan menyiapkan tempat sampah basah dan kering.

Sampah basah yang berasal dari sisa makanan biasanya disimpan untuk dibuat pupuk kompos dan residunya dibuang ke TPS.

Sementara sampah kering seperti plastik diarahkan ke bank sampah Mawar. Sampah tersebut kemudian ditimbang, dicatatkan sesuai berat, dihargai sesuai jenisnya.

"Setelah terkumpul di bank sampah, ada namanya proses sortir," ujar Dwi.

"Disortir lagi sesuai jenisnya dan dilakukan pemilahan ulang lagi yang bisa dikelola atau didaur ulang menjadi guna baru atau fungsi baru."

Barang daur ulang yang dihasilkan bank sampah Mawar cukup beragam.

Sampah plastik yang berasal dari makanan ringan biasanya diolah menjadi dompet, tas belanja dan tempat tisu.

Proses pembuatannya dengan cara dianyam dan dikombinasikan dengan sampah kertas dan kardus. Ia pernah membuat tikar dari bahan yang sama.

Dwi juga membuat tas dan tempat tisu dari tutup botol air mineral.

Tutup botol yang biasanya dianggap sebagai bak warna dan dihargai murah, disulapnya menjadi barang yang lebih bernilai.

Barang daur ulang yang dihasilkan bank sampah Mawar cukup beragam. Sampah plastik yang berasal dari makanan ringan biasanya diolah menjadi dompet, tas belanja dan tempat tisu.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Barang daur ulang yang dihasilkan bank sampah Mawar cukup beragam. Sampah plastik yang berasal dari makanan ringan biasanya diolah menjadi dompet, tas belanja dan tempat tisu.

Bahkan, Dwi pernah menyulap tutup botol menjadi gorden.

Sementara plastik kemasan yang biasanya dihargai Rp500 sampai Rp600 per kilogram diolahnya menjadi barang yang lebih bernilai ekonomis dan mendatangkan cuan yang lebih besar.

"Supaya mendatangkan feedback cuan yang banyak lagi ke kita, kita olah menjadi bros. Kita olah menjadi dompet dari [tas] keresek yang semula kita pandang sebelah mata," katanya.

Dalam proses pengolahan sampah, Dwi belajar secara otodidak. Ia melihat panduan di internet untuk proses pembuatan barang daur ulang.

Baru-baru ini, ia mendapat pelatihan pembuatan Alat Peraga Edukasi (APE) dari tutup botol, tetapi belum punya alat yang memadai untuk memproduksinya.

sampah, sumenep, daur ulang

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Dwi dengan tas buatannya dari bahan tutup botol air kemasan

Dwi mengakui proses pemasaran produk daur ulang masih menjadi tantangan tersendiri karena ia mengandalkan penjualan dari mulut ke mulut. Ia juga menjual ke sekolah-sekolah dan kantor dinas lewat pameran.

"Biasanya produk kita yang dari kreasi 3R (reduce, reuse, recycle) dibawa untuk dipajang dan dipamerkan di pameran-pameran dinas-dinas," jelas Dwi.

Dwi sebenarnya ingin memasarkan produk tersebut secara online. Namun, ia kesulitan membuat foto produk yang bagus dan bisa menarik perhatian pembeli di media sosial.

Sejak berdirinya bank sampah Mawar, kata Dwi, perilaku masyarakat untuk membuang sampah sembarangan semakin berkurang.

Meskipun ia tak menampik bahwa kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya masih ditemukan.

sampah, daur ulang, plastik, sumenep

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Isnawati, 55 tahun, salah satu nasabah merasakan manfaat dari kegiatan daur ulang di Bank Sampah Mawar.

Keberadaan bank sampah juga mendorong terbentuknya pasukan kebersihan bernama "sapu jagat" yang tugasnya menjemput sampah dari rumah ke rumah.

TPS yang berada di Desa Marengan Daya pun bisa difungsikan dengan baik.

Isnawati, 55 tahun, salah satu nasabah merasakan manfaat dari kegiatan daur ulang di Bank Sampah Mawar.

Ia bisa mengisi waktu luang dengan kegiatan positif dan dapat penghasilan. Pemilik toko kelontong ini juga tidak kesulitan untuk mengatasi sampah di tokonya.

"Biasanya [sampah toko] dibuang sembarangan, itu akhirnya dikumpulkan dan dikasihkan ke Ibu Dwi," kata Isnawati.

Siti Aisyah mengaku senang bisa terlibat dalam kegiatan bank sampah Mawar karena banyak keuntungan yang didapatkannya lewat kegiatan positif.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Siti Aisyah mengaku senang bisa terlibat dalam kegiatan bank sampah Mawar karena banyak keuntungan yang didapatkannya lewat kegiatan positif.

Sementara Siti Aisyah, 50 tahun, mengaku senang bisa terlibat dalam kegiatan bank sampah Mawar karena banyak keuntungan yang didapatkannya lewat kegiatan positif.

"Banyak keuntungannya menurut saya. Ini kan hal positif," kata Siti Aisyah.

Lewat inisiatifnya mendirikan bank sampah Mawar, Dwi berkeyakinan bisa ikut mengatasi persoalan sampah di Kabupaten Sumenep, termasuk menjegal sampah agar tidak semuanya masuk ke TPA.

Asalkan, inisiatif serupa dilakukan di desa yang lain dengan mendirikan bank sampah dari tingkat RT hingga RW. Termasuk di dinas-dinas, perkantoran hingga sekolah-sekolah.

Inisiatif Ponpes Annuqayah lewat Laboratorium UPT Jatian

Sekitar 31 kilometer ke arah barat dari Marengan Daya, inisiatif mengolah sampah untuk menjadi produk bernilai juga dilakukan Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa.

Lewat Laboratorium UPT Jatian, pondok pesantren di Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep ini menyulap sampah plastik menjadi paving block.

Laboratorium UPT Jatian sebagai bagian dari "Program Emas" Ponpes Annuqayah Lubangsa diresmikan pada 9 Agustus 2023 oleh KH. Ma'ruf Amin, yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden Indonesia.

Menariknya, pembuatan paving block ini melibatkan santri aktif di pondok pesantren.

Setiap hari, Laboratorium UPT Jatian mampu membuat dua paving block. Namun, paving block ini belum diproduksi secara massal atau untuk kepentingan komersial.

Lewat Laboratorium UPT Jatian, pondok pesantren di Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep ini menyulap sampah plastik menjadi paving block.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Lewat Laboratorium UPT Jatian, pondok pesantren di Kecamatan Guluk-Guluk Sumenep ini menyulap sampah plastik menjadi paving block.

Muhammad Holili, Kepala Laboratorium UPT Jatian mengatakan bahwa inisiatif mendirikan UPT Jatian ini bagian dari upaya mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA Annuqayah.

TPA tersebut menampung sampah-sampah dari sejumlah pesantren di wilayah itu.

"Pondok pesantren kami adalah pesantren daerah yang menyumbangkan sampah terbanyak ke TPA Annuqayah.

Sehingga pengasuh mengutus beberapa santri untuk belajar pengelolaan sampah," ujarnya pada akhir Juli silam.

Sementara sampah yang berasal dari asrama santri dan masuk ke Laboratorium UPT Jatian rata-rata mencapai 4 kuintal per hari.

Sampah-sampah tersebut cukup beragam, mulai dari sisa makanan, plastik dan pakaian.

Muhammad Holili, Kepala Laboratorium UPT Jatian mengatakan bahwa inisiatif mendirikan UPT Jatian ini bagian dari upaya mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA Annuqayah.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Muhammad Holili, Kepala Laboratorium UPT Jatian mengatakan bahwa inisiatif mendirikan UPT Jatian ini bagian dari upaya mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA Annuqayah.

Sebelum sampah dikirim ke UPT Jatian, ada tim khusus atau petugas kebersihan yang melakukan pengumpulan sampah di asrama santri, baik putra maupun putri.

Setiap asrama sudah disiapkan tempat sampah untuk memudahkan pengumpulan sekaligus agar santri tidak membuang sampah sembarangan.

Proses pengumpulan biasanya dilakukan pada pagi dan sore hari. Setiap pagi, sampah-sampah tersebut dikirim ke UPT Jatian untuk diolah.

"Setelah sampah masuk ke UPT Jatian, hal yang pertama kami lakukan adalah pemilihan. Setelah selesai dipilah sesuai jenisnya masing-masing, sampah tersebut, ada yang dijadikan paving block, ada yang dijadikan eco-brick, ada yang dijual," kata Holili.

Sebelum sampah dikirim ke UPT Jatian, ada tim khusus atau petugas kebersihan yang melakukan pengumpulan sampah di asrama santri, baik putra maupun putri.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Sebelum sampah dikirim ke UPT Jatian, ada tim khusus atau petugas kebersihan yang melakukan pengumpulan sampah di asrama santri, baik putra maupun putri.

Karena UPT Jatian merupakan bagian terakhir dari pengelolaan sampah di Ponpes Annuqayah Lubangsa, Holili mengatakan bahwa lembaganya tidak bisa terjun langsung dalam proses edukasi santri.

Namun, ia bekerja sama dengan pengurus kebersihan, karena mereka yang berhadapan langsung dengan aktivitas santri.

"Untuk program tidak ada, namun dalam kegiatan sehari-hari, dalam pengelolaan sampah itu santri terlibat langsung karena di sini petugas semuanya adalah santri aktif," jelasnya.

Salah satu santri yang terlibat dalam pengelolaan sampah di Laboratorium UPT Jatian adalah Ahmad Hafi Fudoli.

Dia tertarik untuk ikut dalam pembuatan paving block sebagai bentuk pengabdian terhadap pesantren.

Salah satu santri yang terlibat dalam pengelolaan sampah di Laboratorium UPT Jatian adalah Ahmad Hafi Fudoli.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Salah satu santri yang terlibat dalam pengelolaan sampah di Laboratorium UPT Jatian adalah Ahmad Hafi Fudoli.

Ia juga ingin mengisi kekosongan setelah berakhirnya kegiatan belajar mengajar di pesantren.

"Saya ingin menjadi satu di antara orang-orang yang peduli terhadap sampah yang kita buat," katanya.

Ahmad Hafi sendiri tidak pernah mendapat pelatihan dalam pembuatan paving block.

Dia belajar secara otodidak dengan bantuan para seniornya yang lebih dulu mengabdikan diri di Laboratorium UPT Jatian.

Kegiatannya di Laboratorium UPT Jatian disebut Raihan tidak mengganggu kegiatannya sebagai seorang santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren.

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Keterangan gambar, Kegiatannya di Laboratorium UPT Jatian disebut Raihan tidak mengganggu kegiatannya sebagai seorang santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren.

Hal yang sama disampaikan Raihan Firdaus, 17 tahun.

Ia belajar sendiri dengan cara mengamati dan bertanya kepada yang lebih tahu, kemudian mempraktikkannya sendiri.

Kegiatannya di Laboratorium UPT Jatian disebut Raihan tidak mengganggu kegiatannya sebagai seorang santri yang tengah menuntut ilmu di pesantren.

"Di sini ada jadwal khusus, jam kerja mulai jam 6 pagi dan berakhir jam 12 siang. Untuk waktu di luar itu, kami kembali lagi seperti santri biasa, ikut kajian, ikut hadiran," kata Raihan.

Apa akar masalah sampah di Sumenep?

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan, mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat volume sampah di Sumenep terus meningkat.

Salah satunya, perubahan kebiasaan masyarakat yang mulai menggunakan plastik dalam kehidupan sehari-hari—termasuk air minum dalam kemasan botol.

"Terus secara kultur juga timbul budaya instan begitu, sehingga orang kadang ya tinggal membuang-buang [sampah] begitu saja tanpa mengetahui bahwasanya dampaknya cukup besar," kata Wahyu.

Persoalan sampah, kata Wahyu, juga harus dilihat dari persoalan konsumsi dan tidak bisa menyalahkan masyarakat sebagai konsumen.

sampah sumenep

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Tetapi, produsen juga harus ikut bertanggung jawab karena menyubstitusi sampah dari yang sifatnya ramah lingkungan ke arah yang tidak bisa diurai.

"Sampah plastik itu yang beli masyarakat, yang konsumsi masyarakat, tapi kita lupa bahwasanya ada yang produksi," katanya.

Wahyu juga menyoroti tata kelola sampah di Sumenep yang tidak mengakomodasi pengelolaan sampah secara detail.

Selama ini, pemerintah lebih menekankan kepada persoalan buang sampah sembarangan dan sanksinya, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sumenep Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah.

sampah sumenep

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Kepala UPTD Pengelolaan Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sumenep, Achmad Junaidi, bilang volume sampah di wilayahnya mengalami tren kenaikan dari tahun ke tahun.

Keterbatasan fasilitas menjadi kendala dalam mengatasi persoalan sampah.

Bahkan, dari total 27 kecamatan—terdiri dari 18 wilayah daratan dan sembilan kecamatan wilayah kepulauan—belum semuanya terlayani.

Saat ini, baru sembilan kecamatan daratan dan satu kecamatan kepulauan yang sampahnya dilayani oleh DLH Sumenep.

"Jadi masih ada beberapa tempat atau pun beberapa kecamatan yang belum kita layani. Itu salah satu tantangannya," kata pria yang akrab dipanggil Edi ini.

Adapun program yang dijalankan DLH Sumenep dalam mengatasi persoalan sampah lebih banyak kepada program pengembangan kapasitas seperti Lomba Desa Berseri, Sekolah Adiwiyata dan pembinaan ke desa-desa, termasuk pendirian bank sampah.

Apakah inisiatif warga bisa jadi solusi masalah sampah?

Keberadaan bank sampah yang diinisiasi Dwi Retnowati dan Ponpes Annuqayah Lubangsa merupakan salah satu peran positif dalam mengatasi persoalan sampah di Sumenep, menurut Wahyu dari Walhi Jawa Timur.

Pengelolaan sampah di kedua tempat tersebut menggunakan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) yang berguna untuk mengurangi volume sampah.

Tidak semua sampah berakhir di TPA Batuan karena berpotensi penuh sebelum waktunya, kata Wahyu.

Oleh karena itu, dalam penyelesaiannya tidak hanya bersifat teknis, tapi juga nonteknis seperti pendidikan dan pemberdayaan.

Yang harus menjadi tumpuannya, imbuhnya, adalah bagaimana mengurangi sampah, bukan sekadar mengubah sampah.

sampah sumenep

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Cara pandangnya juga tidak semata-mata untuk mencari keuntungan dari pengolahan sampah.

"Kalau cara pandangnya adalah sekadar memberikan keuntungan, sampah ini enggak akan selesai. Artinya sampah ini enggak akan berkurang, tapi justru akan bisa bertambah," kata Wahyu.

"Makanya inisiatif-inisiatif itu memang harus dibarengi juga dengan dorongan bahwasanya tidak hanya kita mengubah sampahnya, tapi bagaimana cara kita untuk mengurangi sampahnya,".

Wahyu mengatakan bahwa inisiatif ini juga perlu didorong oleh pemerintah dengan menata ulang industri dan menuntut produsen untuk berubah.

sampah sumenep

Sumber gambar, Ahmad Mustofa

Menurutnya, percuma masyarakat melakukan inisiatif perubahan, tapi industrinya tidak berubah dan terus memproduksi sampah.

"Karena Sumenep sebagai bagian dari kabupaten harus bersama dengan kabupaten-kabupaten lain untuk mendesak pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat untuk mendorong itu," tegasnya.

Sementara itu, DLH Sumenep berjanji untuk memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Harapannya inisiatif yang dilakukan Dwi Retnowati dan Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa bisa ditiru di tempat-tempat lain.