KOMPAS.com - Kawasan Blok M, Jakarta Selatan, kembali jadi sorotan usai ramainya kabar pedagang meninggalkan Distrik Blok M karena persoalan sewa kios.
Namun di balik kisah terkini, Blok M punya sejarah panjang sebagai salah satu pusat hiburan, perdagangan, hingga ikon gaya hidup anak muda Jakarta sejak era 1960-an.
Baca juga: Pedagang Keluhkan Omzet Turun karena Operasi Pasar Beras Murah, Ini Kata Mentan
Blok M mulai dikenal sejak tahun 1960-an ketika kawasan Melawai kerap menjadi tempat hiburan rakyat.
Kala itu, pasar malam, komidi putar, hingga pertunjukan wayang orang digelar di lahan terbuka.
Dua hingga tiga tahun kemudian, sekitar 1962–1963, pemerintah membangun pasar Blok M di lokasi tersebut.
Pada masanya, pasar Blok M dianggap modern sehingga menarik banyak pengunjung, termasuk anak muda yang gemar nongkrong di kawasan itu.
Baca juga: Hadiah HUT ke-80 RI: Libur 18 Agustus, Tarif Transportasi Rp 80, Diskon Belanja 80 Persen
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin bahkan memberi perhatian khusus dengan menata Blok M menjadi pusat perdagangan barang dan jasa.
Sejumlah fasilitas kemudian dibangun, mulai dari Aldiron Plaza (Blok M Square), Pasar Mayestik, Pasar Melawai, hingga Terminal Blok M.
Untuk membangun terminal, pemerintah DKI Jakarta menghabiskan biaya Rp 7,5 juta, angka yang besar pada era 1960-an.
Tak hanya soal pertokoan, kawasan Blok M juga dikenal karena sistem parkir modern yang kala itu termasuk baru di Jakarta.
Saat meresmikan sistem parkir tersebut, Gubernur Ali Sadikin meninggalkan jejak telapak kakinya di lantai.
Hingga kini, prasasti itu masih menjadi saksi sejarah perkembangan Blok M.
Baca juga: Tarif MRT-KRL Cuma Rp 80 dan Diskon Belanja hingga 80 Persen di HUT Ke-80 RI
Jalan Melawai, yang menjadi ikon kawasan ini, kerap disebut dalam lagu, novel, hingga film populer.
Lagu “Jalan Sore” milik Denny Malik, novel Lupus karya Hilman Hariwijaya, hingga film Catatan Si Boy menjadikan Blok M sebagai simbol tempat nongkrong anak muda.